Seorang anak penderita autisme merangkai manik-manik untuk di jadikan gelang pada kampanye kegiatan Hari Peduli Autis Internasional di Anjungan Losari, Makassar, Sulawesi Selatan. Antara/Dewi Fajriani
Afrida yang berparas manis pergi dari tempat duduknya menuju lemari di bagian belakang kelas, dan membenturkan dirinya. Para guru menyuruhnya duduk. Namun, ia selalu kembali.
______
Penulis: Titania Febrianti
Editor: Putra Mahen
TAMAN wisata itu sudah lengang. Dari pengeras suara tak lagi terdengar orang berdendang. Sebagian pengunjungnya sudah pulang. Saya menemani Akbar (12 tahun) dan Via sang bunda, menapaki jalan menuju pintu gerbang.
Dua keluarga tampak terkejut saat kami mendekat. Seorang anak perempuan berusia sekitar delapan tahun dan kedua orang tuanya menatap kami lekat-lekat, lalu beranjak tergesa-gesa. Ada hal lain yang membuat saya tercekat, seorang ibu muda segera menarik anak lelakinya yang berusia sekitar tiga tahun, agar berlindung di balik tubuhnya.
Akbar baru kembali dari terapi yang dibantu oleh lumba-lumba, yang ia jalani setiap Sabtu. Ia layaknya remaja seumurannya. Wajahnya rupawan, kulitnya putih bersih, tubuhnya menjulang. Namun, kata yang selalu meluncur dari mulutnya dengan lantang bernada naik turun berulang-ulang tampaknya membuat cemas dua keluarga tadi.
Akbar dinyatakan menyandang gangguan spektrum autisme, yang juga dikenal dengan istilah Autism Spectrum Disorder (ASD), sejak berusia dua tahun. Hingga usianya yang kedua belas di warsa ini, ia belum lancar merangkai kata menjadi kalimat.
Di lain waktu, saya menghabiskan waktu bersama Eleanor, ibu dari Jayden (empat tahun). Ia menyadari, sejak usia dua tahun anaknya gemar menyendiri saat berkumpul dengan para sepupu. Eleanor bercerita, beberapa kali saat ia membawa Jayden ke sebuah pusat perbelanjaan, tiba-tiba saja bocah itu menjerit-jerit tanpa sebab.
Hal yang kerap membuat Eleanor kesal adalah para pengunjung yang berhenti dan selalu menatap mereka dengan aneh. Tak pernah satu pun dari mereka menunjukkan kepedulian. Ika, ibu dari Faraz, individu autistik berusia sembilan tahun, sering sengaja membawa anaknya berpergian dengan kendaraan umum.
“Saya tak malu punya anak autis,” tegasnya. Namun, ada saja orang yang tidak mau mengerti dan menganggap Faraz mengganggu. Hal inilah yang membuat hatinya hancur.
Pada suatu pagi yang cerah di akhir pekan, saya duduk di dalam sebuah ruang kecil di kampus London School of Public Relations, Jakarta. Di sekeliling saya terdapat lima belas ibu dan seorang ayah yang memiliki anak penyandang ASD. Mereka tergabung dalam diskusi yang bernaung di bawah London School Center for Autism Awareness.
Di sanalah saya merasakan, betapa sulit dan beratnya para orang tua ini berhadapan dengan masyarakat yang belum menerima anak-anak mereka. Bahkan, mereka juga sulit menghadapi keluarga besar. Hal yang membuat saya sedih adalah kasus perlakuan semena-mena yang diterima oleh anak-anak berkebutuhan khusus (ABK—yang juga termasuk kaum tuna), oleh kawan-kawan satu sekolahnya.
Ages Soerjana, seorang orthopedagog atau ahli dalam bidang pendidikan untuk ABK yang memimpin diskusi tersebut, menguatkan para orang tua agar berani menghadapi masyarakat.
Saya berdiri merapat di dinding. Berusaha tak terlihat di kelas yang hanya memiliki empat murid ini (Andika, Nia, Vanessa, dan seorang lagi yang namanya tak boleh disebut terkait izin orang tua). Mereka adalah murid-murid kelas empat sekolah dasar Talitakum, Sekolah Luar Biasa C dan Autisma di Kebon Jeruk, Jakarta.
Di balik pintu, terdapat dua foto. Wajah Andika dan Nia terpampang di sana. Ade Hendra, guru yang menangani kelas itu, bertanya kepada Andika, “Yang mana Andika? Yang mana teman kamu Nia?” demikian berulang-ulang. “Mereka sudah kelas empat, tetapi sampai sekarang tidak bisa mengenali teman sekelas mereka sendiri.”
Untuk itulah ia melatih mereka, sebelum meninggalkan kelas dan pulang ke rumah masing-masing.
Sebelumnya, saat Andika maju ke papan tulis untuk memasangkan gambar, Vanessa sibuk menggoyangkan mejanya, sementara kawannya menelungkupkan kepala di atas meja. Alat bantu visual digunakan untuk memahami pelajaran yang kurikulumnya sama dengan sekolah reguler,
“Walaupun keragaman topiknya lebih sempit,” ujar Yetti Rachmawati, kepala sekolah.
Di kelas tiga yang terdiri dari Afrida, Mia, dan dua orang yang tak bisa saya sebutkan namanya, siang itu dipenuhi dengan jeritan dan suara tegas dua orang guru, Sugiarti dan Afendi. Mereka mengalami tantrum (mengamuk). Afrida yang berparas manis pergi dari tempat duduknya menuju lemari di bagian belakang kelas, dan membenturkan dirinya. Para guru menyuruhnya duduk. Namun, ia selalu kembali.
Di saat yang sama, seorang murid menangis, ia tak mau mengerjakan apa pun. Sementara itu, Mia yang biasanya ceria saat saya mengikuti kelas ini berhari-hari sebelumnya, menolak menyantap bekal. Ia mencubiti gurunya.
Kelas seberang merupakan gabungan kelas lima, enam, dan tujuh, yang terdiri dari enam orang. Semua siswa belajar dengan tenang dan terlihat mampu mengendalikan diri. Papan tulisnya dipenuhi soal matematika. Penambahan, pengulangan, perkalian. Deretan angkanya banyak. Saya terperanjat kagum. Anak-anak ini mengerjakannya dengan tekun.
Saat makan siang, salah seorang murid cantik di kelas delapan dipergoki oleh gurunya mengonsumsi minuman bersoda. Hal yang seharusnya ada dalam daftar pantangannya. Rahma sang guru pun menegurnya.
“Ibu Rahma kecewa sama saya?” ujarnya pada salah seorang guru. “Ya!” kata Rahma. “Ibu Rahma kecewa sama saya berapa persen?” “Lima ratus persen, lima ribu persen! Kecewa berat!” jawab Rahma dengan tegas. Anak itu pun berlari menahan tangis. Cara seperti ini melatih mental anak-anak tersebut, agar memiliki emosi yang lebih terkontrol.
Saya pun teringat perkataan Yetti, “Terapi perilaku bertujuan membina perilaku yang adaptif, membina perilaku yang sesuai dengan norma. Misalnya dia punya perilaku monoton. Di sini kita acak-acak, tergantung anaknya.”
Salah seorang murid merasa mual jika ia disentuh teman sekolahnya. Ia cenderung merasa jijik dengan semua orang. Apalagi teman lelaki. Jika guru-gurunya sengaja menyuruh murid lelaki untuk memegang pundaknya sebagai pembiasaan, ia akan segera menghindar dengan muka mual dan kerap kali bertanya, “Kamu sudah mandi belum?” Saya memperhatikan tingkahnya yang membersihkan meja dengan tisu secara saksama, sebelum ia meletakkan bekal dan peralatan makannya.
“Autisme itu masalah komunikasi dan perbendaharaan kata. Mereka pun antisosial,” papar Ade saat para murid sibuk dengan bekal mereka masing-masing. “Sebenarnya banyak sekali hal di otak mereka, tapi tak bisa dikeluarkan. Kosakata mereka terbatas,” lanjutnya. Terkait sensitivitas, Ade pun berkisah, salah seorang muridnya marah jika kulitnya tersentuh, karena merasa seperti dipukul. Ada pula yang tertawa jika terhantam oleh temannya, namun akan menangis beberapa jam kemudian. Tingkat gangguan spektrum autisme yang dialami para muridnya beragam.
Anak-anak ini bukannya tak berprestasi. Saya menghadiri acara pentas seni penutup tahun ajaran yang digelar oleh sekolah ini. Mereka tampil di atas pentas. Mereka menari, menyanyi, bermain drum, keyboard, bahkan mampu menyelaraskan musik dalam kelompok drumband. Tak jarang para orang tua memboyong keluarga besar untuk melihat mereka berpentas.
Sumber: Yayasan Autis Indonesia
Apa yang sebenarnya dialami oleh individu dengan gangguan spektrum autisme? Melly Budhiman, ketua Yayasan Autisma Indonesia yang saya temui di sela-sela seminar internasional mengenai autisme di rumah sakit Dr. Kariadi Semarang, menyatakan bahwa individu dengan ASD mengalami gangguan dalam komunikasi dua arah, interaksi sosial timbal-balik, dan perilaku. Lebih jauh lagi, “individu seperti ini seakan memiliki dunianya sendiri,” ungkapnya.
Saya memperhatikan, bagaimana Mia, murid kelas dua SD Talitakum yang diam seribu bahasa setiap kali saya temui di kelasnya. Juga Akbar yang selalu bersuara keras mengeluarkan kata-kata abstrak seolah tak mengenal lelah dari pagi hingga malam hari. Jayden yang dulu sulit menatap mata saya lebih dari tiga detik.
Demikian pula dengan Faraz yang di saat tertentu asyik menggerakkan tangan, serta anak-anak lain yang menyendiri, menolak bergaul, dan nyaman dengan diri sendiri. “Tidak ada satu pun gejala pada anak autis yang sama,” ungkap Melly.
Mereka punya keunikan masing-masing. Apakah mereka sadar dengan keadaan diri sendiri? “Mereka tahu kalau sedang diperbincangkan, beberapa dari mereka bahkan memiliki rasa malu dengan keadaan mereka,” jelas Ade sembari melirik murid-muridnya yang saat itu sedang mengerjakan soal matematika. Hal ini membuat mereka menjadi tertutup dan lebih menarik diri.
American Psychiatric Association, pada Mei tahun ini mengeluarkan DSM 5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) yang menjadi acuan untuk mengenali ciri-ciri individu dalam payung gangguan spektrum autisme. Panduan ini merupakan hasil penelitian yang terus direvisi, selama 14 tahun.
Ada beberapa gangguan yang dikelompokkan dalam ASD: infantile autism, sindrom Asperger, dan PPD NOS (Pervasive Developmental Disorders Not Otherwise Specified) Salah satu ciri penyandang sindrom Asperger adalah, individu tersebut impulsif terhadap suatu hal. Misalnya gampang berubah topik saat bercerita.
Seorang individu dinyatakan menyandang PDD-NOS saat gangguan yang ia miliki hanya mencakup salah satu atau dua, dari tiga bidang yang dijabarkan oleh Melly. Biasanya individu seperti ini masih memiliki ketertarikan dengan orang tua, atau masih bisa berinteraksi dan bermain dengan saudara-saudaranya. Semakin terganggu perilaku, interaksi dan komunikasinya, semakin tinggi tingkat autisme seorang anak.
Semakin dini orang tua menyadari keadaan anaknya, akan semakin baik pula perkembangan yang akan dialami individu autistik. Paling baik adalah sebelum berumur dua tahun. Terapi yang umum dijalani mereka adalah terapi perilaku, wicara, sensori integrasi, dan okupasi terapi.
Bentuk terapi ini beragam. Contohnya, meniup sedotan untuk melatih pengeluaran suara, berjalan di atas titian untuk melatih keseimbangan, merobek kertas dan menggunting untuk melatih motorik halus. Metode yang diterapkan pun bisa dengan bentuk hadiah dan hukuman, atau diulang terus menerus dengan cara halus, tergantung karakteristik setiap anak.
Bagi penyandang spektrum ini, mempelajari hal-hal ini tidaklah mudah. “Mengajarkan Faraz merobek kertas itu merupakan pekerjaan rumah yang benar-benar berat untuk dikerjakan,” ujar Ika penuh penekanan.
“Pemberian terapi harus rutin, tidak boleh bolong. Sebab kalau sering absen, kemajuan yang akan dicapai akan sulit, bahkan harus mulai dari nol lagi. Mereka terapi paling sedikit dua kali seminggu,” ungkap Susiami, terapis Ryan yang duduk di kelas empat. Saat itu saya mengikuti kegiatan mereka di kamar belajar yang mungil, di salah satu sudut rumahnya.
Bisakah gangguan spektrum autisme ini disembuhkan? ASD adalah kumpulan sindrom atau kumpulan gejala. Gejala adalah suatu hal yang tak bisa disembuhkan, tetapi bisa diminimalkan. Pendekatan dari para dokter dalam menangani sindrom ini pun beragam. Ada yang menetapkan diet sebagai hal utama, sebaliknya ada yang menganggap bahwa semua makanan baik bagi perkembangan otak.
Ada pula yang meresepkan obat yang harus dikonsumsi untuk sementara. Di luar semua itu, terapi adalah hal yang wajib mereka jalani.
Sore itu saya berhati-hati melangkahkan kaki di lantai yang dipenuhi genangan air asin, di tepi salah satu kolam di Gelanggang Samudra Ancol. “Akbar mau apa?” ujar Candra Aris Gunawan, seorang terapis, pelan namun tegas. Dengan suara berat dan perlahan, Akbar berkata, “Akbar mau berenang sama lumba-lumba.”
Setiap kata ia ucapkan dengan hati-hati, sembari menunjuki tiap gambar yang dilindungi oleh lapisan plastik dan direkatkan ke lembar panjang plastik lain dengan menggunakan velcro. Ada empat gambar di sana: foto diri di atas kolam, gambar tangan menengadah (pertanda untuk “mau”).
“Alat itu namanya PECS, atau Picture Exchange Communication System. Alat pengganti komunikasi melalui gambar, untuk anak nonverbal karena bahasanya belum berkembang,” ujar Candra menjelaskan. Terapi ini ia jalani sejak 2012. Via sang ibu mengakui, melalui terapi ini Akbar mengalami kemajuan wicara.
“Waktunya memang tidak instan, tetapi perkembangan itu ada,” ujarnya. Menurut Candra, salah satu keuntungan dari terapi ini adalah, individu autistik akan lebih mudah fokus. “Kalau di ruangan, banyak hal yang dilihat di kiri dan kanan. Kalau di kolam, hanya antara kepala dan kepala,” ujarnya sambil menjelaskan bahwa kegiatan ini telah mendapatkan lisensi dari Dolphin Therapy Project, di Florida, Amerika Serikat.
Saat meluncur bersama lumba-lumba, Candra kerap berteriak, bertanya mengenai bagian-bagian muka Akbar. Ia menguji sejauh mana Akbar bisa berkonsentrasi menjawab pertanyaannya, di tengah usahanya menjaga keseimbangan agar tak terlepas dari lumba-lumba yang melaju kencang. “Akbar, lihat Oom! Mana mata? Mana telinga? Mana hidung? Mana Bunda?” Akbar pun dengan cepat menunjukkan bagian-bagian yang ditanya.
Termasuk bundanya yang sedang duduk di tepian kolam. Terapi yang sama juga dijalankan oleh Rais (10 tahun) selama kurang lebih empat bulan. “Saya lihat perkembangan emosinya semakin bagus, terutama di sekolah. Ia juga semakin percaya diri,” ujar Wita, sang bunda. Daya tahan tubuhnya kuat karena berolahraga di air. Wita mengakui, hingga kini ia dan suaminya masih mencari terapi apa yang paling cocok bagi Rais.
Selain lumba-lumba, berkuda menjadi salah satu yang dianggap baik dilakukan oleh individu autistik. Hal inilah yang rutin dilakukan Faraz sejak kecil. “Semakin sulit medan yang dilalui kuda, semakin baik, karena dengan begitu Faraz akan semakin terlatih untuk menjaga keseimbangan,” ujar Linda, tante Faraz. Oleh sebab itu, ia kerap pergi ke kawasan puncak, menyambangi tempat wisata berkuda.
Di ruangan yetti yang sejuk, ia berkisah mengenai kenangannya mendidik anak berkebutuhan khusus. Pada 1998, saat menjadi tenaga terapis, ia masih ingat, “saat itu anak-anak autistik yang datang ke tempat terapi rata-rata memiliki tubuh yang besar. Mereka sering mengalami tantrum atau mengamuk, dan cenderung menyakiti.” Jambakan serta gigitan merupakan hal-hal yang harus dihadapi Yetti saat menghadapi mereka kala itu.
Namun, selepas 2000, usia anak yang datang lebih muda karena mereka telah terdeteksi ASD sejak dini. Selain itu, ia mengaku lebih mudah mengedukasi orang tua tentang apa yang terjadi dengan anak mereka. Individu ini biasanya sensitif terhadap gluten atau tepung terigu, serta kasein yang ada pada susu sapi. Untuk anak-anak dengan tipe agresif dan beremosi tinggi, diet wajib dilakukan diawasi orang tua.
Sumber: Nationalgeograpich.com
Baca juga: