Ilustrasi: net
Amira (bukan nama sebenarnya) saat itu baru berusia 16 tahun. Siswa yang ceria dan menggemari musik tradisional itu harus drop out (DO) dari sekolah, karena hamil akibat diperkosa oleh seorang guru magang di sekolahnya.
___
Penulis: Melani Hermalia Putri
Editor: Putra Mahen
Ia sempat melaporkan kasus pemerkosaan yang dialaminya itu ke sekolah. Namun bukan dukungan yang didapat, Amira justru diminta mengundurkan diri atau dikeluarkan dari sekolah.
Peristiwa 13 tahun lalu itu masih membekas di benaknya. Bagi Amira, sekolah pada saat itu, tak lagi sama seperti sebelumnya saat para guru bisa menyambutnya hangat dan tanpa memandang sinis memberikan ilmu di setiap kelas.
Baginya, saat itu menghentikan kehamilan lebih penting karena ingin melanjutkan pendidikan. Perempuan kelahiran Bandung itu kemudian pergi ke sebuah tempat di Garut, Jawa Barat, untuk melakukan 'pijat aborsi'. Usia kandungannya saat itu belum genap satu bulan.
Rasa sakit tak tertahan harus dia alami saat bagian perutnya ditekan keras oleh tukang pijat. Rasa malu dan sakit bersamaan dia alami, karena menjadi gunjingan di keluarganya sendiri.
“Di perjalanan (ke Garut) aku naik bus. Dari jendela aku iri lihat anak-anak sekolah masih bisa bercanda, main sama teman-temannya. Aku rasanya gila sendiri waktu itu,” kata Amira kepada IDN Times, Jumat (4/11/2022).
Buntung didapat Amira, kehamilannya masih terus berjalan. Dia dipaksa orang tuanya untuk minum sejumlah obat yang dipercaya sebagai 'penggugur kandungan' di usia 16 tahun, tanpa tahu efek samping dari obat tersebut.
“Abis minum obat itu, badan aku lemas banget, gak ada tenaga. Tapi gak gugur juga sampai orang tua aku lepas tangan,”
- Amira -
Amira mengaku, dia dan orang tuanya pernah mengunjungi beberapa klinik kandungan di sekitar Kota Bandung untuk mendapatkan akses aborsi aman sesuai tindakan medis. Namun, para dokter yang dia datangi seakan menutup pintu saat permintaan itu terlontar.
“Malah ada yang bilang 'gak apa-apa dilahirkan saja, karena kondisi kandungannya baik.' Sementara aku masih usia sekolah, SMA aja belum tamat,” kata dia.
Amira akhirnya terpaksa meneruskan kehamilannya karena kondisi keuangan keluarga yang sulit. Tak hanya harus menanggung biaya untuk usaha menghentikan kehamilannya, keluarga Amira juga harus menanggung biaya pengobatan sang ayah yang menderita penyakit jantung koroner.
Di tengah kehidupan yang sulit itu, Amira harus berdamai dengan hidupnya karena melahirkan anak dari hasil perkosaan.
Jalan penuh liku bagi orang yang mencari akses aborsi aman tak hanya dilalui Amira. Pendamping korban Kekerasan Seksual, Dara Ayu Nugroho menjelaskan, banyak penyintas pemerkosaan yang juga kesulitan mengakses aborsi aman.
“Akhirnya banyak yang coba-coba urut, beli pil-pil aborsi yang belum tahu efeknya ke tubuh,” ujar Dara.
Sejak 2017 lalu, Dara yang aktif dalam pendampingan korban pemerkosaan melihat ada pola yang sama yang terjadi pada korban. Pertama, kebanyakan penyelesaian kasus pada korban pemerkosaan berjalan secara ‘kekeluargaan’, tak banyak tuntas di meja hijau.
“Kadang mereka yang masih sekolah malah drop out, bukannya sekolah mendukung mereka untuk mencari akses ke pengadilan atau ke faskes,”
- Dara -
Pola kedua, yakni ada kecenderungan korban justru harus menanggung kelahiran anak dari hasil pemerkosaan. Tak jarang korban pemerkosaan akhirnya memilih untuk melahirkan anak karena tak mendapat akses aborsi aman.
“Padahal aborsi untuk korban pemerkosaan itu tindakan legal di Indonesia. Enggak bertentangan melawan hukum,” ujar Dara.
Grafis: IDN Times/Sukma Mardya Shakti
Aborsi aman, yang legal yang dijegal
Di pinggiran Kota Jakarta Utara, Dara melakukan riset kecil-kecilan untuk melihat seberapa paham masyarakat sekitar tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Ironisnya, di Kota Jakarta pun, tak banyak orang mau membicarakan masalah kesehatan reproduksi, apalagi sampai pembahasan aborsi aman.
“Ini ironi ya, orang pasti mikirnya ‘di kota besar pemikiran orang-orangnya pasti lebih terbuka’, oh enggak juga, di sini ketika bahas aborsi aman, orang-orangnya malah menutup diri, ‘enggak deh jangan bahas itu, tabu’,” ujar Dara menirukan suara orang-orang yang ditemuinya.
Pembahasan aborsi aman seakan-akan semakin terasing dalam pembicaraan masyarakat. Padahal memberikan akses aborsi aman merupakan salah satu tanggung jawab semua pihak, termasuk pemerintah.
Gutmacher Institute menyebut, aborsi di Pulau Jawa masih dibatasi secara hukum dan dipandang sebagai hal negatif. Pandangan ini berasal dari studi kasus dan asuhan pasca-keguguran (APK) tahun 2018 di Pulau Jawa.
Diperkirakan ada 1,7 juta kejadian aborsi terjadi di Pulau Jawa pada 2018. Data tersebut sesuai dengan angka 43 kejadian aborsi per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun. Provinsi DKI Jakarta, menurut penelitian yang sama, merupakan daerah yang memiliki angka kasus aborsi tertinggi yakni 68 per 1.000 perempuan.
Hasil penelitian itu juga menemukan sekitar 75 persen perempuan yang melakukan aborsi secara mandiri, sementara 21 persen melaporkan bahwa tindakan aborsi dibantu oleh dokter atau bidan, dan 6 persen sisanya mengaku pergi ke penyedia layanan tradisional serta apoteker.
“Metode jamu adalah metode tindakan aborsi yang paling sering dilaporkan dan digunakan oleh 40 persen perempuan, yang melaporkan melakukan aborsi. Delapan persen dari perempuan itu melaporkan adanya komplikasi,” tulis penelitian tersebut.
Selain jamu, penggunaan metode lain di luar medis seperti pijat juga paling banyak dipilih oleh perempuan yang hendak melakukan aborsi. Metode ini dipilih hingga 39 persen perempuan.
Kondisi ini justru terlihat ironi ketika status hukum aborsi di Indonesia sudah jelas melegalkan aborsi. Aturan aborsi secara tertulis diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Beleid tersebut telah menyebut dan membuat panduan tata cara pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak, termasuk aborsi bagi korban pemerkosaan.
Dalam Pasal 75 ayat (1) beleid itu disebutkan, tindakan pidana bagi pelaku aborsi dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu atau janin, dan kehamilan akibat pemerkosaan.
Pasal 75 ayat (2) aturan itu kembali menegaskan bahwa aborsi diperbolehkan pada korban pemerkosaan.
Selain itu, tindakan aborsi itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Salah satu pasal yang mengatur tindakan aborsi yakni Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi: Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan (a) Indikasi kedaruratan medis, atau (b) Kehamilan akibat perkosaan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahkan sudah membuat algoritma atau tata laksana pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual. Korban yang datang ke faskes kurang dari 72 jam setelah terjadinya pemerkosaan, bahkan bisa diberikan kontrasepsi darurat oleh petugas kesehatan untuk mencegah terjadinya Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
Menurut tata laksana aborsi aman dari Kementerian Kesehatan, terminasi kehamilan dilakukan setelah melalui beberapa tahapan. Pertama, laporan ke kepolisian, kemudian melakukan pemeriksaan kehamilan, dan konseling serta pendampingan untuk memutuskan pilihan terkait kehamilannya.
Hasil pemeriksaan kehamilan dan konseling itu diperlukan untuk memutuskan apakah kehamilan tersebut patut untuk diteruskan atau diperlukan terminasi kehamilan.
Proses ini cenderung membutuhkan waktu cukup lama, hingga akhirnya korban pemerkosaan bisa melakukan aborsi secara resmi di fasilitas kesehatan yang sudah ditunjuk Kemenkes secara aman.
“Di negara lain bisa selesai dalam 1-2 hari,” kata Program Manager Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (IPAS) Indonesia, Nur Jannah.
Maharani atau Rani (bukan nama sebenarnya), mengaku pernah mendatangi Polres Kota Cimahi untuk melaporkan kasus pemerkosaan atau Kehamilan tak Diinginkan (KTD) yang dialaminya pada tahun 2011. Saat itu, usianya baru 12 tahun dan duduk di bangku kelas 2 SMP.
Setibanya di Polres Kota Cimahi, dia langsung diminta untuk masuk ke ruang Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk dimintakan keterangan polisi. Di ruangan itu, hanya ada Rani, dua polisi laki-laki, satu polisi perempuan, sementara orang tuanya tak diperbolehkan masuk.
Sulit bagi Rani untuk mengulang kembali seluruh kejadian yang terjadi sejak pra kejadian hingga pasca-kejadian dan menceritakannya ke polisi. Namun, justru pertanyaan bertubi-tubi yang didapat dari polisi.
“Setelah BAP, aku disuruh ngobrol sama dua polwan di ruangan yang berbeda. Polwan pertama nanya ‘kenapa mau digugurkan?', aku jawab karena masih sekolah dan gak mau hamil,” kata Rani dari seberang telepon kepada IDN Times.
“Polwan satunya bilang, ‘padahal ibu ingin banget punya anak, kan sayang sekali kalau harus digugurkan, di luar sana banyak yang ingn punya anak’,”
- Rani -
Setelahnya, Rani mengaku tak banyak bicara lagi di ruangan tersebut. Dia hanya mendengarkan dua orang polwan yang berharap memiliki momongan setelah pernikahan.
Kisah Maharani di kepolisian semestinya tak terjadi karena pada 2009, peraturan perundangan di Indonesia telah diperluas untuk melegalkan tindakan aborsi pada kasus pemerkosaan.
Idealnya, petugas kepolisian bisa memberikan pilihan pada Maharani untuk memilih meneruskan kehamilan atau menghentikan kehamilan dengan cara yang aman.
Hal itu diperlukan mengingat angka kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang masih terus meningkat. Penyediaan SDM yang berperspektif pada korban diperlukan untuk memberikan layanan yang komprehensif dan berkeadilan.
Menurut data Polda Metro Jaya bersama UPT P2TP2A DKI Jakarta, angka kasus kekerasan perempuan dan anak mengalami kenaikan sejak 2019.
Tercatat ada 1.179 korban melaporkan kasus kekerasan pada perempuan dan anak, kemudian 2020 sebanyak 947, dan 2021 tercatat 1.297. Angka kasus kekerasan pada perempuan dan anak diduga jauh lebih tinggi, namun tak tercatat karena tidak dilaporkan.
Pada 2021, data Polda Metro Jaya juga mencatat anak perempuan korban kekerasan seksual naik dari 30 menjadi 63 persen dalam kasus trafficking (perdagangan orang), dengan tujuan eksploitasi seksual atau pekerja seks anak.
Kepolisian sebetulnya memiliki aturan tertulis dalam memberikan layanan pada kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana, mengatur ruang pelayanan khusus atau RPK di unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) di kepolisian.
RPK ini menjadi ruangan yang ditujukan khusus bagi korban kekerasan, agar terpisah dari tindakan kriminal lainnya saat memberikan BAP.
Aturan itu merupakan tindak lanjut Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara RI. Dalam beleid ini, PPA menjadi unit khusus di kepolisian yang tak hanya memiliki RPK, tapi juga terlatih untuk menangani kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
Namun tak semua Polres sudah memiliki unit PPA, terkadang korban kekerasan seksual masih dimintakan BAP seperti korban dari tindak pidana lainnya.
Aborsi aman, untung atau buntung bagi negara?
Tersedianya payung hukum untuk melakukan tindakan aborsi aman, nyatanya tak lantas membuat korban lebih mudah untuk mengakses tindakan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Organisasi IPAS Indonesia menyoroti sulitnya akses layanan aborsi aman bagi penyintas perkosaan. Padahal jika sesuai dengan ketentuan undang-undang, layanan aborsi aman bagi orang yang mengalami KTD sangat komprehensif.
“Menurut UU sangat komprehensif, on paper. Ada PMK 3/2016 tentang pelatihan nakes yang boleh memberikan layanan aborsi aman bagi dua indikasi itu. Jadi sudah lengkap,” kata Nur Jannah.
“Tapi apakah layanannya sudah ada? Tidak ada. Panduannya saja. Panduannya ini dibuat 2018, diperbaiki 2021, sekarang sedang diperbaiki, tapi layanannya masih tidak ada,” sambung dia.
Kesulitan mengakses aborsi aman ini juga patut dipertanyakan karena banyak korban yang berujung melanjutkan kehamilan hasil pemerkosaan. Menurut Nur Jannah dari IPAS Indonesia, pemerintah semestinya tak hanya menyediakan akses layanan aborsi aman yang mudah dijangkau, tapi juga menyediakan langkah tepat untuk korban yang harus melanjutkan kehamilan.
“Kalau ingin melanjutkan (kehamilan) maka harus ada jalurnya juga. Jangan ‘gak boleh aborsi’ terus kehamilannya gak diapa-apain. Nanti anaknya gimana? Yang memberikan makan dan kebutuhannya siapa,” ujarnya.
Menurut pandangan IPAS Indonesia, layanan aborsi aman semestinya bisa diakses dengan mudah, terutama bagi korban pemerkosaan. Kesulitan akses layanan aborsi aman bagi korban pemerkosaan ini mesti didorong oleh negara agar mudah dijangkau korban.
“Maka negara perlu masuk di sana, untuk memudahkan akses aborsi aman bagi korban pemerkosaan,” tutur Nur Jannah.
Menurut Nur Jannah, ada keuntungan yang tidak dilihat negara dari memberikan akses layanan aborsi aman pada korban pemerkosaan. Kemudahan akses pada penyedia layanan untuk aborsi aman, kata Nur Jannah, bisa membawa dampak positif pada penurunan angka kematian ibu dan anak (KIA) yang menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia.
Akses aborsi aman diharapkan juga bisa menurunkan angka kematian bayi baru lahir, dan pencegahan stunting akibat Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), atau kehamilan pada usia remaja yang bisa mengganggu tumbuh kembang bayi.
“Kita bisa menghindari luka fisik pada organ kesehatan reproduksi perempuan, atau mencegah KTD,”
- Nur Jannah -
Aborsi dan religiusitas yang sering diperdebatkan
Aborsi cenderung masih dipandang sebagai hal negatif di segelintir kelompok masyarakat Indonesia. Meski menempuh akses legal, sengaja menggugurkan kandungan masih dianggap bertentangan dari aspek religiusitas.
Sekretaris Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II, Masruchah, menilai perlunya pandangan perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan.
KUPI memandang perempuan korban perkosaan perlu mendapat perlindungan, baik dari segi fisik maupun mental. Hal ini juga berkaitan erat dengan prinsip-prinsip kebaikan sesuai pandangan Islam.
“Prinsipnya adalah mengutamakan kesehatan dan keamanan jiwa perempuan. Nilai-nilai kebaikan perlu jadi pendekatan dalam memahami problematika aborsi di masyarakat,” kata Masruchah.
Dia menegaskan, apa yang menjadi fokus kajian KUPI pun sejatinya tak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
“Ketika kita bicara UU TPKS ada mandatory itu (aborsi), ketika berbincang UU Kesehatan ada juga layanan itu untuk korban pemerkosaan, ketika bicara RKUHP ternyata legal juga,” ujarnya.
Masruchah juga menegaskan, kajian praktik aborsi dalam diskusi KUPI dimulai menggunakan perspektif perlindungan pada perempuan. Singkatnya, menurut pandangan KUPI, tindakan menghentikan kehamilan harus melihat baik maslahat (keuntungan) dan mudarat (kerugian) dan menggunakan perspektif perempuan yang menjadi korban pemerkosaan.
Kajian perpsektif perempuan itu termasuk mendiskusikan nilai-nilai kemanusiaan dan hak-hak perempuan. Contohnya, perempuan yang memilih untuk menghentikan kehamilan karena kondisi medis diperbolehkan.
Kondisi yang sama juga berlaku bagi perempuan korban pemerkosaan. Misalnya pada kondisi di mana perempuan korban pemerkosaan kemudian mengalami KTD di usia sekolah, maka tindakan untuk menghentikan kandungan semestinya tidak dipermasalahkan.
Jadi apapun yang terjadi pada tubuh perempuan, semua keputusan harus mengikutsertakan suara perempuan, karena kita sedang berbicara tentang perubahan yang terjadi pada tubuh mereka.
Sumber: Klik Disini