Geopark Openpit Nam Salu, Danau Cantik di Tengah Pusaran Tangga Raksasa
Berat rasanya membuka mata ini. Ragaku pun seolah tak ingin beranjak dari tempatku berbaring. Tapi seketika pikiranku berkata saat ini aku berada di Belitung. Pulau cantik yang sayang jika dilewatkan begitu saja.
Perjalanan dengan pesawat selama 1 jam dari Jakarta ke Belitung ternyata membuatku cukup penat. Ditambah lagi perjalanan menuju hotel sejauh 34 km. Bukan itu saja, kasur di hotel ini juga seolah membuatku terperangkap. Nyaman hingga tak ingin lekas beranjak.
Namun, kupaksa menjulurkan kakiku ke lantai dan berjalan menuju balkon. Seketika mata ini disuguhi indahnya hamparan pantai luas, lautan biru nan jernih dan jajaran kapal tersandar menjadi magnet tersendiri bagiku.
Kunikmati pemandangan ini sejenak sambil menyeruput kopi yang baru saja dibuat. Kebulan asap dan aroma kopi merasuki indra penciumanku. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?,” ujarku dalam hati.
Oke. Aku tidak boleh leha-leha di kamar ini.
“brrrrttt brrtttt,” telepon selularku tiba-tiba bergetar. Terlihat notifikasi dari teman lama yang tinggal di Belitung. Ku buka. Tertulis jelas ‘Woi, di mana? Ayoo ke Openpit!,’. Seketika kukernyitkan keningku. Aku berpikir. Open pit? Sistem tambang? Apa bagus nya pertambangan?. Tapi aku sudah terlanjur di Belitung. Ya sudahlah ikut saja. Kubalas pesannya tanpa bertanya lagi. ‘Jemput aku di hotel 10 menit lagi’, tulisku di kolom balas dan tanpa pikir panjang.
Dengan cepat kusiapkan outdoor gear yang kubawa. Kaos biasa, celana selutut, waist bag, matching bersama hiking shoes dengan bantalan yang tidak terlalu tinggi. "Aku siap, "gumanku.
Tak kuduga teman ku, Ical cukup ngaret. Setengah jam lebih aku menunggunya di lobby hotel.
“Aku diparkiran ya, pakai mobil Avanza hitam dengan plat BN ** MA,” pekiknya via telepon.
Kulangkahkan kakiku berjalan mencari mobil yang dimaksud. Kusimpulkan, ternyata gaya bicara orang Belitung cepat dan lantang, sebutku dalam hati.
Di mobil, aku tidak banyak bicara, Ical terus saja ‘nyerocos’ menceritakan Belitung-nya. Banyak yang kutangkap.
"Apa iya secantik itu? Apa iya sekeren itu? Kan ini cuma pertambangan, "tanyaku dalam hati.
Tak terasa, perjalanan selama 1 jam kami sudah sampai di Open Pit Nam Salu Kampit Belitung Timur. Ketika turun dari mobil, ku arahkan pandanganku, yang kulihat hanyalah hamparan tanah merah dan beberapa pepohonan.
“Kayak gini?” tanya ku sinis.
“Sabar kawan, yok jalan,” seru Ical.
Kami mulai berjalan. Pemandangannya masih sama, tanah merah bebatuan dan pohon. Syukur, outfit ku cocok. Hingga tiba pada ujung jalan, terlihat beberapa papan peringatan. Tanda bekas tambang, tanda hati-hati, dan peringatan dilarang berenang. Aku semakin dekat dengan papan-papan ini, dan ternyata mereka menakjubkan.
Kutarik ucapan ku yang meremehkan pertambangan. Bebatuan raksasa yang digali hingga membentuk pusaran ditambah beberapa tanaman dan pohon yang hidup di antaranya, memberikan warna yang berkharisma pada mata ku. Berdiri gagah. Berbentuk seperti tangga-tangga raksasa, dengan air di dasarnya. Tidak hanya itu, kata Ical kami beruntung datang ketika musim kemarau. Air biru mengkilap yang tepat berada di tengah-tengah pusaran memberikan daya tarik tersendiri. Ditambah panas matahari yang terik yang langsung menyapa kulit. Seolah meminta ku untuk langsung terjun ke dalamnya.
“Eits. Dak jadi. Gak boleh berenang di sana. Kandungan asam nya tinggi,” tegur Ical.
Ical mengajak ku kembali menyusuri jalan menuju puncaknya. Kata Ical kita akan turun tebing. Ternyata benar saja. Ical mengajakku menyusuri tebing dengan seutas tali. Lagi-lagi ku syukuri, outfit ku cocok.
“Tenang, aman ini pengamannya lengkap,” sebut Ical.
Ical ku suruh untuk duluan. Dia nurut saja, karena memang tugasnya menjadi pemanduku. Sembari melihat Ical loncat-loncat menuruni tebing, aku melakukan pemanasan. Wah, bisa gawat baru bangun langsung disuruh olahraga berat.
“Buruaan!” pekik Ical dari bawah.
Ical lupa bahwa aku habis jetlag, baru bangun, dan belum siapkan mental. Kegiatan turun tebing ini memang memacu adrenalin. Mereka yang takut ketinggian akan sangat tertantang. Aku dipakaikan helm, hardness, dan sarung tangan. Dengan berpangku pada tali karmantel yang di pegang tangan kiri di depan badan dan tangan kanan di belakang. Lalu perlahan jalan secara ke dasar tebing secara horizontal.
“Yakin aja! Loncat, tapi tangan tetep megang tali. Kalo mau turun tangan kanan yang dibelakang badan dilonggarin. Ayoo. Masa takut?” pekik Ical.
Tidak terima direndahkan begini, aku langsung loncat. Kaget tapi seru. Ku lanjutkan loncat-loncat hingga sampe dasar. Menyusuri tebing ini memang luar biasa. Tangan ku keras dibikinnya. Otot paha ku ikut gemetar. Sudah lama tidak olahraga.
“Serukan? Lanjut gak? Masih ada nih sampe dasar gua,” tantang Ical.
“Siapa takut,” balas ku.
Kali ini aku duluan, mulai memasuki lubang gua yang katanya dulu bekas lift tambang di jaman Belanda. Tanah lembab dan terjun yang sempit ternyata menyulitkanku. Tumpuan licin tak bisa dipaksakan untuk loncat-loncat seperti tadi. Aku terpeleset. Bahu sedikit menghantam dinding. Tidak sakit, tapi malu, baju ku juga kotor. Aku mengingatkan diri. Harus lebih berhati-hati.
Tiba lah aku di dasar gua, disusul oleh Ical. Gua gelap ditemani seburat cahaya dari atas. Bebataun kasar hasil tambang warna merah. Ternyata di bawah juga gak kalah keren.
“Udah yok keluar,” ajak Ical.
Aku mengangguk
Keluar dari gua, aku melihat pemandangan yang berbeda. Aku berada di dasar pusaran tepat di depan danau yang terlihat biru mengkilap dari atas. Bening tanpa dasar.
Kata Ical, danaunya sangat dalam. Jadi meskipun airnya bening dasar danau tak mungkin terlihat. Tak berhenti disitu, danau ini dikelilingi dinding megah tanah merah seperti terasering tapi raksasa dan tinggi. Mata ku tak berhenti memandang ke atas dan bawah. Aku diam. Dan Ical masih saja ‘nyerocos’ menceritakan sejarah tambang. Aku langsung memotong pembicaraan Ical.
“Ke mana lagi kita abis ini?”
Penulis : Natasya
Subscribe Kategori Ini