Opinion


Jum'at, 06 Januari 2023 16:14 WIB

Sistem Proporsional Terbuka dan Money Politics pada Pemilu 2024

Ilustrasi pemilu (foto: net)


Setiap pelaksanaannya, pemilihan umum di Indonesia selalu dihantui aksi "money politics" atau politik uang oleh oknum-oknum tertentu guna mendapatkan suara dari masyarakat.

______

Penulis: Leo Randika | Mahasiswa Komunikasi Politik

Editor: Putra Mahen

TENTU, hal ini menjadi persoalan yang serius, mengingat dampak yang terjadi jika terus dibiarkan akan mempengaruhi sistim demokrasi sebagai sendi negara dalam proses untuk memenuhi jabatan politik dengan cara yang sah. Akibatnya, masyarakat menjadi terbiasa dengan praktik pembelian suara.

Wacana perubahan sistem pemilihan umum proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup setelah adanya gugatan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK), menjadi polemik di kancah politik jelang Pemilu tahun 2024. 

Sistem proporsional tertutup adalah penentuan calon legislatif dari tingkat kabupaten/kota hingga DPR RI yang terpilih bukan atas dasar suara yang diperolehnya, akan tetapi mengacu pada dasar perolehan suara partai politik. Sistim ini dipakai pada era orde baru, dan Pemilu 2009. Sementara, pada Pemilu 2014 hingga pemilu terakhir digunakan sistim proporsional terbuka yakni pemilih bisa memilih partai atau calon legislatif. Anggota legislatif terpilih ditentukan banyak suara yang mereka dapat, dan diperoleh partai.

Realitanya, sistim proporsional terbuka dengan berbasis suara terbanyak melahirkan model kompetisi antar calon yang tak sehat, dan hanya bertujuan meraup suara sebanyak-banyaknya dari pemilih dengan mengandalkan pada uang, dan popularitas. Sistem proporsional terbuka disebut, antara lain mendorong politik biaya tinggi.

Banyak caleg menggunakan uang untuk persaingan. Bahkan, persaingan saling menjatuhkan dengan sesama caleg dalam satu partai, dan sistim proporsional terbuka ini memberi peluang pada caleg yang "berduit saja" dan "populer saja", ketimbang caleg yang berkualitas.

Kalau kita melihat ke belakang, dan mengamati dari tiga pemilu terakhir, fenomena yang terjadi adalah munculnya side effect dari sistim proporsional terbuka dengan caleg suara terbanyak. Selain biaya politik yang dikeluarkan tidak murah, kualitas para caleg pun dikesampingkan pada saat perekrutan bakal calon legislatif. Sistem ini menekankan pada kontestasi yang bertumpu pada pertarungan antar caleg dalam satu partai.

Data KPU juga mencatatkan, ada kecenderungan pemilih lebih antusias menggunakan hak pilihnya dengan mencoblos nama caleg. Data Pemilu 2019 menyebutkan, dari 16 partai politik peserta pemilu, kecenderungan suaranya lebih banyak disumbang oleh suara caleg dibandingkan suara murni partai politik.
Fenomena ini jelas sekali membiaskan ideologi partai yang dibangun. 

Selain itu juga, parpol kehilangan kohesivitas partai politik (parpol). Dengan asumsi, dengan sistem proporsional tertutup, maka daftar calon legislatif disusun oleh elit partai, sehingga kemungkinan besar calon akan satu suara dengan partai, bukan hanya kohesivitas parpol, tapi juga warna ideologi partai tetap terjaga marwahnya.

Pemilihan calon anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka, sejatinya perlu dikaji kembali secara mendalam, apakah efektif digunakan dalam rangka untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia? Sedangkan sistIm tersebut memiliki kelemahan, yakni menyebabkan maraknya terjadi praktik money politics yang menyebabkan masyarakat memilih calon anggota legislatif, bukan berdasarkan dari kualitas atau kemampuan, melainkan atas suap yakni dengan membeli suara.

Leo Randika (foto: dok. pribadi)

Baca juga:


Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur