Masih ingat? Pada tanggal 25 Mei 2016 Presiden Joko Widodo mengumumkan di depan media didampingi menteri-menterinya, di situ ada Yasona--saat itu menjabat Menkumham, bahwa ia selaku Presiden bersama tim-timnya telah merumuskan sesuatu yang (katanya) bakal bikin predator seks anak-anak jadi jera memangsa bocah demi hasrat seksual, dan merinding ketakutan.
Dengan menggunakan setelan jas hitam, celana hitam, daleman baju kemeja putih berdasi merah dan berpeci, seperti biasa gaya dia saat mau bicara, kening agak dikerutkan, lalu sedikit meninggikan nada bicara pada pokok masalah, maka dibuatlah pengumuman (katanya) penting itu: penandatanganan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan ke 2 atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Intinya? Presiden menasbihkan dirinya setuju bahwa adanya Penambahan Pidana atau Pidana Subsider yaitu, hukuman kebiri dengan bahan kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Tidak hanya kebiri kimia, Presiden juga setuju pemasangan alat deteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku ke publik.
"Pidana tambahan yaitu pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik," kata Presiden di Istana Negara, Jakarta, hari itu.
Oke, mari kita bedah satu persatu apa isyarat dari penambahan pidana dari Presiden kita ini. Seperti, soal pengumuman identitas kepada publik. Mungkin ini adalah salah satu yang menurut saya pribadi lumayan ada progress-nya dibanding sebelum-sebelumnya.
Saya yang kesehariannya bersentuhan dengan media tentu tak jarang bertemu dengan berita dari kawan-kawan wartawan soal adanya pelaku pencabulan lah, pemerkosaan lah, inilah-itulah yang kadang bikin saya pribadi geram, rasa-rasanya saya ingin foto muka sang pelaku ini ditampilkan jelas-jelas tanpa blur, tanpa blok (terkadang ada permintaan dari pihak berwajib agar identitas wajahnya disamarkan). Tapi lagi-lagi setiap tangan saya gatal untuk menampilkan wajah si tersangka, tak jarang saya sering ditegur agar jangan lupa untuk mengaburkan wajah si pelaku, dengan alasan masih tersangka belum terdakwa, walaupun terkadang saya harus beradu argumentasi bahwa, loh ini si pelaku udah ngaku dia nyabulin bocah dan sebagai dan sebagainya.
Tapi yah, tetap saja pada akhirnya saya harus mengalah karena ada ketentuan yang tertulis maupun tak tertulis bahwa ini masuk dalam kode etik jurnalis. Okelah, its oke.
Tapi begitu mendengar konferensi pers yang disampaikan Jokowi, saat itu saya melihat re-run di salah satu televisi swasta bahwa ia mengatakan hukuman tambahannya adalah berbentuk hukuman sosial dengan mengumumkan jati diri si pelaku, saya seperti dapat angin segar!
"Wah, ini yang saya tunggu! Jadi, tidak ada lagi alasan untuk tidak menampilkan wajah sang predator itu!" seperti itu gumam saya kurang lebih saat mendengar pengumuman Presiden.
Tentu ini lonjakan baru. Karena kalau kita melihat di media cetak, atau televisi bahkan media online para pelaku ini sering ditutupi wajahnya pakai apa itu namanya, semacam topeng kain hitam-hitam?
Ah, lagi-lagi saya menyandarkan punggung saya di kursi depan televisi. Saya berpikir lagi, yang dimaksudkan oleh pemerintah untuk mengumumkan sang pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur itu seperti apa sih konkritnya?
Jadi sebetulnya apa yang disebutkan Presiden itu dalam konferensi persnya, sudah jauh-jauh hari diterapkan media massa di tanah air. Kadang media terutama yang konvensional, bahkan alamat si pelaku lengkap-lengkap ditulis, sampai akang-akang jual es puter pun kena wawancara.
Oh, mungkin lagi-lagi saya pikir ini dijadikan legalitas saja, kalau selama ini aturannya hanya berdasarkan rasa gak enak hati sekarang udah bisa jadi mati-mati aja lu.
Jadi, sah-sah saja kalau saya menyebut unsur penambahan pidana dengan pengumuman jati diri si pelaku adalah legalitas untuk media massa menampilkan wujud orangnya. Kalau bisa biodatanya, bintangnya apa, hobinya apa, cita-citanya apa, tampilkan semua. Jadi masyarakat tahu oh, si Anu ini sebelum merkosa bocah dulunya pernah bercita-cita jadi penerbang pesawat ulang-alik NASA, misalnya.
Lalu, yang berikutnya, Pak Presiden kita bilang akan menancapkan chip di tubuh si pelaku. Nah, yang ini saya pribadi agak kurang mengerti, ini arahnya mau ke mana? Bisa saja mungkin ini adalah wujud membuat si pelaku yang awalnya manusia sejati setelah dipasang chip itu akan terasa seperti binatang.
Iya dong. Biasanya chip itu dipakai untuk membuat binatang-binatang buas agar terdeteksi dan diketahui sedang berada dan sembunyi di mana.
Yah, bagi saya wajarlah kita mengategorikan predator seks terhadap anak sebagai jelmaan binatang. Memang patutlah dia dibikin seolah-olah seperti binatang. Tapi aplikasinya nanti bagaimana? Misalnya kalau chip untuk binatang itu yang saya tahu -maaf kalau saya salah- dipasang dengan radius sekian ratus meter. Jika sudah lewat dari range yang diprogram maka chip itu akan hidup dan mendeteksi gerakan lalu membuat semacam sistem kejut, entah itu semacam arus listrik bertenaga rendah namun bisa membuat lemas, atau ada zoo keeper yang akan ke lokasi secepat kilat.
Jadi saya rasa, kalau yang pakai sistem zoo keeper tidak mungkin karena, mana ada sumber daya manusia kita yang mau mengawasi satu per satu. Tapi dari bahasa yang disampaikan Menteri Yasona, chip itu hanya akan membaca si pelaku berada di mana. Jadi, untuk apa Pak? Lha wong saat dia berada di suatu tempat bisa saja dia baru selesai memperkosa? Atau bisa saja dia abis kondangan? Lalu datanya disimpan di bank data mana? Mau dijadikan apa? Hemat saya sih, pemasangan chip cuma buang-buang energi saja. Ada atau tanpa chip itu kalau memang sudah bawaannya pengen mangsa bocah, ya sambil nongkrong depan rumah juga bisa. Diperlakukan seperti binatang pun dia tetap manusia yang punya otak untuk berakal. Bukan begitu?
Nah, yang terakhir penambahan pidananya adalah kebiri kimia. Selama ini sih dalam otak saya yang ada hanya murni kebiri. Orang itu pokoknya dibikin gak bisa ngapa-ngapain, punya hasrat sebesar gunung pun yaaaah, paling cuma bisa menghayal saja, mau ngapain? Mau merkosa? Gimana mau merkosa, lah wong itunya gak bisa naik-naik.
Inilah serunya kebiri, istilah kasarnya mau kamu setegap Hercules sekalipun tapi kalau itu mu gak bisa berdiri, kamu tetaplah seekor lalat yang cuma bisa nemplok di kulit.
Kalau kebiri murni ini khasiatnya seumur hidup, berbeda ternyata dengan kebiri kimia. Karena dari apa yang saya baca karena saya penasaran, selain kebiri fisik yang saya sebut tadi, ada kebiri kimia ini. Kita tahu lah, kebiri fisik dilakukan dengan cara mengamputasi organ seks eksternal pemerkosa, sehingga membuat pelaku kekurangan hormon testosteron. Kurangnya hormon ini akan banyak mengurangi dorongan seksualnya.
Sementara itu, kalau kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang supaya produksi hormon testosteron di tubuh mereka berkurang. Hasil akhirnya sama dengan kebiri fisik.
Menurut Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pangkahila, memang pada era modern sekarang ini, kebiri tak lagi dilakukan dengan membuang testis, tetapi secara kimia dengan prosesnya bisa melalui pemberian pil ataupun suntikan hormon anti-androgen.
Hormon anti-androgen itu adalah anti-hormon laki-laki. Pemberian obat anti-androgen tidak akan memunculkan efek pada seorang pria akan menjadi feminin, itu kata Wimpie.
Tapi kebiri kimiawi menimbulkan efek negatif berupa penuaan dini pada tubuh. Cairan anti-androgen diketahui akan mengurangi kepadatan tulang sehingga risiko tulang keropos atau osteoporosis meningkat. Anti-androgen juga mengurangi massa otot, yang memperbesar kesempatan tubuh menumpuk lemak dan kemudian meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
Nah, ini dia yang jadi masalah, yang mungkin menurut hemat saya kok Presiden nanggung-nanggung sih bikin aturan. Karena dari yang saya baca-baca juga kebiri kimiawi tidak bersifat permanen. Artinya, jika pemberian zat anti-androgen dihentikan, efeknya juga akan berhenti dan pemerkosa akan mendapatkan lagi fungsi seksualnya, baik berupa hasrat seksual maupun kemampuan ereksi.
Jadi bisa kita bayangkan dong, kalau kira-kira orang itu dianggap sudah sembuh bukan tidak mungkin pemberian zat itu dihentikan, yang artinya dia tidak lagi di posisi sedang dikebiri, jadi dia normal lagi. Apakah ada jaminan setelah dia dianggap sehat dia tidak melakukan perbuatan bejat tersebut lagi dan lagi? Walaupun kita juga tidak bisa menampikkan bahwa bisa juga dia memang sudah tobat.
Tapi apapun itu yang telah diputuskan oleh pemerintah wajib kita apresiasi dan kita dukung karena, pemerintah telah memikirkan untuk tetap membuat generasi-generasi ke depan merasa aman dari predator-predator seks yang belakangan marak.
Intinya Pak Presiden, langkah anda cukup tepat, kalau pun memang ada celah yah namanya juga aturan ya Pak, tetap ada celah. Jadi pesan saya, kalau gak mau 'itu'-mu gak bisa berangkat lagi, jangan coba-coba jadi pemerkosa. Sepakat? (*)
Penulis: Putra Mahendra