News


Rabu, 09 November 2022 22:11 WIB

Kriminal dan Peristiwa

Kenapa tak Langsung Ditembak Mati?

Ilustrasi hukuman tembak mati (foto: net)

Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 antara lain diatur bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.
_____

Penulis: Tri Jata Ayu Pramesti
Editor: Putra Mahen


Sebanyak 404 terpidana mati di Indonesia masih menanti eksekusi. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyebut eksekusi merupakan kewenangan Kejaksaan.

"Kalau segera akan dieksekusi itu kewenangan dari kejaksaan sebagai eksekutor. 404 adalah terpidana mati sesuai putusan pengadilan," ujar Kabag Humas dan Protokol Ditjen PAS Kemenkumham Rika Aprianti kepada wartawan, seperti yang kami kutip dari Detik.com.

Rika mengatakan ratusan narapidana yang bakal dieksekusi mati itu tersebar di berbagai lembaga pemasyarakatan (lapas). Mereka menunggu untuk dieksekusi mati oleh jaksa eksekutor.

"Tersebar di beberapa lapas di Indonesia, termasuk Nusakambangan," ujar Rika.

Sebagaimana diketahui, eksekusi mati terakhir dilakukan terhadap empat terpidana mati pada Jumat, 29 Juli 2016, dini hari. Mereka adalah Freddy Budiman, Michael Titus Igweh (Nigeria), Humprey Ejike (Nigeria), dan Gajetan Acena Seck Osmane (Afrika Selatan). Setelah itu, eksekusi mati tidak ada lagi.

Sejumlah nama beken di 'dunia hitam' masih bisa menghirup udara bebas di dalam penjara. Seperti Meirika Franola yang direkrut oleh WN Pantai Gading, Mouza Sulaiman Domala, untuk terjun dalam bisnis gelap narkoba pada penghujung 1990-an. Ola lalu merekrut saudaranya untuk berbisnis heroin, yaitu Rani dan Deni

Dalam perjalanannya, mereka diendus aparat dan digerebek pada tahun 2000. Suami Ola mati tertembus timah panas dalam penggerebekan. Rani dan Deni ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta saat akan membawa 15 kg heroin ke Inggris. Deni sudah duduk di pesawat beberapa saat sebelum pesawat lepas landas. Sedangkan Ola ditangkap di lobi bandara usai mengantar Rani dan Deni.

Atas perbuatan mereka, ketiganya dihukum mati. Tapi apa daya, hukuman mati Deni dan Ola dianulir oleh Presiden SBY pada 2012 menjadi penjara seumur hidup. Adapun status Rani tetap, yaitu terpidana mati.

Namun, Ola bukannya tobat malah kembali mengedarkan narkoba dari balik penjara. Akhirnya, dia dihukum mati lagi oleh MA pada Desember 2015.

Bagaimana dengan Rani? Dia telah dieksekusi mati terlebih dulu pada Januari 2015.

Nah, jumlah di atas terus bertambah. Sebab, pada 2020 saja, sedikitnya ada 75 orang yang dijatuhi hukuman mati di berbagai wilayah di Indonesia.

Ada pula gembong narkoba yang menghuni penjara tetapi tetap mengendalikan penyelundupan narkoba. Salah satunya Darmawan (51). Warga Cengkareng yang sedang menghuni LP Slawi, Jawa Tengah (Jateng) karena terlibat kasus narkoba dengan hukuman 9 tahun penjara.

Belakangan Darmawan terbukti mengendalikan impor 439 kg sabu. Akhirnya, PN Jakut menjatuhkan hukuman mati ke Darmawan pada 2021.

Kenapa tidak langsung dieksekusi?

Grafis hukuman mati di Indonesia (foto: net)

Pertanyaan kerap muncul baik di dalam karya ilmiah dan studi hukum maupun masyarakat terkait tertundanya hukuman mati terhadap seseorang yang telah divonis mati.

Terdapat beberapa faktor penyebab sehingga terpidana mati tak segera menjalani eksekusi. Salah satu faktornya adalah berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM).

Selain itu, faktor lain adalah masih ada upaya hukum lebih tinggi yang bisa ditempuh terpidana. Seperti peninjauan kembali (PK), PK luar biasa, dan grasi.

Hingga kini, Penetapan Presiden yang Kemudian Menjadi Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (UU 2/PNPS/1964) masih menjadi pedoman untuk mengeksekusi pidana mati atau hukuman mati bagi terpidana yang diputus pada pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer.

Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 antara lain diatur bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer dilakukan dengan ditembak sampai mati.

Adapun aturan lain tentang pelaksanaan pidana mati adalah Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (Perkapolri 12/2010).

Kemudian, apa saja yang menjadi alasan ditundanya eksekusi pidana mati itu? Salah satu hal yang menyebabkan dilakukannya penundaan eksekusi pidana mati adalah terpidana mati yang bersangkutan sedang hamil. Hal ini disebut dalam Pasal 7 UU 2/PNPS/1964 yang berbunyi:

 Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.”

- Pasal 7 UU 2/PNPS/1964 -

Jadi, eksekusi pidana mati bagi terpidana mati yang sedang hamil itu ditunda hingga empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. Artinya, eksekusi pidana mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan hamil.

Penundaan eksekusi pidana mati juga dapat dilakukan karena faktor lain, yaitu perihal permintaan terpidana. Dalam Pasal 6 ayat (2) UU 2/PNPS/1964 dikatakan bahwa apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.

Terkait dengan hal ini, Jaksa Agung, Basrief Arief dalam artikel Alasan Penundaan Eksekusi Hukuman Mati yang kami akses dari laman jpnn.com mengatakan bahwa sesuai dengan UU 2/PNPS/1964, disyaratkan terpidana memiliki kesempatan mengajukan permintaan terakhir, dimana disebutkan, apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa terkait. Ia mengatakan antara lain bahwa permintaan terakhir terpidana ini bermacam-macam, di antaranya ada yang minta bertemu keluarga, sementara keluarganya di luar sana sakit sehingga minta waktu dan permintaan ini harus dipenuhi.

Dalam artikel yang sama, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), Untung Setia Arimuladi, mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa eksekusi dari seorang terpidana mati tertunda pelaksanaannya begitu lama pasca jatuhnya vonis pengadilan, karena masih diberikan hak-haknya sebagai terpidana,

Hak-hak tersebut menurut Untung Setia Arimuladi, di antaranya upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) maupun permohonan pengampunan dari Presiden (grasi). Setelah dilalui dan terpenuhi semua hak-hak terpidana, maka eksekusi dilaksanakan.

Hal serupa juga dijelaskan oleh Heri Aryanto, S.H beberapa faktor atau alasan mengapa terpidana mati belum dieksekusi mati meskipun putusannya sudah berkekuatan hukum tetap, antara lain:

1.    Bahwa dalam sistem peradilan pidana, yang menjalankan putusan pengadilan adalah jaksa penuntut umum. Apabila belum ada keputusan eksekusi dari jaksa penuntut umum, dalam hal ini Kejaksaan Agung, maka eksekusi tersebut belum bisa dilaksanakan;

2.    Bahwa terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, terpidana berhak mengajukan upaya hukum grasi (pengampunan) kepada presiden berupa permohonan perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana terhadap dirinya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU No. 22/2002”). Oleh karenanya, terhadap putusan pidana mati, sebagaimana ketentuan Pasal 3 UU No. 22/2002, pelaksanaan eksekusi mati tidak bisa dilaksanakan atau ditunda sampai ada keputusan dari presiden mengenai permohonan grasi dari terpidana tersebut.

Sebagai informasi, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU 5/2010), permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010).

Masih terkait dengan grasi, serupa dengan penjelasan Heri Aryanto, Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko dalam artikel Penundaan Eksekusi Hukuman Mati Diduga Disengaja yang kami akses dari laman resmi Berita Satu mengakui adanya kendala untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut. Menurut dia, hal itu terkait dengan kesempatan yang diberikan terkait upaya-upaya hukum lanjutan dari para terpidana. Seorang terpidana mati yang menjelang eksekusinya tiba-tiba mengajukan PK (Peninjauan Kembali) itu mau tidak mau harus diakomodir sehingga mengakibatkan mundurnya proses eksekusi. Selain itu, usai PK ditolak, terpidana matipun masih diberi kesempatan jika ingin mengajukan grasi. Hal itulah yang menyebabkan beberapa eksekusi terpidana mati tertunda.


Dasar Hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer;

2.    Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi;

3.    Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi;

4.    Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.


Sumber: Hukum Online


Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur