Moonstar Simanjuntak tak berdaya usai mengalami kecelakaan hebat yang menjadi titik balik dari hidupnya, seolah ia mendapatkan kesempatan kedua dalam hidupnya (foto: dok. pribadi)
Di edisi pertama, saya berusaha menyampaikan melalui tulisan mengenai kekaguman saya akan keteguhan hati seorang sahabat, Moonstar Simanjuntak. Namun di bagian kedua, atau akhir dari tulisan ini, saya akan mengambarkan perspektif berbeda dari sosok sang pengembara yang akhirnya harus mengakhiri mimpinya.
______
Penulis: Putra Mahen
Editor: Nekagusti
DI edisi pertama (baca: Moonstar Simanjuntak, Anak Bangka sang Pengembara), saya sempat menyinggung Moonstar mengenai rencana hidupnya. Apakah ingin berkeluarga atau tidak. Jawabannya kala itu cukup sederhana; belumlah tergerak.
Ibunya (almarhumah, karena saat artikel ini tayang ibundanya telah wafat) pernah bertanya soal masa depannya. Tapi Moonstar cuma meminta izin dan restu kepada orangtuanya agar memberikan dia ruang sekali lagi untuk melanjutkan mimpi besarnya. Karena jika mimpi itu--yang memang sudah setengah jalan, tak terpenuhi maka hidupnya mungkin tak akan tenang. Karena kata Moonstar semua hal sudah ia pertaruhkan, mulai dari pekerjaan hingga kehidupan bersama keluarga.
Tetap kata dia, pernikahan tetap ada di benaknya. Bahkan kata dia, jika orang lain merasa iri dengan apa yang dia lakukan berkelana keliling Indonesia dan hidup bebas tanpa beban, justru dia balik iri dengan kehidupan normal.
"Saya juga iri dengan kamu. Kamu berkeluarga. Pulang kerja main sama anak, bercanda. Kamu juga iri, saya juga iri. Tapi, ada hal-hal yang memang harus saya selesaikan dulu. Seperti mimpi besar ini. Saya akan tetap akan pulang, entah itu kapan, saya akan tetap ingin membangun daerah saya Bangka, dengan semua skill dan pengalaman saya, tapi itu entah kapan. Jika ada nanti orang yang mengajak untuk berkeliling dunia, maka niat itu (menikah) lagi-lagi harus saya undur," katanya kepada saya saat kami berkesempatan bertemu.
Dan, ternyata, munculnya sesosok wanita, membuat ia menghentikan mimpinya, yang kemudian melanjutkan hidup seperti yang diimpikan kedua orangtuanya. Menikah dan punya keturunan.
Moonstar dan keluarga kecilnya, yang melengkapi kepingan-kepingan perjalanan hidup dari seorang mantan pengembara (foto: dok. pribadi)
Ya. Beginilah kisahnya seperti yang ia kisahkan kepada saya.
Di suatu hari di tahun 2018, Moonstar tak kuasa menahan rasa dari seorang anak Adam. Sebuah pertemuan yang tak disengaja telah membuat hatinya terpaut sosok wanita ayu dari Pulau Dewata. Padahal saat itu, Moonstar sedang berada di titik semangat yang tinggi dalam mengembara keliling Indonesia. Namun, tanah Dewata membuat ia terhenti. Seakan merasakan gejolak batin yang menderu, antara lanjut atau terpaku.
Tanggal 14 Februari 2018 adalah hari yang tak bisa ia lupakan seumur hidup. Karena, di hari itu, Moonstar berada di persimpangan antara malaikat maut kematian yang menjemput atau justru akan datang kehidupan yang baru.
Sebuah kecelakaan hebat menimpanya di Karang Asem Bali. Ia tergeletak tak berdaya, tak sadarkan diri, tubuh berlumur darah. Siapapun takut menolong saat itu. Karena yang tergeletak di aspal adalah sesosok pria berambut gondrong dengan identitas bukan warga Bali (masih ber-KTP Bangka Belitung). Dari kecelakaan itu ia sempat lupa ingatan hingga harus dipasang beberapa pen penyangga di wajah..
Sedikit yang peduli. Dan, di antara yang sedikit itu ada seorang perempuan Bali bernama I Gusti Putu Wiyani. Beberapa warga di lokasi kejadian berinisiatif membuka telpon genggam miliknya dan melihat nama siapa yang bisa dihubungi. Maka saat itu keluarlah nama Wiyani.
I Gusti Putu Wiyani adalah orang yang banyak ambil andil, yang mengurusi semua kebutuhan dan keperluan Moonstar. Mulai dari awal hingga bisa dioperasi dan dirawat di rumah sakit Sanglah Bali. Moonstar tak kenal siapapun di sana. Ia hanya bergantung kepada sosok I Gusti Putu Wiyani, seorang perempuan yang baik hati.
Singkat cerita, walau tanpa keluarga, sanak famili, bahkan sahabat, diperparah dengan tak memegang uang apalagi untuk operasi sebesar itu di rumah sakit, Moonstar perlahan mulai sembuh berkat ketelatenan, kesabaran dan kepedulian seorang perempuan.
Dalam masa transisi itu, ia memanfaatkan waktu di antara kesembuhan dengan banyak berdiskusi bersama seorang Mangku (guru spiritual).
Mangku ini, memberikan ia pemahaman tentang hidup bahwasannya ia harus bersyukur masih diberi kesempatan Sang Pencipta untuk hidup di kesempatan kedua, sehingga kali ini jangan disia-siakan. Jiwa spiritualnyapun bergolak.
"Dari situ saya mulai berfikir bahwa ada sesuatu yang harus dikerjakan yaitu melanjutkan mengembara ke Merauke Papua sebelum berani mengambil chapter berikutnya yaitu menikah dan berkeluarga," kata Moonstar.
Seakan belum puas dengan pengembaraan, usai sembuh, Moonstar mengambil keputusan untuk terus melanjutkan mimpinya hingga ke ujung Nusantara.
Dia melakukan perjalanan singkat, ikut sebuah seminar 3 minggu di bulan September 2018, yang dimulai dari Bali-Makassar. Di sana ia menyempatkan reuni singkat dengan Mohan (seorang perwira Polisi, mereka kenal dan akrab saat Mohan menjadi Kasat Brimob di Polda Babel), serta keluarga Elwin di Tana Toraja. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan ke Jayapura-Merauke untuk menuju ke titik 0 Merauke-Sabang dengan menggunakan pesawat. Inilah titik terakhir pengembaraan Moonstar sebelum ia memutuskan mengakhiri mimpi berkelana ke penjuru dunia.
Singkat kisah, setelah menyelesaikan di titik 0 Merauke-Sabang, di bulan yang sama, September, ia kembali ke Bali. Di sana, lembar perjalanan hidupnya yang baru, akan ia goreskan.
Ia mulai menghadap keluarga calon istri dan berdiskusi tentang menikah. Perempuan calon istri itu tidak lain dan tidak bukan adalah I Gusti Putu Wiyani, sosok perempuan yang menolong Moonstar saat berada dalam kondisi kritis, dan yang rela menemaninya hingga sembuh.
Resepsi pernikahan Moonstar dan I Gusti Putu Wiyani di salah satu gereja di Koba, Bangka Tengah, Bangka Belitung
"Kami dari dua suku berbeda (Moonstar dari suku Batak, dan Wiyani dari Bali) sehingga patut menghargai budaya masing-masing, jadi dimulai adat 'mepamit' di Bali kemudian secara resepsi kami menikah di Bangka dengan adat budaya Batak di November 2018," katanya.
Dan saya sendiri berkesempatan datang ke resepsi pernikahan itu. Sebuah resepsi dari adat Batak yang ternyata prosesinya sangat panjang dan lama.
Bagaimana sebetulnya mereka bertemu?
Moonstar bercerita, awalnya ia melihat I Gusti Putu Wiyani adalah sosok wanita Bali biasa. Belum ada getar asmara. Mereka berjumpa di kejadian pesawat Lion Air yang tergelincir di Bandara Gusti Ngurah Rai Bali. Setelah itu sempat terputus komunikasi cukup lama karena Moonstar kembali ke Jakarta berkutat dengan kesibukan sebagai photograper di salah satu media Group Kompas, yakni Tabloid Nova.
Kemudian dalam pengembaraan di tahun 2016, saat masuk ke Pulau Bali, mereka kembali berjumpa. Walau tak lagi muda, tapi mereka bersepakat mencoba menjalin hubungan layaknya anak muda.
Namun saat itu di antara mereka tidak menemukan kecocokan dalam sikap. Ego keduanya sulit menyatu.
"Kami tidak menemukan kesepakatan, apalagi dalam benak saya yang masih suka kebebasan, tidak mau terikat," kata Moonstar.
Sampailah akhirnya pada peristiwa kecelakaan itu, yang sedikit banyak merubah jalan hidupnya, di mana perempuan ini tulus membantu, mengurus semua saat ia terbaring tak berdaya tanpa sesiapa.
Ketika dirawat di rumah sakit saya hilang ingatan selama 4 hari sehingga lokasi kejadian serta operasi semua tidak ingat. Tapi ada satu peristiwa yang I Gusti Wiyani ungkapkan dia bertanya, "Kamu ingat tidak kalau kamu sembuh kita menikah?" Saya terkejut karena pikiran apalagi mengucapkan itu hal yang sakral,"
Moonstar Simanjuntak
Namun dalam prosesnya akhirnya Moonstar mulai merubah cara berfikir, dan akhirnya mengambil keputusan maha besar dalam hidupnya; menikah dengan wanita Bali bernama I Gusti Putu Wiyani.
Singkat cerita, kini pasangan ini telah dianugerahi 2 malaikat kecil yang semuanya lahir di Bali. Anak pertama seorang putri diberi nama Ayudewi Sunmoonstar. Anak kedua seorang putra bernama Ambara Henok, yang membuat Moonstar kini telah melengkapi puzzle-puzzle dalam hidupnya.
Beberapa waktu lalu, di penghujung tahun 2022 kami berdua kembali berkomunikasi setelah terakhir di tahun 2018, saat saya menghadiri resepsi pernikahan mereka di sebuah gereja di Koba, Bangka Tengah (Bateng) Bangka Belitung (Babel).
Dulu, kami berdua pernah punya mimpi besar. Kami sekuat tenaga mewujudkannya hingga sebuah tim sempat terbentuk, ada 4 orang yang kesemuanya berada di tempat yang berbeda-beda. Namun ternyata usaha saja tidak cukup. Waktu dan jaraklah yang akhirnya membuat mimpi kami harus terkubur. Saya di Bangka dengan segudang aktivitas menjadi seorang jurnalis di salah satu media cetak di Babel, dan ia di Bali dengan segudang kesibukan memupuk mimpi dan asa, dan teman-teman yang lain juga tenggelam dalam kesibukan.
Namun bagi seorang Moonstar tentu saja ia masih punya sejuta rencana hebat dalam hidupnya. Dan inilah obrolan terakhir kami sebelum tulisan ini saya susun di akhir tahun 2022.
Apa harapan seorang Moonstar Simanjuntak?
Dia mengatakan, ia sudah mencoba dengan keras beberapa tahun adaptasi untuk menjadi manusia normal, mulai dari tidak berpergian tanpa rencana, sampai setiap mau pergi selalu bilang kepada istri.
Waktu 2018-2020 ada kesempatan ia untuk kembali ke habitatnya, yaitu menjelajah. Saat itu masih punya kesibukan dan menjadi photo jurnalis Anadolu Agency, mencari waktu ketika istri libur untuk mencari photo feature, karena konsumsi berita kejadian-kejadian dunia saat itu masih jarang.
Di tahun 2020 ada tugas penting di mana ia diminta liputan di satu kampung yang terkena wabah Covid 19. Kondisi saat itu mencekam. Keselamatan ia dan keluarga dipertaruhkan yang akhirnya diputuskan untuk tidak ambil bagian dari proyek tersebut.
"Jadi diputuskan untuk tidak diambil poto itu sehingga perlahan-lahan saya mengundurkan diri dan fokus jaga anak," katanya.
Di tahun itu juga kehidupan mereka beranjak membaik. Sebuah rumah megah berdiri di area Ungasan Bali. Di sanalah mereka mulai membangun keluarga. Dan saat anak kedua lahir di tahun 2021, Moonstar yang beranjak dari seorang pengembara yang berjiwa bebas, memutuskan untuk menjaga anak, memberikan ruang dan waktu kepada karir sang istri, dan ia memilih menjadi seorang 'bapak sitter'.
"Karena dari berita banyak juga kejadian bahwa orang tua sibuk bekerja, anaknya dalam tumbuh kembangnya kurang baik serta yang mengasuh tega memukul anak, melakukan yang kurang baik untuk anak. Jadi itu semangat awal untuk tetap jadi 'bapak sitter'," ungkapnya.
Dan kini, rumah yang mereka bangun, terbuka untuk siapapun yang ingin berkunjung sekadar menikmati kopi berbagi pengalaman tentang kehidupan, photo serta travel. Karena, di salah satu bagian rumah, ia dan istri memang menyiapkan sebuah ruangan yang dikhususkan kepada para pengembara-pengembara yang tak punya tempat berteduh. Karena ia pernah mengatakan kepada saya, suatu hari akan membuat sebuah persinggahan kepada jiwa-jiwa pengembara seperti dirinya yang tak punya tempat berteduh. Dan janji itu ia tepati.
Sebuah rumah megah berdiri di wilayah Ungasan Bali, tempat di mana Moonstar dan keluarga kecilnya memulai hidup yang baru dan menyediakan tempat khusus bagi para pengembara yang tak punya tempat berteduh (foto: dok. pribadi)
Sekarang, walau tak lagi mungkin sebebas dahulu, tapi jiwa mengembara Moonstar masihlah besar.
Dia punya impian untuk pelan-pelan melakukan pengembaraan, walau hanya di Pulau Bali saja, karena, ia mengakui bahwa jiwa belum bisa total move on dari petualangan.
"Mencoba mengajarkan istri dan anak-anak pada alam, budaya serta saudaranya di Pulau Bali ini. Yang paling terdekat ke pantai karena tinggal di selatan Bali," ucapnya.
Kata Moonstar, dengan munculnya tulisan ini, menjadi sebuah pertanda alam baginya, bahwa jiwanya masih ada untuk kembali mengembara dengan niat mengenalkan keluarga kecilnya kepada saudara di seluruh Indonesia.
Namun saat ini, ia telah menyelesaikan perjalanan itu dan menjadi manusia normal yang punya keluarga. Hal yang dulu berusaha ia hindari, kini menjadi kaki baru dalam semangat hidupnya. Ya, kini sang pengembara itu tetap mengembara, namun dalam medan yang berbeda. Yakni, keluarga. (Habis)
*Seluruh cerita, kutipan, narasi dan foto telah mendapat persetujuan tayang dari Moonstar Simanjuntak.
Baca juga: