Ilustrasi korban pemerkosaan (foto: net)
Kasus pemerkosaan sudah seharusnya dibawa ke ranah hukum, bukan diselesaikan secara berdamai bahkan menikahkan korban dengan pelaku, alih-alih dengan dalih sebagai bentuk pertanggung-jawaban, karena jika merujuk pada aturan, setiap dari kita wajib melindungi korban
______
Penulis: Melati Erzaldi | Founder Sekuntum Melati
Editor: Putra Mahendra
SALAH satunya adalah kasus yang baru-baru ini cukup viral yakni pemerkosaan oleh 6 pemuda terhadap anak di bawah umur (remaja umur 15 tahun) di Brebes yang berujung damai. Ada juga yang teranyar, 7 orang kakek-kakek yang memperkosa anak di bawah umur di Kendal Jawa Tengah.
Ini merupakan hal yang sangat miris dan ironis. Karena dalam kasus tersebut, terlebih yang memfasilitasi damainya kasus yang harusnya sampai ke meja hijau justru kepala desa-nya sendiri.
Sampai hari ini pun masih banyak yang mempunyai stigma kalau korban pemerkosaan adalah aib yang harus ditutupi. Sehingga masih banyak sekali perilaku kita di masyarakat yang justru mendorong agar bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Berdamai dengan pelaku pemerkosaan?
Menyelesaikan secara kekeluargaan, damai, dan mufakat, memang benar adanya adalah budaya yang baik di Indonesia.
Namun, untuk kasus pemerkosaan yang merupakan suatu tindak kekerasan dan kejahatan, bahkan dapat menimbulkan trauma bagi korban, tidaklah dibenarkan jika kasus tersebut diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
Melansir detik.com, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan, proses damai yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual menciderai rasa keadilan korban.
Tidak ada kasus kekerasan seksual yang boleh diselesaikan secara damai dan tidak diproses secara hukum karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang.
Juga, mengutip Tempo.co, Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menyebukan bahwa kasus kekerasan seksual tidak boleh berujung damai, karena hal itu akan berdampak pada kondisi psikologis korban seumur hidup. Sehingga, para korban tersebut akan menanggung trauma berkepanjangan yang sulit untuk dipulihkan.
Bersuara untuk mereka
Senada dengan yang dikatakan oleh Bintang dan Mariana, saya pun juga setuju dengan konten yang dibuat oleh aktivis fasilitator gender Kalis Mardiasih yang mengatakan untuk jangan takut membawa kasus pemerkosaan ke ranah hukum, karena;
Pertama, pidana pemerkosaan pidana pemerkosaan dalam KUHP merupakan delik biasa bukan delik aduan, artinya penegak hukum dapat memproses kasus pemerkosaan meskipun tanpa persetujuan dari pelapor.
Kedua, pasal 76d Undang-Undang Perlindungan Anak juga memperkuat hal tersebut. Kata perlindungan bermakna, dalam kondisi baikpun, kita wajib untuk melindungi anak apalagi kalau anak tersebut merupakan korban dari kekerasan, artinya tanpa adanya laporan, siapa pun boleh melaporkan kasus kekerasan pada anak, dan polisi boleh melakukan penyidikan.
Ketiga, kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice (penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula), apalagi dengan mediasi atau perdamaian.
Kekerasan seksual pada anak adalah kejahatan berat, sehingga pelaku harus dihukum.
Jangan melipat-gandakan trauma
Tidak hanya itu saja, beberapa kasus pemerkosaan di Indonesia pun berakhir damai dengan cara menikahkan korban dengan sang predator atau pelaku. Padahal, solusi seperti ini justru akan melipat-gandakan trauma yang dialami oleh pelaku. Tak sedikit juga, orang tua atau orang sekitar korban, memaksa korban untuk menikah dengan pelaku, dengan harapan dapat menutupi aib keluarga, karena beredar mitos bahwa korban telah ‘dirusak’, sehingga nantinya tidak ada laki-laki lain yang mau dengannya.
Melanggar HAM
Hal ini termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, yakni hak untuk menikah sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 10 UU HAM ayat 2 yang menyatakan “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Selain itu, berdasarkan ayat 2 dari pasal ini menegaskan bahwa, pernikahan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak dari kedua calon pasangan yang bersangkutan dan bukan karena paksaan.
UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga menyatakan bahwa, memaksakan korban pemerkosaan menikah dengan pelaku merupakan tindak pidana kekerasan seksual.
Maka dari itu, tindakan pemerkosaan harus dilaporkan dan diproses secara hukum agar korban mendapatkan keadilan dan juga pendampingan hukum bahkan pendampingan dari psikolog untuk kesehatan jiwanya. Serta dapat menjadi efek jera untuk pelaku, bahkan dapat mengurangi kasus pemerkosaan yang terjadi kedepannya.
Selain itu, korban berhak menerima restitusi, yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kekerasan seksual sebagai ganti kerugian bagi korban.
Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, maka negara akan memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan.
Lapor ke sini
Sebagai bentuk untuk saling melindungi, kita dapat melaporkan tindak kejahatan kekerasan seksual tersebut langsung kepada pihak/instansi yang berwajib.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Menteri PPPA Bintang Puspayoga, tidak harus korban saja yang dapat melaporkan. Ketika melihat (dan) mendengar (tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak) laporkan ke SAPA 129 dapat diakses melalui hotline 021-129 atau WhatsApp 08111-129-129.
Melati Erzaldi (foto: dok. pribadi)
Baca juga: