News


Kamis, 22 Juni 2023 10:07 WIB

Nasional

Netizen Lebih Percaya Influencer Ketimbang Berita Jurnalis, kenapa?

Ilustrasi netizen membaca berita di gawainya (foto: net)


Influencer kalahkan jurnalis sebagai sumber berita. Survei menemukan bahwa 55 persen pengguna TikTok, Snapchat, dan 52 persen pengguna Instagram mendapatkan berita mereka dari para influencer dan selebritas.
______

Penulis: Deutsche Welle
Editor: Putra Mahendra


HANYA 33 sampai 42 persen yang mendapatkan berita dari media arus utama dan jurnalis di platform-platform tersebut, yang sangat populer di kalangan masyarakat muda.

Laporan tentang hasil survei itu dirilis pada hari Rabu (14/06). Angka tersebut didasarkan pada wawancara dengan sekitar 94.000 orang di 46 negara, yang dilakukan untuk Reuters Institute for the Study of Journalism, bagian dari Oxford University di Inggris.

Sementara jurnalis arus utama sering memimpin percakapan seputar berita di Twitter dan Facebook, mereka berjuang untuk mendapatkan perhatian di jaringan yang lebih baru seperti Instagram, Snapchat, dan TikTok,"

Nic Newman

Penulis utama hasil survei itu, Nic Newman, menyoroti orang-orang seperti Matt Welland dari Inggris, yang membahas peristiwa terkini dan kehidupan sehari-hari di TikTok untuk 2,8 juta pelanggannya.

"Atau bisa jadi selebriti seperti pesepakbola membicarakan acara berita topikal," katanya kepada kantor berita AFP. Contohnya kampanye pesepakbola Marcus Rashford tahun 2020 untuk mendapatkan makanan gratis di sekolah bagi anak-anak dari keluarga miskin.

Lebih banyak orang membaca berita dari media sosial

Bagi kaum muda, "berita" bukan hanya yang secara tradisional fokus pada politik dan hubungan internasional, melainkan "segala sesuatu yang baru yang terjadi di setiap lapisan masyarakat: olahraga, hiburan, gosip selebriti, peristiwa terkini, budaya, seni, teknologi..." kata Nic Newman.

Facebook tetap menjadi sumber berita utama di antara jejaring sosial di seluruh dunia, tetapi pengaruhnya menurun, dengan 28 persen mengatakan mereka menggunakannya untuk mendapatkan berita, dibandingkan dengan 42 persen pada 2016.

Ini kemungkinan mencerminkan pergeseran Facebook dari sarana berbagi berita ke fokus pada teman dan keluarga, serta preferensi anak muda pada banyak aplikasi berbasis video seperti TikTok dan YouTube.

TikTok sekarang menjangkau 44 persen pengguna dari usia 18-24 tahun, dan 20 persen mendapatkan berita dari aplikasi, naik lima persen dari tahun lalu.

Tantangan terbesar bagi outlet berita tradisional adalah menurunnya jumlah orang yang membuka langsung situs web mereka, hanya 22 persen, turun 10 poin sejak 2018. Kebanyakan pembaca sekarang mengandalkan tautan media sosial.

Perubahan mendasar

Direktur Institut Reuters, Rasmus Kleis Nielsen, dalam kata pengantarnya mengatakan, pergeseran ini menghadirkan "perubahan yang jauh lebih mendasar" bagi industri berita, bahkan lebih drastis dibanding peralihan dari cetak ke digital satu generasi yang lalu.

"Media lawas ... sekarang menghadapi transformasi digital yang berkelanjutan seiring bertambahnya usia generasi (pembaca mereka)" sedangkan generasi yang baru "memiliki lebih sedikit minat pada banyak tawaran media konvensional yang berorientasi pada kebiasaan, minat, dan nilai-nilai generasi yang lebih tua," katanya.

Audiens baru ini sadar akan risiko mengandalkan algoritma, dengan hanya 30 persen berpikir ini adalah cara yang baik untuk mendapatkan berita yang seimbang, tetapi itu masih dianggap lebih baik daripada mengandalkan laporan para jurnalis, yang hanya mendapat skor 27 persen.

Semua ini bukan kabar baik bagi perusahaan media konvensional yang bergantung pada pelanggan dan pendapatan iklan. Survei Reuters Institute menemukan, 39 persen pelanggan telah membatalkan atau menegosiasi ulang langganan, meskipun jumlah keseluruhan orang yang membayar berita di 20 negara yang disurvei tetap stabil, yaitu sebesar 17 persen.

“Dark Social” ketika media sosial menjadi sumber berita

Saat ini, medium yang kian banyak digunakan untuk membagikan berita beralih pada ruang-ruang bersifat tertutup "dark social".

Media sosial kian banyak dimanfaatkan sebagai rujukan sumber berita oleh masyarakat. Rasionalitas dan sikap kritis warganet diperlukan untuk membendung berita bohong di ruang dark social.

Makin banyaknya publik yang menjadikan media sosial sebagai referensi berita tercermin dari hasil survei Digital News Report 2021 yang menunjukkan adanya pertumbuhan audiens berita yang mengandalkan media sosial sebagai sumbernya.

Secara global, pada 2014 didapati hasil survei bahwa 14 persen audiens mendapatkan berita dari media sosial, angka ini bertambah menjadi 18 persen di tahun 2021. Jika ditilik dari angkanya, dapat dikatakan tidak terlalu besar pertumbuhannya.

Namun apabila digali lebih dalam, terdapat peningkatan yang cukup signifikan pada pengguna WhatsApp (WA). Audiens yang mengandalkan WA sebagai sumber berita pada 2014 hanya 7 persen, sedangkan di tahun 2021 menjadi 17 persen.

Aplikasi lainnya yang menjadi favorit audiens adalah Instagram, Twitter, YouTube, dan Facebook. Audiens yang menggunakan Facebook sebagai sumber berita justru mengalami penurunan, hal ini terjadi ketika layanan Facebook Messenger mulai diperkenalkan dan termasuk dalam survei sejak 2017.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa medium yang digunakan untuk membagikan berita beralih pada ruang-ruang bersifat tertutup (dark social).  Istilah dark social media atau dark social diperkenalkan oleh Alexis C. Madrigal seorang editor desk teknologi di media The Atlantic.

Istilah ini merujuk pada distribusi informasi di luar wilayah yang dapat dideteksi oleh mesin pemantau. Hal ini terjadi ketika pengguna mengirim pranala (link) melalui sistem komunikasi tertutup.

Sebutan dark atau gelap melekat karena wahana komunikasi tersebut bersifat tertutup dan sulit untuk ditelusuri, bukan karena sifat negatif atau buruk.

Jenis media yang termasuk dark social salah satunya media sosial yang berfungsi untuk berkirim pesan pribadi. Pesan bisa disampaikan secara interpersonal atau dalam suatu kelompok tertentu. Platform dark social yang populer yaitu WhatsApp, Telegram, Line, dan aplikasi sejenis lainnya.

Popularitas “ruang gelap” ini menarik untuk diamati, bukan hanya karena semakin banyaknya publik yang menjadikannya sebagai referensi berita, tetapi juga pola distribusi berita oleh warganet penghuni ruang ini ketika berbagi informasi.

Salah satu sorotan yang ditujukan kepada dark social yaitu mengenai distribusi berita yang dapat merugikan masyarakat. Ada tiga jenis berita yang berbahaya. 

Pertama, adalah hoaks atau berita bohong yang diyakini kebenarannya namun tidak berdasar fakta. Jenis kedua disinformasi, yaitu informasi yang memiliki aspek fakta namun dimanipulasi sedemikian rupa dengan tujuan menimbulkan kekacauan. Jenis berita yang ketiga adalah misinformasi, jenis pesan yang tanpa sengaja memuat informasi keliru. Lingkungan dark social menjadi lahan subur tempat beredarnya berita-berita tersebut.

Grafis: Kompas

Sumber: Detik


 

Baca juga:


Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur