Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Negara, Rabu (28/12/2022). [Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden]
Wakil Ketua DPR RI Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyebut Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak bisa dimakzulkan (diturunkan dari jabatan) imbas menerbitkan Perppu Cipta Kerja.
______
Penulis: Melani Hermalia Putri
Editor: Putra Mahen
DASCO menjelaskan Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan Jokowi itu telah memenuhi peraturan perundang-undangan dalam menerbitkan Perppu.
“Jadi Perppu itu ada aturannya, bahwa kemudian presiden bisa menerbitkan Perppu itu kan bukan hanya Pak Jokowi. Presiden sebelumnya ada yurispudensinya menentukan Perppu,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Dasco juga menegaskan bahwa Jokowi tidak bisa dimakzulkan hanya karena menerbitkan Perppu Cipta Kerja.
“Saya pikir tidak ada alasan untuk memakzulkan presiden dengan Perppu. Kalau ada yang sebelumnya (presiden menerbitkan Perppu) juga pasti ada alasan,” ujarnya.
Ketua Harian DPP Gerindra ini juga menyebut bahwa DPR RI hingga saat ini belum melakukan pembahasan mengenai Perppu Cipta Kerja karena masih dalam masa reses.
Namun dia mengatakan pembahasan akan segera dimulai ketika masa persidangan minggu depan.
“Jadi nanti ada mekanismenya, nanti kita bahas dengan komisi terkait serta tentunya akan kita tentukan dengan mekanisme yang ada di DPR,” ucap dia.
Dalam pembahasan Perppu Cipta Kerja, Dasco mengaku akan menyoroti mengenai substansi pembuatan Perppu tersebut. Dia tak bicara banyak mengenai pro dan kontra penerbitan Perppu ini.
“Oleh karena itu nanti yang perlu lihat DPR adalah substansi perppu tersebut nanti akan kita bahas di masa sidang pekan depan,” tuturnya.
Ramai Parpol Kritik Perppu Ciptaker, Jokowi Bisa Dimakzulkan
Politikus Partai Demokrat Jansen Sitindaon. (Foto: Dok KBA News)
Sejumlah partai politik baik, oposisi maupun partai di lingkaran pemerintah, mengkritik Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Perppu yang diteken oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo tepat di akhir 2022 itu menjadi sorotan publik karena dinilai melangkahi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Perppu ini juga dinilai syarat kepentingan oligarki dan pihak penguasa dibanding kepentingan masyarakat.
Wasekjen Partai Demokrat, Jansen Sitindaon, menilai argumen Jokowi dalam menerbitkan Perppu Ciptaker penuh kontradiksi.
Diketahui, Jokowi berargumentasi bahwa Perppu Ciptaker diterbitkan karena Indonesia dibayang-bayangi oleh resesi sebagai dampak perang Rusia-Ukraina.
Padahal, dalam sejumlah pertemuan dengan forum internasional, Jokowi selalu membanggakan kekuatan ekonomi Indonesia yang menguat meski terjadi perang Rusia-Ukraina.
Terkait keadaan darurat, mendesak dan memaksa, kami juga melihat hal itu tidak terpenuhi. Benar, itu hak subjektif Presiden menilainya. Namun Presiden sendiri dalam banyak kesempatan menyatakan keadaan kita baik-baik saja. Ini tentu bertolak belakang dgn syarat-syarat keluarnya Perppu,”
Jansen Sitindaon
Partai Demokrat juga menyebut tindakan Jokowi mengangkangi putusan MK, yang meminta UU Cipta Kerja untuk diperbaiki dalam kurun waktu 2 tahun sejak ditetapkan.
Pemerintah sebenarnya masih memiliki waktu sekitar 10 bulan hingga November 2023 untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, agar sesuai dengan peraturan pembentukan perundang-undangan.
“Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, maka kami Demokrat berpendapat tindakan pemerintah hari ini mengeluarkan Perppu tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang harusnya dipatuhi,” kata Jansen.
Politikus PKS, Netty Prasetiyani Aher, menilai penerbitan Perppu Cipta Kerja hanya akal-akalan pemerintah untuk menikung putusan MK. Menurut Netty, pemerintah seharusnya memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai putusan MK, bukan menerbitkan Perppu.
“Ini hanya akal-akalan pemerintah buat menelikung keputusan MK yang meminta agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam waktu 2 tahun. Kenapa diminta untuk diperbaiki? Karena UU tersebut dianggap cacat secara formil,” kata Netty.
“Eloknya ini dulu yang diperbaiki, sehingga status UU Cipta Kerja yang masih inkonstitusionalitas bersyarat itu bisa berubah. Jangan justru arogan dengan menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” sambung Netty.
Anggota Komisi IX DPR ini juga mengatakan, penerbitan Perppu Cipta Kerja sebagai bukti bahwa pemerintah tidak menghormati putusan MK sebagai lembaga yudikatif. Fraksi PKS juga khawatir penerbitan Perppu ini tidak berpihak kepada masyarakat.
“Banyak kekhawatiran yang muncul, salah satunya bahwa Perppu ini sengaja dimunculkan untuk tetap lebih mengedepankan kepentingan investor dan tidak berpihak kepada para pekerja,” tuturnya.
Politikus PPP, Abdul Rachman Thaha, menilai Perppu Ciptaker menunjukkan tanda-tanda otoriteriansime dalam kemasan peraturan perundang-undangan. Menurutnya, pembentukan Perppu ini justru menunjukkan tanda bahaya dalam kehidupan hukum bernegara.
“Tidak hanya ini menunjukkan betapa di periode kedua kekuasaannya rezim Jokowi tidak efektif, tapi bahkan membahayakan kehidupan berundang-undang negara kita,” ujar Abdul.
Anggota DPD RI ini menilai, Perppu tersebut menjadi cikal bakal masuknya Indonesia dalam krisis demokrasi. Pasalnya, Perppu ini diciptakan tanpa mematuhi putusan MK, juga mengabaikan kegentingan dan pelibatan masyarakat.
Dia meminta agar anggota DPR RI bisa meninjau Perppu tersebut, sekaligus mengkaji pemakzulan terhadap Jokowi.
“Menghadapi politik ugal-ugalan pemerintah semacam itu, seluruh anggota DPR seharusnya selekasnya mengakhiri masa reses lalu kembali ke Gatot Subroto (Gedung DPR) untuk meninjau kemungkinan pemakzulan terhadap presiden,” tuturnya.
KontraS: Perppu Ciptaker Pembangkangan pada Putusan MK!
Ilustrasi penolakan Perppu Cipta Kerja. Tempo/Muhammad Syauqi Amrulah
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam langkah Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menyebutkan produk hukum ini membatalkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
"Langkah ini jelas sewenang-wenang serta bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki adanya pembagian kekuasaan serta dibarengi dengan mekanisme check and balances," ujar Fatia dalam keterangannya, dilansir Senin (2/12/2022).
Jokowi terbitkan Peraturan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022, terkait UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Perppu itu diumumkan pemerintah pada Jumat (30/12/2022).
KontraS melihat, diterbitkannya Perppu UU Cipta Kerja jadi pembangkangan pada putusan MK yang memandatkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.
Selain itu, Perppu ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tak setuju perintah MK agar membuat suatu regulasi sesuai dengan prinsip meaningful participation, terlebih berkaitan dengan regulasi yang memiliki dampak luas bagi masyarakat.
"Lebih jauh, produk hukum yang diterbitkan Presiden ini menihilkan peran MK sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif dan perannya sebagai guardian of constitution," ujarnya.
Fatia mengatakan, penerbitan Perppu soal UU Cipta Kerja juga tak bersesuaian dengan ucapan pemerintah sendiri pada Februari 2022 lalu lewat Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang menyampaikan bakal patuh dengan putusan MK.
"Selain inkonsisten, praktik negara hukum yang baik pun kembali tercoreng lewat gejala otoritarian semacam ini," ujarnya.
Bukan hanya meneruskan pola pembuatan regulasi yang tidak partisipatif, pemerintah disebut makin perlihatkan kesewenang-wenangan dari bermacam bentuk pemaksaan kehendak meski dianggap terabas ketentuan undang-undang.
Dalam aspek substansial, KontraS juga menilai syarat diterbitkannya Perppu harus berdasarihwal kegentingan yang memaksa dan ini sama sekali tidak terpenuhi. Karena menurut Fatia, saat ini, tidak ada desakan dari publik agar Perppu terkait dengan UU Cipta Kerja dikeluarkan. Bahkan sebaliknya, tahap pembahasan hingga pengesahan UU tersebut, penolakan justru sangat masif di berbagai daerah di Indonesia.
"Sejak awal, proses pembuatan Omnibus Law memang carut marut dan serampangan, sebab tidak melibatkan publik secara maksimal dan memiliki banyak muatan yang problematis. Saat masyarakat meminta agar Presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU ini, Presiden justru mempersilahkan pihak-pihak yang tidak setuju agar menguji di MK," ujar dia.
"Sayangnya, saat MK telah memutuskan bahwa UU ini inkonstitusional, pemerintah justru membangkangi putusan tersebut," kata Fatia.
Langkah penerbitan Perppu disebut tegaskan lagi jika nilai-nilai demokrasi semakin ambrukm ditandai dengan sentralisasi kekuasaan Presiden. Hal ini sekaligus menandai Indonesia semakin dekat pada negara otoritarian sebagaimana yang terjadi pada orde baru.
Atas dasar uraian di atas, KontraS mendesak Jokowi untuk membatalkan Perppu No. 2 Tahun 2022 terkait UU Cipta Kerja dan tunduk pada putusan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.
Serta, DPR RI untuk tidak menyetujui langkah Presiden dalam menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022 terkait UU Cipta Kerja.
Sumber: IDN Times
Baca juga: