Pernah suatu senja, tak jauh dari lintas jalan rumah lama mamak bapakku, motor bututku terhenti karena kehabisan bensin. Cuaca hujan. Sesekali mobil orang kaya lewat memercikkan air genangan ke mukaku.
Aku mau marah, tapi tak ada daya. Dia orang kaya. Sah-sah saja. Salahku lah yang tak punya roda lebih dari dua. Walau ku tahu, bahagia bukan soal memercikkan muka orang dengan ludah.
Ku tarik perlahan motor butut ini. Di jalan ini, sejuta kenangan terkubur rapi. Ada tembok sekolah tak jauh dari sini. Ku sandarkan motor butut ini ke tembok sekolah itu. Ku ingat, dulu, di tembok inilah aku jumpa dia. Saat itu dia cuma lewat, sedikit tersenyum. Tatapan matanya haram untuk ku lupa. Malu-malulah kala itu. Maklum, kami baru lulus sekolah.
Aku ingat, dia pakai baju putih berkancing, celana katun agak gelap, bukan hitam. Rintik juga saat itu. Tapi dia cantik tertimpa runtuhan air langit. Wajar aku yang tak seberapa ini terpesona. Dia anak ujung komplek satunya, dia lumayan idola, tinggal tak jauh dari komplek kami. Bapak ibunya teman mamak bapakku.
Tapi cerita kami cuma sebentar. Tak bertahan bulan. Dia pergi. Melanjutkan sekolahnya ke negeri seberang. Mau ku susul dia. Tapi kata mamak "Kita tak punya uang, nak". Aku mengalah. Adik-adikku banyak. Mereka butuh biaya. Aku mengalah lagi.
Sialnya, aroma tanah yang mengangkat ke udara bercampur gumpalan asap, bekas rumput yang terbakar usai disiram hujan, membuatku makin ingat, bahwa, sore itu, berbelas-belas tahun lalu, di tanah ini, di rerumput ini, tepat di sebelah sumur tua yang tak lagi berguna ini, kami sempat bertukar janji "Besok, kita bertemu lagi di sini".
Ku terdiam sebentar. Ku ingat, saat dia berkata kami akan bertemu besok, dia memainkan liontin yang tergantung di lehernya, dia buka, dan dia tunjukkan, ada foto kami di situ. Nostalgia sore itu. Empat jam sebelum ku tak percaya Tuhan.
Hujan perlahan mulai malu-malu turun. Sesekali dipancing bunyi gemuruh dari atap langit. Warna kemerahan memantul dari genangan air yang sedikit beriak karena dilewati belalang-belalang nakal.
Kini, ku pandangi lagi motor bututku. Ah, Hujan sudah berhenti kataku dalam hati. Saatnya aku beranjak dari sini. Saatnya ku lepaskan sandaran punggungku dari tembok yang warna hijaunya sudah teramat kusam.
Ku pandangi lagi tanah itu. Sekali lagi. Karena mungkin ini untuk terakhir kalinya aku melewati tempat ini. Ternyata aku dulu terlalu angkuh dan tak bernyali untuk mengatakan "Hei, aku sayang kamu, tetaplah di sini".
Hei, kau tau? Sampai saat ini, ku masih menunggu janjimu untuk kita bertemu besok, janji yang kau ucap sore itu, empat jam sebelum kau sisakan dinginnya tubuhmu yang terbujur kaku di depan mataku.
Tapi senja ini, ku kuatkan sekuat-kuatnya untuk bertanya kepada Tuhan yang tak ku percayai lagi karena telah merenggutmu dariku, "Tuhan, dia sedang apa di atas sana? Peluk dia Tuhan. Dia baik". (*)
POE