Depati Amir, melanjutkan perjuangan ayahanda Depati Bahrin, melawan penjajahan Belanda/Foto: internet
Fakta-fakta historis menjelaskan bahwa perlawanan yang dipimpin oleh Depati Amir merupakan gerakan sosial dan moral dari seluruh masyarakat Pulau Bangka.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mempunyai sejarah penting bagi perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya sebagai tempat pembuangan Soekarno, melainkan juga sebagai tempat perjuangan politik dan diplomasi internasional. Bahkan Saat pengasingan Presiden Soekarno dan Menteri Luar Negeri Agus Salim di Wisma Ranggam di Muntok, Bangka Barat tahun 1949, secara de facto pimpinan beralih ke Bangka Belitung.
Lebih jauh dari moment bersejarah itu, ternyata Bangka Belitung juga mempunyai fakta bersejarah lainnya dalam usahanya merebut Kemerdekaan.
Mau tau Fakta-faktanya? Ini dia sejarah perjuangan rakyat Bangka Belitung
Penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda menyebabkan kesengsaraan yang luar biasa bagi rakyat Bangka Belitung. Hal ini menyebabkan terjadinya perlawanan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat pulau Bangka Belitung selama kurang lebih 40 tahun lamanya. Perlawanan ini dimulai sekitar bulan Mei 1812 Masehi saat Inggris berkuasa dan terus berlanjut pada saat kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda dan berakhir sampai sekitar bulan Februari 1851 Masehi.
Wiharyanto (2009:4) mengungkapkan akibat jatuhnya VOC, monopoli Belanda di Palembang tidak dapat dipertahankan sehingga pada 17 Mei 1812 Inggris memperoleh Bangka Belitung sebagai daerah kekuasaannya.
Memulai Perlawanan
Perlawanan rakyat Bangka yang terjadi pada masa kekuasaan Hindia Belanda, dipimpin ole Demang Singayudha berlangsung di daerah Kotaberingin dan di daerah Gudang dipimpin oleh Batin Tikal.
Kemudian perlawanan besar rakyat Bangka yang lebih terorganisasi dipimpin oleh Depati Bahrin yang berhasil membunuh kepala Residen Belanda M.A.P Smissaert pada 14 November 1819.
Depati Bahrin wafat pada 1848 dan dimakamkan di kawasan Mendara, tetapi ada juga yang mengatakan Depati Bahrin dimakamkan di Lubuk Bunter Desa Kimak Kecamatan Merawang.
Perlawanan Terbesar
Setelah Depati Bahrin wafat, Perang Bangka tidak terhenti begitu saja. Akan tetapi, Perang Bangka selanjutnya dipimpin oleh Depati Amir, putera sulung Depati Bahrin.
Perang ini merupakan perlawanan rakyat terbesar dan terkoordinasi serta meliputi seluruh pulau Bangka terhadap penjajahan Belanda.
Gusnelly (2016:7) memaparkan bahwa perlakuan tidak adil dari pemerintah Belanda membuat salah satu
toko Melayu, yaitu Depati Amir bersama dengan beberapa tokoh Tionghoa yang sudah melebur dengan masyarakat pribumi melakukan perlawanan, yang dipimpin oleh Depati Amir cukup menguras tenaga pasukan Belanda.
Amir menjadi Depati pada 1830 Masehi, yaitu menggantikan ayahnya di daerah Jeruk, yaitu nama sungai yang bermuara di pesisir barat Bangka.
Makam Depati Amir di Batu Kadera, Airmata Kupang, Nusa Tenggara Timur/Foto: internet
Perjuangan seluruh rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dimulai sejak penolakan jabatan depati yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830 sampai Amir diasingkan ke Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur pada 1851 Masehi dan meninggal dunia di pembuangan dan dimakamkan di pemakaman Batukadera kampung Airmata, Kupang pada 1885 Masehi.
Fakta-fakta historis menjelaskan bahwa perlawanan yang dipimpin oleh Depati Amir merupakan gerakan sosial dan moral dari seluruh masyarakat Pulau Bangka. Hal ini dilakukan karena ingin mengubah situasi yang penuh dengan penderitaan, ketidakadilan, kesengsaraan, dan ketidakpastian yang dialami oleh mereka
selama penindasan yang dilakukan oleh kolonial Belanda.
Harmonisasi Antar Etnis di Bangka Belitung
Dalam perjuangan melawan penjajah ini juga membuktikan bahwa kerukunan atau harmonisasi antar etnis masyarakat Bangka Belitung sudah terbangun dari dulu.
Hal ini diungkapkan dalam jurnal Erman (2010:9) mengungkapkan bahwa patut dicatat solidaritas antar etnik semakin kuat antara penambang Tionghoa dengan orang-orang Melayu Bangka yang tergabung dalam gerakan perlawanan Depati Bahrin dan Depati Amir, ketika kedua etnik ini dirugikan dengan sistem monopoli dalam eksploitasi dan pemasaran timah oleh pemerintah Belanda.
Perlakuan yang buruk dari Pemerintah Hindia Belanda juga tidak hanya diterima oleh etnis Melayu di Pulau Bangka, tetapi etnis Tionghoa yang bekerja di parit pertambangan sebagaimana layaknya budak juga menerima perlakuan yang sama.
Persatuan Melayu dan Tionghoa di Bangka
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Periode 2017-2022, Erzaldi Rosman saat meresmikan patung untuk mengenang Jasa dan Perjuangan Depati Amir/foto: humasprobabel
Penindasan dan penderitaan serta perasaan senasib dengan pribumi di Bangka menyebabkan munculnya rasa persatuan dan solidaritas untuk
bersama–sama berjuang dalam melawan Belanda ketika mereka diajak untuk ikut berperang.
Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Depati Amir semakin meluas karena dibantu oleh para demang dan batin yang ada di Pulau Bangka, seperti Demang Suramenggala, Batin Ampang, Batin Ketapik, Batin Gerunggang, Batin Jebus,
Batin orang-orang Sekak, Batin Nyalau, Batin Bakung,Batin Tjepurak, Batin Penagan dan Batin Maras. Alhasil dari perjuangan masyarakat Bangka Belitung ini, Hindia Belanda dapat dipukul mundur.
Hingga kini sikap solidaritas itu juga tetap dipertahankan pada saat Bangka berjuang untuk menjadi provinsi. Sikap solidaritas antara masyarakat Bangka ini juga tidak terlepas dari hubungan yang terjadi secara turun temurun, yaitu mulai dari perang melawan penjajah Belanda pada Perang Bangka.
Oleh karena itu, para sesepuh dan tokoh masyarakat Bangka Belitung saat itu tentunya sudah memikirkan bahwa perubahan dan kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung akan lebih dapat digenggam jika menjadi Provinsi sendiri.
Sumber : Jurnal "Tinjauan historis simbol harmonisasi antara Etnis Tionghoa dan Melayu di Bangka Belitung" (Meta Sya, Rustono Farady Marta,Teguh Priyo Sadono- Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Bunda Mulia Jakarta)