ilustrasi seorang wanita yang melihat dirinya sebagai super hero/ foto: istock
“Not every hero wears a mask. Some heroes save the day in the simplest of ways. By just being there for us, or letting us know we’re believed in..”
---------------
Penulis : Keenan Malik
Editor : Nekagusti
Ketika kita memikirkan pahlawan, kita biasanya memikirkan sosok manusia super, fiksi atau mitologis, dari Achilles hingga Iron Man dari Joan of Arc hingga James Bond. Mereka adalah manusia super karena mereka mencapai apa yang tidak bisa dilakukan manusia biasa.
Hingga saat ini ternyata kita tanpa sadar telah menemukan jenis pahlawan baru, perawat yang bekerja dengan perlindungan yang tidak memadai, guru honorer dengan dedikasi yang luar biasa, atau tukang angkut sampah di sekitar rumah, bahkan driver ojek online.
ilustrasi seorang anak yang memiliki kekuatan/ foto: istock
Banyak orang yang ingin digambarkan sebagai pahlawan. Namun, sebagian besar akan melihat diri mereka sebagai orang biasa yang melakukan pekerjaan biasa dalam keadaan luar biasa.
Apa yang mereka tunjukkan adalah bahwa kepahlawanan adalah atribut yang sangat manusiawi. Itu diekspresikan bukan dalam menjadi manusia super, tetapi dalam menjadi manusia sepenuhnya.
Siapa yang lebih baik?
Saat ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan untuk merendahkan dan mengatakan orang lain sebagai manusia yang yang tidak berguna, egois atau tidak berperasaan. Banyak yang melakukan hal buruk tersebut, tetapi ternyata lebih banyak lagi yang berdedikasi, berbelas kasih dan baik hati. Manusia-manusia sederhana disekitar kita yang melakukan pekerjaan yang setiap hari kita lihat. Manusia yang ternyata jauh lebih baik daripada yang sering kita puji.
ilustrasi superhero/ foto: istock
Dalam merayakan upaya mereka, kita tidak boleh lupa bahwa banyak yang dipaksa untuk bersikap heroik dengan alasan karena kekurangan sumber daya atau dipaksa karena kondisi yang buruk. Terlalu sering, kepahlawanan terlihat dalam pengorbanan. Padahal sebenarnya pahlawan juga dapat dilihat dari seseorang yang melawan kondisi yang mengharuskan mereka kehilangan jati diri
Sumber: guardian