Tersenyum Saat Depresi, Psikiater Pun Dapat Tertipu
Pada saat kesehatan mental yang buruk terlihat, keadaan sebenarnya dapat jauh lebih buruk, penilaian resiko terbaik adalah mendengarkan.
Dalam keseharian, ketika kita melihat seseorang yang terlihat bahagia, dan berharap bahwa mereka memang merasakan hal yang sama. Pikiran ini refleks terjadi begitu saja, ketika memandang wajah seseorang yang sedang tersenyum, dan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Tentu saja hal tersebut membutuhkan usaha yang nyata untuk mengingatkan diri sendiri akan fakta bahwa seorang psikiater sangat memahami dari sisi intelektual tetapi harus lebih peka bahwa sikap yang ceria itu bisa sangat menipu.
Konsep depresi “Bahagia“ adalah hal umum dalam seni dan kehidupan, contohnya mulai dari Pagliaccio hingga Robby Williams.
Terlihat sangat aneh memang ketika kita berpikir bahwa seseorang dapat menjadi sangat depresi dengan gejala yang terlihat namun berusaha untuk menyembunyikannya, bahkan dari keluarganya sendiri. Timbul pertanyaan, apakah depresi mereka ini benar-benar nyata? Karena mereka masih tetap bekerja, tersenyum bahkan melontarkan kalimat lucu? Tentu saja depresi mereka nyata terjadi. Akan datang saatnya ketika perasaan depresi “bahagia“ mulai rusak, dan mereka tidak dapat mempertahankan fase tersebut lebih lama lagi. Namun apakah itu berarti penderitaan mereka menjadi berkurang? Jawabannya tentu tidak, faktanya terdapat tekanan untuk menjaga “penampilan“, mereka terbebani dengan tanggung jawab untuk terlihat bahagia yang tidak pada tempatnya, dan ini dapat menjadi salah satu aspek kesehatan mental yang paling berat.
Tidak memaksa untuk tersenyum mungkin akan lebih melegakan.
Hal tersebut merupakan hal yang relevan bagi psikiater, karena psikiater menghabiskan banyak waktu untuk menilai resiko tersebut. Tidak ada perdebatan soal ini, karena tentu saja psikiater ingin menyelamatkan setiap orang dari depresi agar tidak melukai diri mereka sendiri dan melukai orang lain. Penilaian resiko bukanlah ilmu pasti sehingga psikater harus sangat berhati-hati mengenai banyak hal untuk menyelamatkan seseorang dari depresi. Terkadang, meskipun psikiater sudah melakukan usaha yang terbaik , psikiater bisa saja salah menilai.
Masalahnya adalah penilaian resiko bisa menjadi hal yang terpenting dalam pelayanan yang berkesinambungan hal ini dapat menjadi tujuan utama dari konsultasi dengan pasien. Tidak ada seorang profesional pun dalam dunia kesehatan yang mampu menanggung beban dari kematian pasien, serta ketakutan mereka akan adanya penyelidikan yang mengakibatkan kehilangan mata pencarian. Hal ini bukan karena keinginan untuk menghindari masalah. Psikiater tidak melupakan pasien yang sudah meninggal, walaupun mereka tidak merasakan penderitaan dari keluarga pasien, namun selalu ada perasaan menyesal dan kesedihan yang mendalam.
Ketika belajar tentang gangguan depresi, psikiater memahami tentang Melancholia, yakni suatu kondisi di mana pasien menjadi lamban, terlihat sedih dan datar, gerakan mereka terlihat membosankan. Mereka berbicara dengan pelan dan sering terdapat jeda, terkadang mereka terlihat gelisah. Selain itu, memiliki gangguan pola tidur dan kurang nafsu makan, serta tidak dapat mengendalikan emosinya. Psikiater sering melihat sesorang yang depresi dengan kriteria seperti ini, dan mereka sering dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Namun bagaimana dengan depresi “tersenyum“?
Hal ini menjadi lebih rumit untuk menilai resiko pasien. Sebuah pendekatan yang formal dapat membuat psikiater percaya bahwa hal tersebut dapat diabaikan, dan memang terlihat dapat diabaikan ketika hal tersebut direkam. Namun dalam percakapan yang lebih mendalam, dengan kondisi fokus pasien yang berkurang dapat mengungkapkan lebih banyak hal. Hanya saja, cukup sulit bagi psikiater dengan waktu yang terbatas utnuk mencapai hal tersebut.
Dari pengalaman sebagai psikiater, dipastikan bahwa apa yang kamu lihat tidak selalu sama dengan informasi yang kamu dapat. Pasien akan merasakan depresi ketika mereka menyesuaikan “penampilan” mereka. Pada saat itu, jika seorang yang depresi berkata bahwa mereka merasa tertekan, dan mendapatkan respon “tapi kamu terlihat baik baik saja, kamu terlihat sangat sehat” meskipun mengetahui bahwa setiap orang menginginkan pasien tersebut sembuh dan tidak lebih dari itu. Namun ternyata hal tersebut cukup menganggu.
Sama halnya jika dikemudian hari ketika seseorang merasa baik-baik saja, hanya karena tidak mengunakan riasan wajah, dan orang lain akan berkata “kamu terlihat pucat“ dan ternyata hal tersebut dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman.
Psikiater sangat sadar bahwa ketika pasien berusaha dengan mengunakan lebih banyak riasan sehingga mengubah cara orang melihat mereka dan ini dikategorikan dengan menggunakan tanda-tanda yang dapat terlihat. Namun ternyata ini menjadi sebuah jebakan. Terlihat tidak terawat bisa jadi tanda dari sikap apatis terhadap tekanan. Di sisi lain hal ini juga dapat menjadi hal yang normal untuk pasien. Terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan agar setiap penampilan terlihat masuk akal, termasuk ketika seseorang yang pergi ke psikiater. Penampilan yang baik belum tentu menjadi sinyal bahwa semua baik-baik saja.
Semua peringatan ini juga berlaku untuk proses pemulihan yang seringkali terlalu lama. Ada saatnya ketika depresi membuat kita berupaya untuk menutupinya dengan mengkonstruksi pikiran bahwa “saya mungkin akan kembali sehat, dan ini adalah waktu yang paling berat, mungkin saya akan mulai dengan senyuman yang penuh “tekanan”, dan beralih ke depresi yang umum, namun di mana saya sekarang ?“.
Psikiater menyarankan dalam tahap ini sebaiknya pasien melakukan kegiatan normal seperti biasa, misalnya berolahraga, mencoba untuk bersosialisasi dengan orang lain, dan melakukan sesuatu yang disukai.
Masalahnya adalah pasien tidak bisa melakukan hal tersebut dengan “memasang“ wajah yang tertekan, dan ketika seseorang dengan naifnya bekata “kamu terlihat baik- baik saja“ pasein tersebut mencerna dengan pikirannya, maka hal tersebut akan menyebabkan penyangkalan terhadap diri sendiri. Pasien akan merasa tertekan untuk kembali bekerja dan kembali ke kehidupan normalnya karena merasa bahwa ini belum waktunya. Selain tidak tahu bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah ini, raut wajah seseorang pasien tidak selalu mencerminkan perasaan sesungguhnya. Banyak dari mereka merasa terbebani ketika menjalankan pengobatan, dan kenaikan berat badan sehingga terlihat kuat dan sehat, kondisi ini bisa disalahartikan dengan keceriaan.
Jadi waspadalah terhadap senyuman, juga penampilan yang ternyata bisa menjadi indikator yang kurang mampu untuk mendiagnosa kondisi sebenarnya dengan yang selama ini kita yakini. Pada saat kesehatan mental yang buruk terlihat jelas, sesungguhnya yang terjadi dapat lebih buruk. Apa pembelajaran bagi psikiater dan kita semua? Dengarkan orang lain, dengar apa yang ingin mereka ungkapkan. Mereka mungkin akan mengatakan sesuatu yang tidak bisa diekspresikan oleh wajahnya atau mengekspresikan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Rebecca Lawrence Konsultan Psikiater
Subscribe Kategori Ini