“Segala sesuatu yang berharga dalam hidup dimenangkan dengan mengatasi pengalaman negatif yang terjadi pada kita. Setiap upaya untuk melepaskan diri dari hal negatif, menghindarinya, menghentikannya, atau menyimpannya, hanya akan menjadi bumerang. Menghindari penderitaan adalah bentuk lain dari menderita. Memperjuangkan pergulatan hati adalah bentuk perjuangan. Menyangkal kegagalan adalah kegagalan, Menyembunyikan hal yang memalukan merupakan bentuk rasa malu itu sendiri.
Apa itu Toxic Positivity?
Kami mendefinisikan toxic positivity sebagai generalisasi berlebihan dan tidak efektif dari keadaan bahagia dan optimis di semua situasi. Proses toxic positivity ini menghasilkan penyangkalan, peminimalisasi, dan penghapusan pengalaman perasaan manusia yang sebenarnya.
Sama seperti apa pun yang dilakukan secara berlebihan, ketika rasa positif digunakan berlebihan untuk menutupi atau membungkam pengalaman manusia, hal itu menjadi racun. Dengan tidak mengizinkan adanya perasaan tertentu hadir dalam diri, akhirnya kita jatuh ke dalam keadaan penyangkalan dan emosi yang tertekan. Sebenarnya, manusia itu memilki kekurangan. Kita cemburu, marah, kesal, dan serakah. Kadang-kadang hidup bisa benar-benar membuat kita berada di roda paling bawah. Dengan berpura-pura bahwa kita adalah "orang yang memiilki aura posiitif sepanjang hari", kita menyangkal validitas pengalaman manusia yang sebenarnya.
Tanda Toxic positivity
Di bawah ini adalah beberapa ekspresi dan pengalaman umum tentang toxic positivity untuk membantu Anda mengenali bagaimana hal itu muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Menyembunyikan/menutupi perasaan Anda yang sebenarnya, mencoba menghilangkan emosi, merasa bersalah karena merasakan apa yang dirasakan, mengangap lumrah pengalaman orang lain dan merasa memiliki pengalaman yang lebih baik atau lebih buruk, mencoba memberikan perspektif seseorang dengan membandingkan pengalaman daripada memvalidasi pengalaman emosional mereka.
Mempermalukan atau mencibir orang lain karena mengungkapkan rasa frustrasi mereka, atau tidak menerima saran apapun selain hal positif, mencoba menepis hal-hal yang mengganggu dengan meyakinkan "Inilah apa adanya"
Mengapa Toxic Positivity Buruk bagi Kesehatan Kita
Rasa Malu
Memaksakan pAndangan positif tentang rasa sakit untuk mendorong seseorang agar tetap diam mengenai perjuangan mereka.
Sebagian besar dari kita tidak ingin dilihat sebagai sesorang yang buruk, jadi ketika pilihannya adalah antara berani dan jujur atau berpura-pura semuanya berjalan lancar, kita mungkin akan memilih jawaban terakhir.
Penulis dan peneliti Brené Brown mengajarkan dalam beberapa bukunya, presentasi, dan wawancara bahwa sumber energi rasa malu adalah diam, kerahasiaan, dan penilaian dari orang lain. Dengan kata lain, di mana ada persembunyian, rahasia, dan penyangkalan, rasa malu biasanya menjadi kemudi utama.
Rasa malu melumpuhkan jiwa manusia dan salah satu perasaan paling tidak nyaman yang bisa kita rasakan. Sering kali, kita bahkan tidak tahu bahwa kita merasa malu.
Berikut petunjuk tentang cara mengetahuinya, tanyakan pada diri Anda, "Jika mereka tahu ____ tentang saya, apa yang akan mereka pikirkan?" atau "Sesuatu yang saya tidak ingin dunia ketahui tentang saya adalah _____."
Anda dapat mengisi kekosongan itu dengan APA SAJA, baik situasi, perasaan, atau pengalaman, ada kemungkinan besar ada rasa malu disana.
Emosi yang Tertekan
Beberapa studi psikologis menunjukkan kepada kita bahwa menyembunyikan atau menyangkal perasaan menyebabkan lebih banyak stres pada tubuh dan/atau meningkatkan kesulitan untuk menghindari pikiran dan perasaan yang membuat stres.
Dalam satu studi, misalnya, peserta penelitian dibagi menjadi dua kelompok dan diperlihatkan film tentang prosedur medis yang mengganggu, sementara itu respon stres merekapun diukur (misalnya, detak jantung, pelebaran pupil, produksi keringat).
Satu kelompok diminta untuk menonton video sambil menunjukkan emosi mereka sedangkan kelompok kedua diminta untuk menonton film dan bertindak seolah-olah tidak ada yang mengganggu mereka.
Dan coba tebak? Para peserta yang menekan emosi mereka (bertindak seolah-olah tidak ada yang mengganggu mereka) memiliki gairah fisiologis yang lebih signifikan (Gross dan Levenson, 1997). relawan yang menekan emosi mungkin tampak dingin dan tenang, tetapi di dalam hatinya sudah seperti bom waktu yang hampir meledak.
Jenis penelitian ini menunjukkan kepada kita bahwa mengekspresikan berbagai emosi (bahkan yang "tidak terlalu positif"), memiliki kata-kata untuk menggambarkan perasaan kita, dan ekspresi wajah untuk dipancarkan (termasuk menangis) membantu kita mengatur respon stress.
Ketika kita tidak ingin menunjukkan bagian dari diri kita sendiri, kita menciptakan wajah palsu pada dunia. Wajah itu terkadang terlihat ceria, dengan senyum bahagia, yang mengambarkan "Segala sesuatu terjadi karena suatu alasan, memang demikian adanya." Saat kita bersembunyi seperti itu, kita menyangkal kebenaran kita. Kebenaran sebenarnya adalah, hidup terkadang bisa sangat menyakitkan. Jika Anda marah dan perasaan marah tersebut tidak kita akui, rasa marah itu terkubur jauh di dalam tubuh kita. Seperti dijelaskan di atas, emosi yang tertekan nantinya dapat menumpuk dalam bentuk kecemasan, depresi, atau bahkan penyakit fisik.
Penting untuk mengakui emosi kita dengan mengucapkannya dan mengeluarkannya dari tubuh kita. Inilah yang membuat kita tetap waras, sehat, dan meredakan ketegangan yang disebabkan oleh menekan kebenaran. Begitu kita menghormati perasaan kita, kita merangkul SEMUA hal di diri kita sendiri, yang baik, yang buruk dan yang jelek. Dan menerima diri kita apa adanya adalah jalan menuju kehidupan emosional yang kuat.
Isolasi & Masalah Terkait Lainnya
Dalam menyangkal kebenaran, kita mulai hidup dengan tidak menjadi diri sendiri. Kita kehilangan koneksi dengan diri kita sendiri, membuat orang lain sulit untuk terhubung dan berhubungan dengan kita. Orang seperti ini mungkin terlihat tidak bisa dihancurkan dari luar, tetapi di dalam mereka seperti boneka beruang kecil yang ingin dipeluk.
Pernahkah Anda berada di sekitar tipe orang pollyanna (orang yang hanya mengingat kenangan indah dalam hidupnya) "Pikirkan saja pikiran-pikiran bahagia"? Seberapa nyaman Anda dengan mengungkapkan emosi mendalam yang dirasakan?
Meskipun orang itu mungkin memiliki niat terbaik di dunia, pesan yang terkirim tanpa berpikir adalah, "Hanya perasaan baik yang diizinkan hadir dalam pikiran dan perasaan". Oleh karena itu, sangat sulit untuk mengekspresikan apa pun kecuali "Getaran yang baik atau Positive Vibes" di sekitar mereka. Akibatnya,tanpa disadari Anda akhirnya mematuhi aturan yang tersirat, "Saya hanya bisa menjadi orang tertentu dan saya tidak bisa menjadi diri saya sendiri."
Hubungan dengan diri sendiri, sering kali tercermin dalam hubungan yang Anda miliki dengan orang lain. Jika Anda tidak bisa jujur tentang perasaan Anda sendiri, bagaimana Anda bisa memberi ruang bagi orang lain untuk mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya? Dengan menghilangkan emosi palsu, kita menarik lebih banyak kepalsuan yang menghasilkan keintiman palsu dan persahabatan yang dangkal.
Berikut beberapa pernyataan yang membedakan toxic positivity dan penerimaan terhadap emosi orang lain.
• Jangan katakan “Jangan pikirkan itu, tetaplah positif!”. Namun katakan “Apa yang kamu rasakan? Saya disini untuk mendengarkan”.
• Jangan katakan “Jangan khawatir, berbahagialah!”. Namun katakan “sepertinya kamu sedang tertekan, ada yang bisa saya bantu?”.
• Jangan katakan “Hanya untuk Positive Vibes!”. Namun katakan “Aku di sini untukmu, baik dan buruk”.
• Jangan katakan “Jika saya bisa melakukannya, Anda juga bisa!”. Namun ceritakan “Kemampuan, batasan setiap orang berbeda, dan tidak apa-apa jika gagal”.
• Jangan katakan "Saya mengalami kejadian yang lebih buruk, yang kamu alami hanya sebagian saja". Namun katakan “Saya sangat sedih kamu mengalami ini".
Kesimpulan
Menjadi manusia yang sehat melibatkan kesadaran akan diri kita sendiri dan bagaimana kita menunjukkan pada orang lain. Jika Anda mengenali diri Anda sebagai pemancar dari racun ini, inilah saatnya untuk menghentikannya. Anda menyakiti diri sendiri dan orang yang paling Anda sayangi dengan memaksakan pola pikir satu arah ini. Alih-alih mempraktikkan toxic positivity, raihlah keseimbangan dan penerimaan emosi baik dan emosi buruk dari pada memikirkan semuanya atau malah tidak memikirkannya sama sekali.
Jika Anda sedang dipengaruhi oleh toxic positivity, kami menyarankan untuk menetapkan batasan yang sehat dengan siapa pun yang menilai pengalaman pribadi Anda dan ungkapkanlah kebenarannya. Kita hanya mendapat satu kali kesempatan untuk hidup, rasakanlah hal yang indah, menyakitkan, ketidasempurnaan, dan menerimanya diri Anda sepenuhnya. Semoga keberkahan yang melimpah akan menghampiri hidup Anda.
Oleh: Samara Quintero, LMFT, CHT dan Jamie Long, PsyD
Gusti Neka