Culture


Jum'at, 23 April 2021 13:29 WIB

Kiblat Salat Dulunya Bukan di Mekkah

Tentu semua tahu bahwa kiblat umat Islam adalah Baitullah, Mekkah. Tempat seluruh muslim dunia menunaikan rukun Islam kelima. Akan tetapi, sebelum menjadikan baitullah sebagai kiblat, umat Islam pernah loh menjadikan Masjid al-Aqsha sebagai kiblat. 

Ceritanya dimulai pada bulan Syawwal abad ke-2 H, di mana sejarah penting umat Islam tercatat, yakni turunnya wahyu tentang tahwilul qiblah atau perpindahan kiblat. Hal ini terjadi ketika Rasulullah ? merasa ada yang ‘kurang pas’ jika umat Islam menghadap Masjid Al-Aqsha ketika salat. Masjid Al-Aqsha sendiri awalnya merupakan kiblatnya kaum Yahudi, dan hal ini menjadikan kebanggaan bagi kaum tersebut ketika al-Aqsha juga dijadikan kiblat oleh umat Islam.

Seperti diceritakan Ibnu Khaldun dalam Faslun fi al-Masjid wa al-Buyut al-Adhimah fil Alam. Tertulis “Bait al-Maqdis atau disebut Masjid al-Aqsha pada awalnya di masa Kaum Sabean adalah kuil Zahrah (Dewi Venus). Kaum Sabean menggunakan minyak sebagai sajian pengorbanan yang dipercikkan dan disiram pada karang yang ada di kuil tersebut. Kuil pemujaaan Dewi Venus ini pada tahap selanjutnya mengalami kerusakan. Dan ketika Bani Israil berhasil menguasai Yerusalem, mereka menggunakan karang bekas pemujaan di kuil Zahrah tersebut sebagai kiblat untuk peribadatan mereka.”

Meskipun Rasulullah ? tidak terlalu senang dengan dijadikannya Masjidil Aqsha sebagai qiblat salat, namun beliau tidak langsung memohon kepada Allah Swt untuk mengalihkan arah kiblat. Hingga suatu ketika, Jibril datang dan Rasulullah ? pun menceritakan perihal qiblat tersebut kepada Jibril.

Dalam kitab Syaraf Syahri Sya’ban karangan Syaikh Fauzi Muhammad Abu Zaid, disebutkan bahwa Jibril kemudian menyarankan Nabi Muhammad untuk meminta langsung kepada Allah: “Sesungguhnya aku adalah seorang hamba sepertimu yang tidak memiliki sesuatu, tapi mintalah kepada Allah Swt agar merubah arah kiblat Yahudi tersebut ke kiblat bapaknya Ibrahim.”

Ayat tahwilul qiblah turun berawal dengan diundangnya Nabi Muhammad Saw menghadiri jamuan makan oleh kabilan Bani Salmah. Sebagai wujud perhormatan kepada tuan rumah, biasanya Nabi Muhammad tidak akan meninggalkan rumah tersebut kecuali telah melaksanakan salat di sana. Biasanya, rasul menyuruh sahabat lain untuk menggantikan dirinya sebagai Imam di Masjid Nabawi. Ketika Rasulullah melaksanakan salat Dhuhur (riwayat lain menyebutkan salat Ashar), pada rakaat kedua dalam keadaan rukuk, turunlah ayat
???? ?????? ????????? ???????? ??? ??????????? ? ?????????????????? ???????? ??????????? ? ??????? ???????? ?????? ??????????? ?????????? ? ???????? ??? ??????? ?????????? ??????????? ????????
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS: al-Baqarah, 144)

Setelah turunnya ayat, Rasulullah ? pada raka’at ketiga berpaling menghadap Ka’bah diikuti para sahabat yang menjadi makmum. Ikhwal turunnya ayat tidak diketahui oleh semua sahabat nabi. Hal ini dikarenakan tidak semua sahabat sedang salat bersama Rasul di sana. Sehingga, masih ada sahabat yang ketika salat menghadap ke Masjid al-Aqsha.

Diriwayatkan al-Barra’ bin ‘Azib dalam Shahih Bukhari dan Muslim, bahwa ada seorang sahabat yang lewat sebuah masjid dan melihat para jemaah sedang salat dalam keadaan rukuk, tapi masih menghadap ke Masjidil Aqsha. Lalu sahabat tersebut berkata: Aku bersaksi kepada Allah sesungguhnya aku telah salat bersama Rasulullah ? menghadap qiblat, maka berpalinglah seperti mereka menghadap baitullah.

Seluruh sahabat itu dengan segera memalingkan tubuh mereka menghadap baitullah tanpa banyak tanya dan diskusi panjang. Itulah karakter para Sahabat, jika mereka mendengar ada wahyu turun, mereka langsung mengerjakannya. Karakter ini disebutkan dalam Surah Al-Baqarah: sami’na wa ‘atho’na qhufranaka rabbana wa ilaikal mashir (Kami dengar dan kami taat. Mereka berdoa: ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali).

Pemilihan Ka’bah sebagai kiblat memiliki banyak hikmah. Syaikh Fauzi Muhammad Abu Zaid dalam kitabnya Sharaf Syahri Sya’ban menyebutkan bahwa di antara hikmah diturunkannya ayat tahwil qiblah adalah karena Rasulullah ? sedari awal telah menyakini bahwasanya Ka’bah adalah kiblat Nabi Ibrahim. Yang kedua, karena Rasulullah ? tahu bahwa orang Arab dan penduduk Mekah sendiri menyukai Masjidil Haram dan menganggapnya sebagai simbol. Hal ini bisa menjadi perantara pemersatu serta cara dakwah Rasulullah.

Setelah ratusan tahun kemudian dengan kemajuan teknologi, tersingkaplah berbagai temuan ilmiah akan keagungan Ka’bah. Seperti disebutkan dalam Akhbar Makkah, dikutip oleh Mujahid dari syu’ab al-iman karya al-Bayhaqi, bahwa “(Baitullah) Al-Haram adalah tanah suci poros tujuh langit dan tujuh bumi”. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Prof. Hussain Kamal pada tahun 1978 yang menemukan fakta bahwa Mekah adalah pusat bumi.

Pada mulanya ia meneliti suatu cara untuk menentukan arah kiblat di kota-kota besar di dunia. Untuk tujuan itu, ia menarik garis-garis pada peta, dan mengamati secara seksama posisi ketujuh benua terhadap Mekah dan jarak masing-masing. Ia mulai menggambar garis-garis sejajar hanya untuk memudahkan proyek garis bujur dan garis lintang. Ia kagum dengan apa yang ditemukannya, bahwa Mekkah merupakan poros dunia. (Majalah al-Arabiyyah, edisi 237, Agustus, 1978).

Pada tahun 2002, Dr. ?Abd al-Baset Sayyid, seorang peneliti di Egyptian National Research Center menyatakan astronot NASA ketika melakukan penelitian di ruang angkasa, melihat sebuah pancaran radiasi di suatu daerah. Ketika diperbesar ternyata itu adalah Ka’bah. 

Ditambahkan Syaikh Fauzi Muhammad Abu Zaid yang dalam kitabnya menyebutkan para peneliti Eropa menyatakan segala perangkat teknologi modern dengan cahaya elektromagnetiknya dengan radiasi menyebabkan berbagai jenis penyakit. Cara untuk menanggulangi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektormagnetik tersebut adalah dengan menjauhi teknologi dimaksud. Dan caranya adalah dengan meletakkan kepala diatas tanah. Akan lebih baik jika kepalanya dihadapkan ke pusat bumi yaitu Masjidil Haram. Semua temuan ilmiah itu menunjukkan bahwa masih banyak lagi hikmah akan disyariatkannya tahwil qiblah tersebut. Wallahualam.

Penulis : Dini

#
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur