Pencurian ikan oleh kapal asing masih marak di perairan Natuna, Kepulauan Riau/foto : internet
Sebagai bangsa maritim, apakah saat ini kita sudah mampu mengelola secara maksimal lautan dan samudera dengan segala potensi yang dimiliki?
-----
Penulis : Tedja Wahana
Editor : Nekagusti
Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung luas samudra. Menerjang ombak, tiada takut. Menempuh badai, sudah biasa.
Itulah sepenggal lirik lagu anak "Nenek Moyangku" ciptaan Ibu Soed yang mengekspresikan bahwa Bangsa Indonesia sejak dahulu adalah bangsa yang memiliki dan menguasai pengetahuan tentang kemaritiman.
Menurut Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, negara kita merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Terbentang dari Sabang hingga Merauke, Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2.
Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif. Hanya sekitar 2,01 juta km2 yang berupa daratan. Dengan luasnya wilayah laut yang ada, Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar.
Dampak buruk penggunaan pukat harimau menyebabkan kerusakan sumber daya alam seperti rusaknya terumbu karang / foto: internet
Potensi Kelautan berkontribusi sebesar 2,5 triliun dolar AS terhadap perekonomian global setiap tahunnya dan menjadi sumber pangan bagi 3 miliar penduduk, merupakan rumah bagi lebih dari separuh spesies dunia, menghasilkan separuh dari oksigen di planet, dan menyerap seperempat emisi karbon dioksida.
Namun pada kenyataannya Indonesia menghadapi berbagai permasalahan di kelautan yang menjadi ancaman serius untuk memaksimalkan potensi kelautan maupun ekosistem di dalamnya.
Pencurian Ikan oleh Kapal Asing Menggunakan Pukat Harimau
Salahsatu permasalahan yang terjadi adalah adanya Penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal asing. Keadaan ini diperparah dengan minimnya anggaran, sehingga aparat tak bisa menggelar patroli dan membendungnya.
Seperti yang dilansir dalam https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/01/01/kapal-ikan-asing-kian-tak-terbendung-di-natuna, di mana dua orang nelayan asal Pulau Laut, Natuna, Kepulauan Riau, hanya mampu terdiam melihat tiga pasang kapal ikan Vietnam yang berukuran 80-100 GT, beroperasi mengeruk ikan dengan pukat harimau (trawl) di wilayah perairannya.
Aparat saat melakukan Patroli di perairan Natuna/foto : internet
Tak hanya membuat hasil tangkap nelayan lokal menurun, Pukat harimau yang digunakan kapal asing merupakan alat tangkap yang tidak selektif dan merusak terumbu karang yang menjadi habitat ikan demersal atau ikan dasar.
Pencurian Ikan Kapal Asing Terus Terjadi
Masih dari laman Kompas.id disebutkan, Kajian yang dilakukan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menunjukkan intrusi kapal asing di Laut Natuna Utara terjadi sepanjang tahun.
Sepanjang tahun 2022 ini, IOJI menemukan setidaknya ada 438 kapal ikan Vietnam yang diduga kuat melakukan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated/IUU Fishing) di Laut Natuna Utara.
Kapal-kapal yang melakukan IUU Fishing biasanya mematikan automatic identification system (AIS) di waktu tertentu untuk mengelabuhi pihak-pihak yang memantau pergerakan mereka. Kapal-kapal ikan yang mematikan AIS itu sering disebut sebagai dark vessels.
Patroli Terhambat Karena Anggaran
Di laman Kompas.id juga dijelaskan bahwa menurut Direkturu Pemantauan dan Operasi Armada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Pung Nugroho Saksono, Rabu (28/12/2022) melalui pesan singkatnya, kapal pengawas perikanan baru bisa digerakkan ke Laut Natuna Utara pada awal Januari 2023, karena anggaran PSDKP untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) sudah habis pada Desember 2022.
”Awal Januari kami baru ada BBM. (Nanti) langsung kami sikat,” ujarnya lewat pesan tertulis.
Persoalan anggaran itu sebenarnya telah diungkap Pung sejak April 2022. Saat itu, ia mengatakan, PSDKP mengalami kendala untuk menggelar patroli laut secara optimal di tengah harga BBM melambung. PSDKP hanya diberi anggaran untuk membeli BBM dengan harga Rp 11.500 per liter.
Hal serupa juga terjadi di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia. Melalui Kepala Bagian Humas dan Protokol Badan Keamanan Laut (Bakamla) Kolonel Wisnu Pramandita, dijelaskan bahwa anggaran operasi Bakamla juga habis, dan sementara kapal patroli Bakamla yang biasa bersiaga di Natuna, kini berlabuh di Batam.
Anggaran operasi Bakamla lebih kurang Rp 370 miliar pada 2022. Menurut Wisnu, nilai itu jauh dari ideal karena sebenarnya Bakamla butuh anggaran operasi sekitar Rp 1 triliun per tahun.
DPR RI Dorong Tingkatkan Anggaran Patroli
Anggota Komisi I DPR, Muhammad Farhan, menambahkan di laman kompas.id itu, persoalan anggaran untuk patroli Bakamla kemungkinan masih akan terjadi pada 2023. Bahkan, menurut dia, anggaran untuk Bakamla di APBN 2023 hanya cukup untuk menggelar patroli selama 40 hari dalam satu tahun.
Farhan mengatakan, Komisi I DPR telah mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran Bakamla. ”Pemerintah harus segera berpikir apa kebijakan afirmatif yang bisa diambil agar Bakamla bisa melakukan penegakan hukum secara tegas dan berkelanjutan di LNU (Laut Natuna Utara),” ujarnya.
Sayang sungguh sayang, meski terjadi di pelupuk mata, tidak bisa kita hentikan. Padahal pengawasan laut yang dilaksanakan dalam bentuk patroli laut secara mandiri, terpadu maupun secara terkoordinasi harus dilakukan untuk menjaga marwah dan potensi kelautan kita
Sumber: Klik Disini