(IDNTimes/Bagus F)
Jakarta, IDN Times - Pemerintah menyerahkan draf final Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR, Rabu (6/7/2022). Rancangan undang-undang ini antara lain mengatur pasal soal kekuatan gaib atau santet.
Aturan tersebut termuat pada Pasal 252 ayat 1 (veris Juli 2022) yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pada aturan tersebut ada sanksi hukuman pidana paling lama 1,5 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp200 juta.
Ada Pidana Tambahan jika Dijadikan Usaha
Kemudian pada pasal 252 ayat 2 dijelaskan penambahan pidana jika hal itu dijadikan mata pencaharian.
_(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga)_
Dalam bagian penjelasan pasal 252 ayat 1 bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan mampu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penderiaan orang lain.
Pasal tiada Berguna
(Demo Mulai Ricuh, Mahasiswa Bakar Kardus di Depan Gedung DPR RI pada Selasa (28/6/2022). (IDN Times/Yosafat Diva)
Pakar Hukum dan Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan ilmu santet sulit untuk dibuktikan. Dia beranggapan aturan ini masih mengadopsi paradigma lama dari KUHP versi Belanda.
"Pada kenyataannya, akhirnya pasal ini seperti tiada gunanya itu unfaedah karena kesulitan dalam pembuktian kemudian juga perkaranya kebanyakan kecil-kecil gitu ya kan dari segi nilai juga kecil," kata dia saat berbincang dengan IDN Times dalam diskusi daring 'Ngobrol Seru: Kupas Tuntas RKUHP' by IDN Times, Selasa (12/7/2022).
Bivitri mengatakan pasal-pasal yang sebenarnya sudah tidak relevan seperti itu masih terbawa dan sulit pembuktiannya. Maka dari itu, kasus seperti ini akhirnya cenderung diabaikan dan praktik seperti itu banyak sekali yang tidak dibawa ke ranah hukum.
"Sekarang juga dan model restorative justice, hal yang kecil-kecil begitu memang sering kali disengaja oleh aparat penegak hukum supaya tidak diproses, makanya namanya restorative justice saja, jadi ngapain diatur di KUHP," ujarnya.
Sumber:klik di sini