Opinion


Selasa, 20 Juli 2021 17:15 WIB

Rp50.000: Si Pemberi Insight Baru

Di Angkutan Umum

“Kresek... kresek… ” terdengar suara kertas yang entah keberapa kalinya diremas oleh seorang gadis kecil yang duduk di depan Adhi, baju yang dikenakan gadis kecil itu tak cukup bersih, dengan sepatu sekolah yang seharusnya berwarna hitam, namun cendrung hampir kehilangan warna aslinya. Kaos kaki hampir melorot tapi masih tertahan oleh karet gelang warna merah. Tentu saja gadis kecil ini mengunakan topi khas anak SD di sekolah negeri.

Terdengar wanita di sebelahnya berkata dengan pelan, “Dak apa-apa nak, Nina bilang sama bu guru, uang sekolah tahun ini dibayar setengah dulu, nanti setelah labu kita panen, ibu bayarkan semuanya.”

Tambah layu wajahnya ketika sang ibu berkata seperti itu, semakin tertunduk hingga terlihatlah tulisan dan lambang topi sekolah dasar itu.

“Sekolah di mana Bu?“ tak tahan Adhi bertanya kepada sang Ibu.

“Di SD Negeri 22, dekat sini nak,” jawabnya mencoba ramah. 

“Hari ini mau ambil rapor, tapi yah… belum tahu dapat atau belum, mau bicara dulu dengan guru kelasnya.”

“Nina punya berapa saudara bu?” tanya Adhi. 

“Ada tiga nak, kakaknya dua laki-laki dan adiknya satu perempuan masih kecil, tapi cuma Nina yang ibu sekolahkan karena lebih rajin belajar dibandingkan kakak-kakaknya, mungkin nanti bisa jadi guru matematika di sekolah negeri,” ujar ibu sambil melihat kertas di tangan Nina yang remuk bentuknya.

Percakapan pun berlanjut antara Adhi, dan Ibu dari Nina, berbicara panjang lebar, hingga Adhi menuliskan sebuah alamat di robekan kertas dari bukunya.

 

Di Kelas Perkuliahan

 

“Eh… kalian mau sumbangan untuk anak-anak putus sekolah gak?” ujar Adhi sambil berlari membawa kertas lusuh yang entah didapatkannya dari mana.

“Dari mana Dhi? Kenapa tiba-tiba datang ke kelas langsung mengajak semua orang buat sumbangan?”

Di Kelas Sastra Indonesia ini hanya ada 14 mahasiswa saja, tentu saja suara Adhi membuat semua orang akan memiliki pertanyaan yang hampir mirip tujuannya.

“Aku tadi naik angkot ke sini, ketemu dengan ibu dan anaknya di angkutan umum, anaknya pinter, tapi belum tau lanjut sekolah apa engga, karena masalah biaya, aku rasa kita bisa bantu.”  

Karena rasa penasaran, akhinya kami lihat juga kertas yang mungkin lebih buruk daripada kertas stiker yang biasa ditempel orang-orang di tiang listrik jalanan. Di samping tulisan “SEDOT WC“. 

Salah seorang teman menyahut “Gimana ya Dhi, mau bantuin anak orang buat sekolah, lah aku aja sampe kuliah masih dikirimin uang sama orang tua.“

Seakan-akan tahu apa yang ada di benak para mahasiswa perantau dengan kemampuan mengelola uang pas-pas an di pertengah bulan, Adhi berkata “Kita nyumbang ga perlu banyak, kita datang aja dulu ke rumahnya, biar bisa ngobrol-ngobrol di sana, ini bukan paksaan ya. Buat yang mau gabung, sehabis kuliah kita kesana”.

Tentu saja tidak semua mahasiswa di kelas ikut kerumah Nina, karena banyak hal yang mungkin menjadi prioritas mereka dan keputusan itu harus dihargai. Namun karena mengenal Adhi dari semester 1, dan selalu dalam satu kelas, akhirnya tersisa lima orang yang ikut ke rumah gadis kecil yang tak berhenti Ia ceritakan,

Di ruang tamu sederhana, kami berbicara banyak hal dengan ibunya, dan akhinya kami mengetahui jumlah uang yang dibutuhkan agar Nina dan kedua kakaknya kembali bersekolah, yakni  Rp250.000 setiap bulannya.

Artinya, masing-masing dari kami harus menyisihkan Rp50.000 rupiah yang dikumpulkan melalui Adhi. Jumlah Rp50.000 pada saat itu bukanlah jumlah yang sedikit, benar- benar bisa memanjangkan nafas anak kos-kos an di akhir bulan, sehingga terhindar dari obat ‘Promag’.

Berkunjung ke rumah Nina, melihat kehidupan mereka dari dekat, membuat kami akhinya memutuskan untuk mejalankan ide Adhi, setoran. Setiap bulan.

Dalam perjalanannya “setoran“ itu tentu saja tidak mudah bagi mahasiswa yang berada di antara  hidup hemat namun ingin tetap eksis kampus. Tak jarang kami juga memutuskan untuk tidak membeli makanan kesukaan, membeli aksesoris kekinian, ataupun nonton film pada waktu weekend karena harga tiket lebih mahal. 

 

6 Bulan Kemudian

“Hari ini kita kerumah Nina ya,” kata Adhi 

“Kenapa?” tanya kami berbarengan.

“Dhi, jangan bilang kamu mau sekolahin anak orang lagi ya?” tanya salah satu teman Adhi.

“Ga usah ajak kita dulu Dhi kalau kamu ada rencana paket sesi dua,” ujar teman Adhi yang lainnya.  

“Fokus ke Nina dulu aja gimana Dhi?” semua orang yang menyumbang sekarang disertai kecemasan.

“ Hahahaa… bukan itu, ibunya bilang, anak-anaknya hari ini bagi raport, jadi pingin kasih tau nilai raport mereka ke kita.” Adhi menjelaskan 

“Oh…” disambut kelegaan yang panjang, ditambah rasa haru dan deg-deg, kayak mau ambil rapor anak sendiri. Bukan hanya rapor Nina, tapi rapor kakak-kakaknya juga.

Di rumah Nina, kami disuguhkan labu rebus hasil panen ibunya, warnaya kuning tua, terlihat manis dan empuk. Tak lama, keluarlah Nina dan kakaknya memegang buku rapor untuk diberikan kepada kami. Canggung, ragu, namun penuh senyum. Setelah memberikan buku rapor, berjejerlah mereka tiga bersaudara, wajahnya mereka tampak cemas, seperti berada di depan penguji beasiswa. 

Dua orang kakak Nina, mendapatkan nilai yang cukup baik di kelasnya, dan Nina mendapakan peringkat 3 tertulis di rapornya. 

“Wah… Selamat ya kalian. Hebat!” ujar Adhi, sontak kami pun mengacungkan jempol. 

Nina, Ibu, dan kedua kakaknya, memandangi kami satu persatu yang sibuk melihat isi rapor mereka. Ada canggung di sana, terimakasih yang tak mampu diucapkan, air mata yang ditahan, dan yang keluar hanya senyuman serta sorot mata yang membahagiakan.

Kunjungan kedua kerumah Nina, ternyata benar-benar membawa makna yang berbeda bagi kami, ketika membolak-balik isi rapor mereka, rasanya terbayar keletihan  karena menahan keinginan diri, untuk membeli makanan di resto yang lumayan fancy, baju model terbaru, atau pernak-pernik lainya.

Uang Rp50.000 itu memberikan pelajaran baru tentang berkorban. Mungkin bagi sebagian besar orang Rp50.000 tak memiliki arti yang besar. Hanya sekedar uang yang digunakan untuk menikmati secangkir kopi kekinian, makanan take away yang sedang viral, atau memberli paket internet yang ditujukan untuk me time, dari pada mencari tugas belajar.

Iya, Rp50.000 bagi sebagian orang adalah menahan diri untuk tak membeli sesuatu yang diinginkan. Menahan diri dari sifat konsumtif yang mungkin dilakukan untuk mengesankan orang lain. 

Namun, bagi Nina dan keluarganya, Rp50.000 adalah ambang batas antara makan atau tidak makan, batas antara melanjutkan sekolah atau tidak sekolah sama sekali.

Pengorbanan tak ada hitungan kecil dan besar, tak harus menjadi mampu dan berlimpah untuk melakukannya. Banyak atau sedikit dalam berkorban selalu ada kebaikan di dalamnya. 

Setiap kita adalah Ibrahim, harta, kedudukan, keluarga, dan jabatan kita adalah Ismail yang kita sayangi dan pertahankan. Ketika kita berkurban, sebenarnya bukanlah harta kekayaan, barang, atau uang yang kita korbankan, namun hakikatnya kita mengorbankan dan melepaskan rasa kepemilkikan kita akan dunia.

Selamat Hari Raya Kurban semuanya…

 

GN


#Gaya Hidup
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur