Pembeli Akhirat Dengan Dunia
Said bin Amir Radhiyallahu anhu ialah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama. Dia sangat bertakwa dan tidak menonjolkan diri. Said memeluk Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Sejak itu, dia selalu menyertai Rasulullah dalam setiap perjuangan dan jihad.
Said bin Amir Radhiyallahu anhu berhijrah ke Madinah, mengabdikan diri kepada Rasulullah, dan ikut serta dalam Perang Khaibar serta peperangan-peperangan lain setelahnya. Bahkan ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dipanggil menghadap Tuhannya, Said mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah; Abu Bakar dan Umar.
Said bin Amir al-Jumahi Radhiyallahu anhu adalah seorang sahabat yang dikatakan Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu di waktu masa khilafah beliau sebagai “Seorang lelaki yang telah menjual dunianya untuk membeli akhirat dan dia telah memprioritaskan Allah dan Rasul-Nya diatas segala-galanya.”
Pada awal kekhilafahan Umar radhiyallahu 'anhu , Sa'id menemuinya dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia. Dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah. Dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan."
Maka Umar berkata, "Siapakah yang mampu menjalankan itu, wahai Said?”
Ia menjawab, “Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, yaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad kepadanya. Dan tidak ada seorang pun perantara antara ia dan Allah.”
Setelah itu Umar mengajak Said untuk membantunya. “Wahai Said, kami menugaskan kau sebagai Gubernur Himsh (sekarang dikenal dengan Homs, kota yang terletak di bagian tengah Suriah),” kata Umar.
Said menjawab, "Wahai Umar, aku ingatkan dirimu terhadap Allah. Janganlah kau menjerumuskanku ke dalam fitnah."
Maka Umar pun marah dan berkata, "Celaka kalian! Kalian menaruh urusan ini di atas pundakku, lalu kalian berlepas diri dariku. Demi Allah, aku tidak akan melepasmu.”
Kemudian Umar mengangkat Said bin Amir menjadi gubernur di Himsh. “Kami akan memberimu gaji,” kata Umar.
“Untuk apa gaji itu, wahai Amirul Mukminin? Karena pemberian untukku dari Baitul Mal telah melebihi kebutuhanku,” pungkas Said. Ia pun berangkat ke Himsh.
Tidak lama berselang, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab didatangi oleh orang-orang yang bisa dipercaya dari penduduk Himsh, Umar berkata kepada mereka, “Tulislah nama penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”
Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya tercantum nama fulan dan fulan serta Said bin Amir.
Umar bertanya, “Siapa Said bin Amir?”
Mereka menjawab, “Gubernur kami.”
Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”
Mereka menjawab, “Benar di rumahnya tidak pernah dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”
Maka Umar menangis hingga air mata membasahi janggutnya, kemudian dia mengambil seribu dinar dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Umar berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan menyerahkan kantong dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu. Said melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-olah Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.
Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia berkata, “Apa yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukimin wafat?”
Said menjawab, “Lebih besar dari itu.”
Istrinya bertanya, “Apa yang lebih besar?”
Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akhiratku, sebuat fitnah telah menerpa rumahku.”
Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya,” Dia belum mengerti apa pun terkait dengan perkara dinar tersebut.
Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”
Istrinya menjawab, “Ya.”
Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantong-kantong dan membagi-baginya kepada kaum muslimin yang miskin.
Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu anhu datang ke Himsh untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah. Kota Himsh disamakan dengan Kufah karena banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah. Ketika Umar tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan Umar untuk memberi salam kepadanya. Umar bertanya, “Bagaimana dengan gubernur kalian?”
Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang satu lebih besar dari pada yang lain.
Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Said sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Allah agar dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata, “Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik.”
Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”
Said diam sesaat kemudian berkata, “Demi Allah, aku sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka, kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”
Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang kalian keluhkan darinya juga?”
Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.”
Said berkata, “Demi Allah, aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya kepada Allah Ta’ala.
Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”
Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”
Said menjawab, “Aku tidak mempunyai wahai Amirul Mukminin, aku pun tidak mempunyai pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore hari.”
Kemudian aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Terkadang ia jatuh pingsan sehingga tidak ingat terhadap orang-orang di sekitarnya.”
Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”
Said menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi ketika aku masih musyrik, aku melihat orang-orang Quraisy mencincang jasadnya sambil berkata kepadanya, ‘Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini?’ Lalu dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Allah setiap aku teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan tidak menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan bahwa Allah tidak akan mengampuniku, maka aku pun pingsan.”
Saat itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang membenarkan dugaanku kepadamu.”
Kemudian Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya.
Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah kebutuhan kami dan ambillah seorang pelayan.”
Said berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan kepada yang lebih baik dari itu?” Istrinya balik bertanya, “Apa itu?”
Said berkata, “Kita memberikan harta tersebut kepada yang memberikannya kepada kita, kita lebih memerlukan hal (amalan) itu.”
Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”
Said menjawab, “Kita berikan kepada Allah dengan cara yang baik.”
Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Said tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar tersebut di beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah seorang anggota keluarganya, “Berikanlah ini kepada janda fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan, berikanlah ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang miskin dari keluarga fulan.”
Semoga Allah Azza wa Jalla meridhai Said bin Amir al-Jumahi Radhiyallahu anhu, dia termasuk orang-orang yang mementingkan saudaranya sekalipun dia sendiri memerlukan.
(Capt/LR)
Subscribe Kategori Ini