Culture


Jum'at, 21 Mei 2021 20:46 WIB

Senja di Geopark Juru Seberang

Ical penipu. Bagaimana bisa dia membatalkan rencana jalan-jalan ini tepat 2 jam sebelum berangkat. Masalahnya, Ical membatalkannya dalam keadaan aku yang benar-benar siap untuk berangkat. Aku mengenakan kaos yang dibalut jaket, sandal gunung, dan belajar dari perjalanan kemaren, kali ini aku mengenakan celana panjang. Kaki ku langsung belang gara-gara hanya mengenakan celana pendek, serta rambut ku kuncir bagai buntut kuda. Memang rada tomboi, yang penting nyaman kan?

 

Aku kesal hingga ke ubun-ubun. Jadi jauh-jauh dari Jakarta, hari ini aku hanya di hotel dan hanya menatap pantai? Ini bukan ide yang buruk, tapi mungkin seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah aku benar-benar penat jalan-jalan.

 

Karena sudah terlanjur siap, sepertinya aku menyetujui pemikiran ku. Aku harus ke pantai. Aku berjalan ke arah belakang hotel, menyusuri jalan setapak dan tiba di pantai. Iya, sedekat itu. Ku rogoh handphone (hp) ku yang berada di saku celana dan mulai mengambil gambar landscape pantai, tidak lupa yang portrait juga untuk snapgram. Tag lokasi dan kirim.

 

Tak menunggu waktu lama, sudah banyak respon dari teman-teman ku, mata ku liar di dalam handphone, meniti satu persatu siapa saja yang ‘gercep’ memberikan komentar di postinganku.

“Di mana itu?”, “keren banget!”, “liburan kok gak ngajak”,”pengen ke Belitung”. Mama juga turut menghiasi kolom percakapan, “Kak, beli gula merah ya. Tanyain aja gula kirik/kabong gitu, entar Mama transfer”. Aku heran, kenapa jauh-jauh ke Belitung cuma untuk beli gula merah? Kan di Jakarta juga banyak.

 

Terpaku menatap layar hp yang berisikan komentar orang tentang pantai, mata ku tertuju pada chat dari teman lama. Ialah Prita, teman masa kecil ku. Kami tinggal satu komplek perumahan. Karena seumuran aku dan Prita menjadi sangat akrab. Aku ingat masa-masa kami bermain bersama , memainkan peran menjadi princess, masak-masakan, dan main karet. Sepertinya, masa kecil ku cukup bahagia hanya dengan bermain dengan Prita.

 

Tapi sesuatu terjadi, Ayah Prita diharuskan untuk pindah tugas. Dari Jakarta mereka pindah ke daerah Sulawesi dan dari foto yang ditampakkkan di Instagram, sepertinya Prita sekarang tinggal di Belitung.

 

“Kamu di Belitung, meet up yuk” tulisnya di kolom percakapan

 

Sejujurnya aku tak enak jika harus berjumpa dengan Prita, anak ini sangat baik kepada ku. Tapi aku malah tega menjahatinya. Seingatku kelakuan ku ini cukup untuk membuat Prita menangis berhari-hari dan tak lagi menyapa ku hingga mereka benar-benar pindah. Karena sudah sama-sama menginjak usia 20 tahun, kurasa Prita sudah memaafkan atas apapun kesalahan yang telah ku perbuat itu. Lagi pula ini waktu yang pas untuk kembali merajut hubungan baik sebagai mantan tetangga Prita. Ical yang seharusnnya menjadi tour guide ku juga tiba-tiba tidak jadi datang.

 

 “Boleh, hari ini gimana?”tanya ku

 

Aku tau, permintaan ini cukup mendadak. Tapi ini masih pagi dan masih banyak waktu yang tersisa untuk menghabiskan hari.

 

“Hmm, tapi mungkin agak sore. Kalau pagi aku mesti bantu ibu dulu mengantar pesanan,” balasnya.

 

“Oke, gak apa-apa,” jawabku.

 

“Share location ya,” pungkasnya.

 

Aku langsung mengirimkan lokasi penginapan ku ke Prita. Aku takut ini akan menjadi pertemuan yang canggung. Kami benar-benar sudah lama sekali tidak bercakap-cakap. Tidak ada kesamaan kisah kecuali masa lalu yang sudah banyak terlupa.

 

Di pantai aku sibuk membalas percakapan teman-teman yang ‘kepo’ mengenai Belitung. Aku juga menelpon adik ku dan menceritakan pengalaman ku travelling di Openpit kemarin. Sudah jelas tujuanku untuk membuat adik ku iri. Seorang pecinta alam seperti dia tidak akan senang melihat kakaknya menikmati alam se asri Belitung.

 

“Lu di mana? Asli kak. Masa pergi gak bilang gue dulu. Gue juga lagi libur nih kan bisa ikutan,” ujar suaranya dari seberang.

 

“Bodo amat. males banget gue jalan sama lu. Udah di rumah ketemu lu, sekarang harus banget di Belitung sama lu lagi,” ungkapku.

 

“Udah lah, jaga kucing gue. Jangan lupa dikasih makan. Ntar gue beliin bed sama gantungan kunci deh buat ngeramein tas carrier lu,” tambahku.

 

“Ih masa gitu doang. Kucing lu ribet. Gue jagain tapi beli 15 biji ya. Mau gue bagiin juga sama anak-anak Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam),” ujar adik ku.

 

“Ngelunjak lu ya. Gak apa-apa deh yang penting Robert aman, see you dek,” tutup ku.

 

Matahari semakin tinggi. Laut di hadapan ku semakin membiru, air bening nampak semakin jelas. ambil foto sebentar, aku beranjak dan kembali ke kamar. Angin sepoi-sepoi ini ternyata membuatku mengantuk.

 

“Brrrt brttt” layar handphone ku bertuliskan nama Prita. Dalam kondisi setengah sadar aku mengangkat telpon.

 

“Aku udah di depan hotel ya,” ungkap Prita melalui telepon.

 

“Cepet banget Prit. Ke kamar gue aja dulu yak. Gue baru banget bangun. Eh, gue yang ke sana aja. Tunggu di lobby ya,” dengan sangat tergesa-gesa, sambil mengumpulkan nyawa aku berusaha mencuci muka, membawa peralatan yang harus ku bawa, dan menggunakan sendal gunung.

 

Tampak Prita duduk di lobby dengan manis. Merapatkan kaki sambil membaca majalah-majalah hotel yang sepertinya tidak update lagi.

 

“Eh Prita, udah lama ya?” tanyaku.

 

“Enggak kok, kamu ada rencana ke mana?” tanya Prita.

 

“Belum ada sih, cuma nyokap gue nitip beli gula merah,” kata ku.

 

“Ohh, kita ke Juru Seberang aja kali ya. Nanti sekalian beli gule kirik/kabong itu. Kayaknya sejalur deh, ingetin pas jalan pulang,” ungkap Prita.

 

Aku sih cuma ikut-ikut saja, Prita lebih tahu Belitung. Setelah memanaskan mobil dan membuang udara pengap dari dalam mobil, aku dan Prita langsung berangkat. Di jalan, Prita seperti Ical. Membahas Belitungnya. Aku berusaha menyimak, karena ini Prita bukan Ical. Prita menjelaskannya dengan gaya yang lebih manis.

 

“Jadi, kalo ke Belitung itu agak sulit kalau mau traveling solo yang kamu tidak punya teman sama sekali. Transportasi umumnya minim. Makanya agency travel lumayan laku loh,” jelas Prita.

 

Penjelasan Prita berbanding terbalik dengan Ical. Dengan gaya bahasa yang cepat, suara Ical seperti angin lalu. Kalau Prita yang cerita, aku benar-benar paham. Bahkan, SMA Prita yang baru kita lewati pun aku ingat bentuknya.

 

Tak terasa 45 menit perjalanan, kami tiba di Juru Seberang. Tampak membentang pasir putih dan pohon cemara yang tumbuh rapi. Tampak dirawat. Setibanya di sana, aku dan Prita mulai berjalan. Nampak sebuah rumah panggung. Tepat di depan ‘panggung’ nya tertulis besar “INFORMATION CENTER”. Aku yang cukup kritis ini terpanggil untuk melihat bagian dalam rumah yang katanya pusat informasi tersebut.

 

Tertera cerita dari Kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Juru Seberang. Daerah ini dulunya merupakan kawasan kritis bekas tambang timah. Namun dengan dukungan dari berbagai pihak, daerah ini dipulihkan dan menjadi geowisata menyusur taman wisata mangrove yang memiliki pemandangan pesisir pantai nan indah.

 

 “Keren juga ya Prit,” ungkap ku kagum.

 

Dalam hati aku bergumam, sepertinya usaha mereka tidak lah mudah. Banyak tahapan pemulihan yang harus dilalui agar hutan mangrove ini mendapatkan spot view seperti sekarang.

 

“Dulu disini cuma kubangan bekas galian timah, karena sudah ada yang ngurus, jadi gini deh. Kawasan ini juga sudah di akui UNESCO sebagai bagaian dari Geosite dunia,” ujar Prita.

 

Jangan ditanya mengapa anak ini bisa tahu sedetail itu. Memang wawasannya luas banget. Bahkan dari cerita yang dikisahkannya, Prita berencana mengambil beasiswa S2. Hanya saja ibunya lebih membutuhkan bantuan Prita di rumah.

 

Kami melanjutkan langkah menuju gapura masuk kawasan wisata yang bertuliskan ‘Welcome to Geosite Juru Seberang’. Terdapat jembatan jalan setapak dari kayu yang tersusun rapi, masuk menuju pulau, di mana mangrove tumbuh lebih banyak.  Cantik. Kami tiba pada sore hari. Semburat cahaya lembut melewati dedaunan pohon. Aroma khas laut dan bunyi ombak perlahan merelaksasi otak ku yang kelamaan terjebak macet Jakarta.

 

“Ibu mu apa kabar Prit,” tanya ku.

 

“Panggil Ta aja. Jelek sekali Prit, Prit, seperti peluit,” pinta Prita.

 

“Eh iya Ta. Ibu mu apa kabar?” tanya ku lagi.

 

“Semenjak ayah meninggal, ibu memutuskan untuk pulang ke Belitung supaya dekat dengan saudara. Lagi pula karena aku anak tunggal, Ibu juga tidak mau aku kesepian. Terus keluarga kamu gimana?” tanya Prita.

 

“Sehat. Inget adek gue yang paling kecil. Yang sering kita kerjain. Udah gede dia. Gue satu kampus sama tu bocah. Kata temen-temen gue, dia cute gitu. Gue yang liat dia tiap hari sih ngerasa dia gak ada cute-cute nya sama sekali,” ujarku.  

 

Aku mengambil langkah beriringan dengan Prita. Menyusuri jalanan yang terbuat dari papan. Dan tiba hutan kawasan mangrove. Pasir putih lembut mengenai kaki ku. Air laut nan bening ikut menyejukkan mata.

 

“Ibu sekarang jualan kue. Walaupun sempat terpuruk ditinggal ayah, aku salut dengan ibu ku. Ia bangkit tanpa bantuan orang lain. Kami jauh dari keluarga besar, diusir dari rumah dinas. Yang ibu punya cuma aku. Begitu juga aku,” ungkapnya.

 

Meskipun cerita Prita ini terdengar sedih tapi Prita menceritakannya sambil tersenyum dan tertawa, seolah kisah hidupnya cuma candaan dari Tuhan untuk keluarganya. Tak tampak sedikit pun air mata yang menggenang di mata.

 

“Lu keren Ta. Gue salut banget sama lu,” ujarku kagum.

 

Aku ingat betul seperti apa keluarga Prita. Mereka sangat ramah kepada kami. Ibu Prita selalu membagikan kuenya untuk aku dan adik ku bahkan dengan tidak tahu malu aku sering minta tambah banyak sampai Prita cuma makan sepotong kue saja. Tak ku kira badai menerjang mereka yang baik hatinya.

 

 

Menikmati rindangnya hutan bakau meyakinkan aku untuk segera minta maaf kepada Prita atas dosa kecil yang dulu pernah ku perbuat. Aku merasa ini waktu yang tempat untuk mengungkapkan segala kegundahan hati. Prita yang sempat menjadi asing. Suasana asri dan tenang mendukung keakraban aku dan Prita.

 

“Prit, eh ta,” ungkapku.

 

“Kenapa?” tanya Prita.

 

“Maafin gue ya,” ungkapku.

 

“Memangnya kenapa? Kamu salah apa?” Tanya Prita lagi.

 

Aku berusaha jujur.

 

“Dulu gue pernah ambil sendal kesayangan lu. Kalo gak salah yang kanan?” ungkapku.

 

“Hah? Kamu masih inget aja. Aku sudah lama lupa. Hahaha," Prita lantas tertawa mengingat momen itu.

 

“Iya, tapi kata nyokap gue, lu nangis mulu dan lu gak mau lagi main pas gue ajak. Gue cuma gak mau lu ke mana-mana. Dulu gue kira dengan ngambil sendal lu, lu bakal tetep stay di Jakarta. Tiba-tiba aja rumah lu udah kosong,” ungkapku.

 

“Yaah, sebenarnya itu sandal pemberian dari kakek aku. Kakek beli di Amsterdam. Beliau bilang suatu saat aku bisa keluar negeri pakai sendal ini. Intinya memorable banget. Jujur, saat itu mungkin aku kecewa. Tapi udah kok. Udah lama aku ikhlasin. Semoga kakek tenang aja,” Prita tetap kalem. Ini Prita yang dari dulu ku rindukan.

 

Kami tiba di ujung jalanan dari papan ini yang tampak seperti dermaga. Aku duduk di ujungnya lalu mengayun-ayunkan kaki yang semakin mendekat ke air laut, Prita juga ikut melakukannya. Kami larut dalam pembicaraan, semakin dekat, tanpa gadget. Cuma aku dan Prita. Anak ini sudah semakin dewasa, pemikirannya luar biasa luas. Aku yang kritis ini memang cocok dengan Prita yang serba tahu.

 

 

Hari semakin larut. Matahari mulai tenggelam dan menampakkan setengah sinarnya. Tenggelam melewati awan tipis. Sudah lama aku tidak mendapatkan ketenangan ini. Mungkin lain ceritanya jika aku ke sini dengan Ical. Suara Ical yang seperti kenalpot bajaj tidak akan menghadirkan ketenangan.

 

“Foto yuk,” ajak Prita.

 

“Hp gue ketinggalan di mobil,” ungkap ku usai merogoh tas.

 

“Pake kamera aku aja,” tawar Prita.

 

Prita mengeluarkan kamera Sony Mirror Less miliknya. Segala angle kami tangkap. Mulai dari yang senyum biasa sampai gaya pura-pura gila. Foto sendiri dan berdua. Aku cukup menyesal baru mengenal Prita lagi sekarang. Ia benar-benar ditimpa keadaan. Menjadi wanita manis, anggun, dan juga pintar, aku cukup menyayangkan keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikannya di pasca sarjana.

 

Sebelum matahari benar-benar hilang kami memutuskan untuk pulang. Mama selalu melarangku berada di luar ketika azan Maghrib berkumandang. Aku tiba di hotel.

 

“Makasih banyak ya Prita,” ucapku.

 

“Iya sama-sama. Kangen banget aku. Kapan-kapan kita main lagi ya,” ungkap Prita.

 

Prita tampak mulai menutup kaca mobilnya dan melaju. Aku teringat sesuatu.

 

“Prit…. Pritaaaa!” teriak ku.

 

Ah, Prita sudah tidak mendengar suaraku. Aku hanya ingin mengingatkannya bahwa gula kabong titipan Mama lupa kami beli. Sudah lah, tak apa. Toh aku masih akan di Belitung beberapa hari.

 

Penulis : Natasya


Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur