ilustrasi pria/ foto; internet
Malam ini berbeda. Di luar hujan masih turun tanpa basa-basi. Deras. Tumpahannya tak menentu. Kadang pelan, kadang begitu kencang. Harusnya dingin. Tapi entah kenapa saat itu tubuhku terasa panas.
___
Penulis: Pai
Editor: Putra Mahen
Aku yakin ini bukan karena kopiku yang masih mengeluarkan kepulan asap pertanda ia masih panas. Aku yakin pula bukan karena bara api rokok yang ku selipkan di sela-sela bibir.
Panasnya berbeda. Seperti dari dalam. Seperti ada sesuatu yang sudah lama ingin dibuncahkan. Dimuntahkan banyak-banyak karena sudah sesak. Aku pelan-pelan mengendalikan rasa. Mungkin ini hanya karena kekhawatiranku saja soal rencana besok. Atau khawatir karena hal-hal yang terjadi kemarin.
Tapi aku cepat-cepat sadar. Aku tak pernah takut dengan apa yang terjadi. Dan aku tak peduli dengan apa yang telah terjadi. Dan aku jalani apa yang sedang terjadi. Jadi, bukan itu yang bikin kepala dan perutku sakit. Aku yakin ada sesuatu yang berbeda. Intuisi? Ah, aku tahu. Dialah masalahnya.
Aku cukup kesal dengan lamuran-lamuran intuisi yang halang-melintang di kepala. Entah ini kutukan atau berkah, tapi kadang aku membenci apa yang ada di kepala. Kadang membuat duniaku berhenti sebentar hanya karena pikiranku berkata "Hei, ada yang salah".
Malam ini aku mencoba untuk berdamai dengan intuisi ini. Ingin ku ajak dia berdampingan duduk dengan ditemani riuhnya suara hujan yang menghantam atap rumahku yang kadang sesekali terangkat, akibat ditiup angin. Ingin ku ajak intuisi ini bicara sekadar meminta dia untuk rehat sejenak dari kepalaku.
Bukan aku tak suka. Bukan juga karena benci durja. Tapi aku cuma ingin sehari saja hidup tanpa intuisi ini. Dia kurang ajar. Tidak pernah memilih dan memilah kata, semua rasa, ia sampaikan. Bahkan saat hati sedang gembira tiba-tiba intuisi ini bernyanyi mengabarkan hal jahanam. Ia kadang tak memilih waktu.
ilustrasi wanita/ foto; internet
Lalu aku bertanya kepada dia.
Kenapa kau sering mengabarkan kabar buruk ketimbang baik? Dia menjawab "Itu salahmu"
Salahku?
Ku perbaiki dudukku. Ku dengar apa yang mau ia katakan. Aku akan terima apa saja asal dia mau pergi walau sehari. Tak mengapa.
Dia berkata, alasannya kerap datang membawa kabar luka adalah karena aku yang memulai membuka pintu itu. Aku yang memaksa dia bangun karena aku telah melanggar sumpahku, yaitu; tidak akan pernah mencintai.
"Sejak kau mencinta, sejak itulah kau bangkitkan aku. Jangan salahkan aku yang selalu memberimu kabar yang tak ingin kau dengar, karena sumpahmu telah kau langgar. Sekarang, kau selamanya akan terus tersiksa olehku, karena, cintamu yang telah kau hidupkan, tak akan pernah lagi padam,"
Aku diam. Dia benar. Akulah yang salah. Akulah yang membangkitkan intuisi diri. Aku sang pemilik namun aku juga kini menjadi sang budak. Walau aku mengajak ia berdamai, tapi dia tetaplah dia, intuisi yang menggelayuti sampai aku mati.
Lalu dia meminta izin untuk pergi. Tapi sebelum benar-benar pergi, si intuisi berkata kepadaku, "Kau ingin aku tak datang lagi? Bunuh cintamu, jadilah seperti yang lalu, kemudian kita akan baik-baik saja, seperti dulu, saat kau tak mudah tertipu olehnya".