Lifestyle


Selasa, 13 Desember 2022 23:34 WIB

Travel

Moonstar Simanjuntak, Anak Bangka sang Pengembara (Bagian 1)

Moonstar Simanjuntak (foto: Instagram)

Perawakannya tinggi besar. Rambut sebahu ia biarkan mengguntai walaupun kadang bikin dia risih sendiri. Pelan-pelan kopi hitam yang asapnya mengepul ia hirup pelan-pelan. Malam itu sudah hampir dinihari, kami duduk di sebuah cafe di tengah Kota Pangkalpinang.
______

Penulis: Putra Mahen
Editor: Nekagusti


"AH, cuaca seperti ini emang cocok kopi hangat," kata pria di depan saya.
Dia adalah sahabat lama saya, Moonstar Simanjuntak. Kami berkenalan kalau tidak salah sejak tahun 2009 bermula dari jejaring media sosial Facebook.
Ceritanya waktu itu saya yang hobi fotografi mencari-cari referensi foto di Google. Lalu mata saya tertuju sebuah foto unik. Saya cari dan dapatlah nama fotografer itu, ya, Moonstar ini.
Singkatnya kami berbagi cerita. Ternyata setelah lama berkisah di pesan FB rupa-rupanya kami sama-sama dari Bangka Belitung!

Sejak saat itulah kami terus berkirim kabar, karena Moonstar sendiri saat itu berada di Jakarta. Saya akui hasil-hasil jepretan dia bikin saya iri setengah mati. Jika tak percaya, silakan gogling dan ketik nama Moonstar Simanjuntak, maka anda akan melihat hasil-hasil jepretan dia, yang boleh saya bilang saya bangga punya kawan dari Bangka yang kualitas fotonya bikin ngiler.

Beberapa waktu lalu dia mudik ke Koba Bangka Tengah, kota kelahirannya, untuk natalan dan tahun baru bersama keluarga. Pria yang lahir dengan nama asli Mahendra Moonstar Simanjuntak, 2 November ini, jarang mudik karena kesibukkannya yang ingin menjadi manusia bebas mengejar mimpi dan menembus batas.

Lho?

Ya. Itulah yang ingin saya bagi kepada pembaca. Bahwa sosok pria ini tidaklah sembarangan, padahal, dia ini sebetulnya punya kehidupan dunia kerja yang tak main-main. Berbagai perusahaan bonafit pernah ia jajaki. Bahkan sebagian orang bermimpi untuk ada di posisi dia, namun karena jiwanya yang tak berbatas, ia memilih untuk meninggalkan itu semua dan menjadi orang yang ia sebut dengan petualang.

Catat saja seperti ia pernah jadi fotografer tabloid Cek & Ricek (2009), sempat pula jadi fotografer di Babel Pos (Grup Jawa Pos) tahun 2010, fotografer Nova tahun 2012-2013, lalu Head Foto Editor di Tabloid Gading Jakarta 2013-2015, dan seabrek lagi prestasi foto-fotonya yang diakui juga oleh WWF dan badan konservasi lain. Itu semua dia tinggalkan, padahal jika ingin hidup nyaman pekerjaan-pekerjaan yang sudah dia tekuni itu punya gaji yang lumayan buat masa depan.

"Menggembara. Ya, saya sebetulnya lebih senang disebut seorang yang ingin mengembara keliling Indonesia dan melihat betapa luas dan berharganya isi-isi negara saya ini," itu sebut Moonstar sekaligus tidak setuju saat ia saya panggil dengan sebutan backpacker. Karena ada perbedaan yang tegas antara pengembara dengan backpacker,--yang nanti di bagian bawah akan dijelaskan.

Saya minta dia untuk menceritakan apa alasan di balik keputusannya untuk meninggalkan semua pekerjaan yang mapan dan kehidupan yang enak-enak hanya demi sebuah mimpi besar yang ia sebut tadi.

Jujur saja, saya sendiri bangga bahwa ada anak Bangka Belitung yang seperti dia, di mana selama ini anak-anak Bangka Belitung dikenal dengan 'dek pati nyusah' tapi Moonstar justru membuat hal itu lebih 'rumit'.

Sangat jarang bisa menemukan ada anak Bangka khususnya yang mau bersusah-susah hati menjadi seorang pengembara. Apalagi kalau sudah menemukan kenyamanan di lingkungannya.

Moonstar Simanjuntak (foto: Instagram)

Ceritanya kata Moonstar, cita-cita itu sendiri katanya sudah lama.
Itu bermula dari rajinnya ia menonton film berjudul Into The Wild miliknya Christoper MacCandless.
Dia bahkan menyertakan kutipan dari film itu di blog pribadinya Moonstarsimanjuntak.blogspot.com
"Hate to think of a wild man like u in a cage. Tramping is too easy with all this money you paid me. My days were more exciting when i was penniless. I've decided I'm going to life for some time to come. The freedom and simple beauty is just to good to pass up. Quote film into the wild.” Christoper MacCandless a.k.a Alexander Supertramp.

Kata Moonstar, menjelajahi Indonesia yang terdiri dari 13.000 pulau (data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010)  di mana lima di antaranya, seperti Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Jawa merupakan pulau besar, memang jadi impian kebanyakan orang.

Tapi tidak bagi saya, Moonstar Simanjutak. Saya belum punya keberanian untuk bermimpi sebesar itu! Mimpi saya terbilang kecil namun maunya konsisten. Di tiap libur lebaran saya merencanakan untuk menginjakkan kaki satu per satu ke pulau besar hingga terkecil Indonesia, menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa indahnya panorama Tanah Air, penduduknya yang ramah dan ratusan pengalaman menyatu dengan alam,"

- Moonstar Simanjuntak -

Mimpi kecil Moonstar dimulai di tahun 2014. Dengan berbekal uang sekitar Rp 5 Juta-an dan sedikit kenekatan dia memberanikan diri berkelana 14 hari di Tanah Flores.
Selepas itu, niat liburan lebaran 2015 dia mau mengunjungi Sulawesi. Selain menjajal pulau Suku Bugis dia sudah berencana bertemu teman lama di perjalanan Flores sebelumnya, Annemie.
Namun, rencana berubah 180 derajat kata dia. Ternyata omongan orang yang berbunyi saat kamu memikirkan mimpimu, ingatlah untuk berbuat sesuatu meski kecil. Belajar membuat sesuatu yang kecil membuat kita ingin  melakukan yang besar, ada benarnya.
Makanya kata dia, untuk menggapai mimpi itu jalan satu-satunya adalah berhenti dari pekerjaan!

Ya. Langkah besar yang dimaksud bermula dari seorang temannya teman yang menawarkan sebuah proyek relawan di Papua pada Mei 2015. Singkatnya, sebuah organisasi non-profit bernama Doctor Share sedang melakukan pelayanan medis di pulau paling Timur Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang kaya.

"Proyek volunteer ini memakan waktu selama 10 hari, niat awal ingin cuti tapi konsekuensinya saya batalkan perjalanan dan pertemuan dengan Annemie di Sulawesi. Maklum, jarang ada perusahaan yang ingin karyawannya melanglangbuana dan cuti lebih dari 10 hari, bukan?" ujarnya.
Setelah dipikir dengan matang akhirnya diapun memutuskan berhenti dari pekerjaan sebagai editor photographer di sebuah majalah kawasan ternama di Jakarta.

"Ya, tekad sudah bulat dan kebetulan kontrak saya habis di bulan Mei, jadi kenapa nggak sekalian memberanikan diri melakukan sebuah langkah besar, yaitu berkelana keliling Indonesia," sambungnya sambil sesekali matanya melihat-lihat sekeliling lokasi kami duduk.

Sebenarnya lanjut dia, pemetaan perjalanan sudah ada di pikiran begitu kabar soal proyek relawan sampai di telinga. Apalagi menurut dia, dia selalu yakin tidak ada sebuah kebetulan dalam hidup, semua sudah jadi rencana Yang Maha Kuasa.

"Kita, tinggal menangkap ‘sinyal’ dan punya keyakinan saja kalau semua memang sudah diatur," itu katanya.

Saat itu semerta-merta pikiran liarnya soal bayangan perjalanan akan dimulai dari Papua-Maluku Utara-Sulawesi-Kalimantan-Sumatera-Jawa-Bali-NTB-NTT-Papua.
Nah, tinggallah kata dia memikirkan biaya yang harus ia keluarkan untuk membentuk mimpi besarnya itu.

Dia pun mulai melirik tabungan yang berkisar Rp 15 Juta lebih sedikit, tadinya buat traveling ke Sulawesi saja, tapi dipikir-pikir untuk perjalanan gila ini dia butuh peralatan kamera yang memadai dan laptop sebagai ‘markas’ foto.
Bila dibelanjakan sudah habis sekitar Rp 15Juta. Sisa? Seadanya! Dari situ dia putar otak. Berhubung perjalanan 'gila' pertama ke Flores sudah terdokumentasi dengan baik, dia berniat mencari sponsor.

Dimulai dari ‘mengetuk pintu’ perusahaan kamera besar. Hasilnya? Ditolak mentah-mentah!  "Saya paham, mereka nggak mungkin senekat itu memberikan dukungan. Saya belum sampai di tahap photographer kawakan, seperti Arbain Rambey, Juara Tunggal Festival Seni International Art Summit 1999. Saya paham betul posisi saya, seorang photographer asal Bangka Belitung yang cinta panorama Indonesia dan mengadu nasib di Jakarta," selorohnya.

Meski sedikit kecewa, cara lain tetap dia pikirkan. Akhirnya, link pertemanan lama pun kembali diubek-ubek. Salah seorang adik kelas waktu kuliah di Institut Teknologi Harapan Bangsa, Bandung, Denni, ternyata punya usaha kecil seputar produk hiking dan adventure bernama @Crop Adventure. Usahanya masih terbilang kecil dan sederhana, hanya melayani via instagram saja. Produk yang dijual pun masih seputar sandal gunung.

Mengapa tidak coba approach? Dia ingat langkah besar ini dimulai dari sesuatu yang sederhana, yang mulai ia presentasikan di hadapan Denni.
Singkat kata, ia dan Denni 'klik'.

Denni setuju menjadi sponsor utama perjalanan gila ini. Crop Adventure membekali dia dengan produk dan sejumlah uang sekitar Rp 5 Juta di perjalanan pertama dan Rp 1 Juta di tiap bulannya.
"Elus dada, lumayan bisa bernafas lega sedikit. Tapi, saya tetap berstrategi menggunakan koneksi untuk tempat tinggal dan berniat mencari pekerjaan buat kelangsungan mimpi ini," sebut dia.
Senang akan ada jalan menuju mimpi besarnya, tapi dia merasa ragu saat teman-temannya mulai menanyakan, 'Lo mau makan apa, bro?".
"Jujur, perkataan tadi sedikit menjatuhkan mental saya," lanjutnya.

Sebagian orang Indonesia memang seringnya fokus pada rasa takut sehingga membuat mereka berada terus di zona nyaman.
Inilah yang saya bilang bahwa saya bangga bahwa ada anak Bangka yang punya pikiran out of the box! Yang tak mau hanya berada di zona nyaman.

Kawan lama dia asal Belgia, Annimie membuka pikirannya, ia bercerita pernah melakukan perjalanan ke Afrika dengan motor dan bertenda di pinggir jalan.
"Pemikiran segar langsung terbersit di benak saya, kalau mau mengubah mindset harus berani keluar dari zona nyaman dan melakukan tindakan," tegasnya.

Ketimbang terus memikirkan rasa takut, dia mulai mencari video penyemangat mulai dari pengkhotbah Jeffrey Rachmat sampai sebuah film berjudul Into the Wild. Pernah menonton film kisah nyata dari seorang traveler bernama Christopher McCandless yang lebih dikenal dengan Alexander Supertramp. Kisahnya tentang seorang remaja dari keluarga kaya yang mencari sebuah arti kebahagiaan dalam hidup. Ia berani meninggalkan kenyamanan yang didapat dari kedua orangtuanya yang terbilang sejahtera. Ia bahkan percaya perjalanannya menyeberangi Amerika Utara dan menuju Alaska, bisa menjawab semua keresahannya soal hidup. Di tiap perjalanan bahkan Alexander selalu menularkan semangatnya pada orang lain agar tidak hanya berdiam diri di zona nyaman. Meski akhirnya ia meninggal di Alaska –karena memakan tumbuhan beracun.

"Bagi saya ia sosok pemberani," lanjut Moonstar.
Dengan tekat baja, Moonstar memulai perjalanan 'gila' mengelilingi Indonesia pada 7 Mei 2015. Akhirnya anak pasangan Ardes Simanjuntak dan Asmina Napitupulu itu memulai.

Pembaca harus tahu, dalam perjalanan 'gila' Moonstar ini, dia harus membawa ransel yang beratnya 30 kilogram! Di situlah semua peralatan hidupnya selama perjalanan. Mulai dari celana dalam, baju dan celana yang hanya ia bawa 4 setel, kopi, sikat gigi, sabun, sampo sampai tenda dan kompor kemah semuanya tumplek-blek di satu ransel!.
Bahkan cerita dia, pernah satu waktu dia kehabisan uang di perjalanan yang membuat dia harus memutar otak. Kebetulan ada proyek pengaspalan jalan. Maka dia meminta pekerjaan itu kepada mandor dan dia dapat jatah mengaspal jalan. Sialnya, celana yang ia pakai adalah satu-satunya celana jeans yang lumayan bagus dan harus terkena cipratan aspal. Padahal celana itu adalah 'senjata' dia untuk ikut jika ada acara seremoni.

"Tapi terlepas dari itu, saya tahu bahwa setiap malam saya melihat foto-foto yang saya ambil, Indonesia itu indah. Indonesia itu kaya. Orangnya-orangnya baik-baik," katanya.
Bahkan saking baiknya, pernah dia ditawari menikah saja dan tinggal di satu kampung. Tetua di sana malah memberikan dia sebidang tanah dan siap mencarikan calon istri untuk dia.

Perjalanan ke Raja Ampat sendiri dimulai dengan berakhirnya tugas dia sebagai volunteer di Doctor Share 7-14 Mei 2015 di mana dia bertugas menulis berita dan memotret untuk kegiatan sosial di Fak-Fak.
Tepat tanggal 14 Mei 2015 dia bebas tugas dan siap-siap untuk melanjutkan perjalanan dan mewujudkan impian yang belum terwujud yaitu menuju Raja Ampat.
Berangkat dari Bandara Fak-Fak dengan ransel 100 liternya bersama salah satu dokter, dokter Johan namanya.

Tiba lebih awal di Bandara Fak-Fak dia checkin dikenakan bagasi 10 Kg lumayan mengeluarkan Rp 220 ribu akibat kelebihan muatan, kala itu.
Nah, inilah kata dia bedanya petualang dengan backpacker. Kalau backpacker adalah orang yang mau jalan-jalan namun berusaha mencari cara semurah-murahnya agar sampai ke tujuan. Sedangkan dia petualang kalau ada duit, ya, naik pesawat, naik bus ber-AC. Tapi kalau tak punya duit bisa-bisalah nyetop mobil angkutan sayur atau ayam yang penting sampai  tujuan.

Kolase hasil jepretan Moonstar Simanjuntak (foto: Instagram)

Pesawat berangkat pukul 07.15 WIB dan dia tiba di Bandara Sorong pukul 08.30 WIB dan berpisah dengan dokter Johan salah satu relawan di teamnya di Doctor share.
Lalu Moonstar bercerita melanjutkan perjalanan berjalan ke luar bandara menuju ke jalan raya mencari cara agar irit, maklum tawaran mobil mengantarkan ke pelabuhan penyeberangan menuju Waisai harus membayar Rp 100 ribu.

"Ya, ini tanah Papua bung, bukan tanah Jawa yang gampang nyari transpor dan alternatif yang murah. Setelah bertanya-tanya di seberang jalan akhirnya saya diarahkan dengan naik angkot kuning jurusan A menuju pelabuhan rakyat dengan membayar Rp 5 ribu. Kemudian saya harus berjalan kira-kira 300 M memikul tas saya dari jalan raya menuju ke pelabuhan penyeberangan," ceritanya.
Pukul 14.00 WIT kapal yang mereka tumpangi berangkat menuju pelabuhan Waisai Raja Ampat, dengan membayar Rp 130 ribu.
Dan perjalanan itu dimulai dari Raja Ampat, di mana itu sendiri sebetulnya adalah mimpi saya pribadi yang tak mungkin bisa tergapai. Karena seperti kata teman kantor saya, jika sengaja untuk liburan ke Raja Ampat maka siapkanlah seolah-olah dunia sudah kita miliki. Yang artinya Raja Ampat adalah destinasi yang tak main-main.

Lalu saya dan Moonstar masih berbincang. Setidaknya sudah masing-masing 2 gelas kopi habis. Dan rokok filter saya juga sudah habis 2 bungkus. Namun pembicaraan kami makin seru.

Ada satu hal yang lalu saya beranikan bertanya. Apalagi kalau bukan soal: Kapan bisa kawin?

Semerta-merta dia langsung tertawa.
Pernah ibunya bertanya (almarhumah, saat artikel ini tayang ibundanya telah wafat) nanti kamu mau bagaimana masa depanmu. Tapi kata Moonstar dia cuma meminta izin dan restu kepada orangtuanya agar memberikan dia ruang sekali lagi untuk melanjutkan mimpi besarnya. Karena jika mimpi itu--yang memang sudah setengah jalan, tak terpenuhi maka hidupnya mungkin tak akan tenang. Karena kata Moonstar semua hal sudah ia pertaruhkan, mulai dari pekerjaan hingga kehidupan bersama keluarga.

Tetap kata dia, pernikahan tetap ada di benaknya. Bahkan kata dia, jika orang lain merasa iri dengan apa yang dia lakukan berkelana keliling Indonesia dan hidup bebas tanpa beban, justru dia balik iri dengan kehidupan normal.

"Saya juga iri dengan kamu. Kamu berkeluarga. Pulang kerja main sama anak, bercanda. Kamu juga iri, saya juga iri. Tapi, ada hal-hal yang memang harus saya selesaikan dulu. Seperti mimpi besar ini. Saya akan tetap akan pulang, entah itu kapan, saya akan tetap ingin membangun daerah saya Bangka, dengan semua skill dan pengalaman saya, tapi itu entah kapan. Jika ada nanti orang yang mengajak untuk berkeliling dunia, maka niat itu lagi-lagi harus saya undur," selorohnya.

Yang jelas kata Moonstar, dia ingin siapapun yang membaca tulisan ini bisa berpikir, bahwa jika ada mimpi yang belum tercapai jangan buru-buru mencari mimpi lain. Karena hidup cuma sekali, kesempatan cuma sekali, keluar saja. Hidupkan semangat dan jangan terlena dengan zona nyaman.

Dia merasa bangga bahwa dia termasuk satu di antara anak-anak asli Bangka Belitung lainnya yang bisa mengejar mimpi untuk menjadi pengembara dan petualang keliling Indonesia, bukan hadiah dari kantor, pemberian rekan atau hadiah jackpot, tapi bermula dari sebuah niat dan keinginan yang besar.

"Seperti saya bilang, jangan selalu berpikir mau makan apa, tidur di mana. Ada saja pokoknya. Kalau ada warga yang gak mau nerima kita, apa susahnya tinggal bangun tenda," tandas Moonstar mengakhiri.

So, banyak jalan menuju roma, tidur nyenyak di alam luar, dan terus menjelajah, tapi selalu ingat keinginan orang tua untuk pulang kembali ke kampung halaman dan hidup normal. "Thanks God for everything," itu kalimat terakhir obrolan kami malam itu, karena esoknya dia harus memulai lagi perjalanan ke tanah Jawa dan ke ujung Indonesia. (Bagian 1)


Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur