Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo (tengah) berjalan keluar ruangan usai mengikuti sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) di Gedung Transnational Crime Center (TNCC) Divisi Propam Mabes Polri, Jakarta, Jumat (26/8/2022) dini hari. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Bila nantinya Ferdy Sambo terbukti bersalah menghalangi upaya penyidikan dan dipenjara, maka ancaman pidana untuk kasus pembunuhan tak akan boleh lebih dari 20 tahun.
____
IDN Times - Penasihat Ahli Kapolri Bidang Hukum Pidana, Chairul Huda menilai lamanya kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J bergulir ke meja hijau merupakan bagian dari strategi Ferdy Sambo.
Mantan Kadiv Propam Mabes Polri itu sejak awal ingin agar kasus tindak menghalangi upaya penyidikan atau obstruction of justice yang lebih dulu masuk ke pengadilan. Dengan begitu, maka ia bisa menghindari hukuman maksimal pidana penjara seumur hidup atau hukuman mati.
"Kan pasal yang disangkakan adalah pembunuhan berencana dengan ancaman pidana hukuman mati, sementara di dalam KUHP ada ketentuan orang yang dijatuhkan pidana mati tak boleh dijatuhkan pidana yang lain. Jadi, kalau dia sudah dijatuhkan pidana penjara untuk kasus obstruction of justice, maka pidana itu harus dipertimbangkan oleh majelis hakim yang mengadili kasus pembunuhannya sebagai bagian dari pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa," ujar Chairul yang dihubungi IDN Times melalui telepon.
Ia menambahkan bila nantinya Sambo terbukti bersalah menghalangi upaya penyidikan dan dipenjara, maka ancaman pidana untuk kasus pembunuhan tak akan boleh lebih dari 20 tahun.
Makanya, dengan sendirinya akan menutup kemungkinan, ia dijatuhkan pidana mati dan dia akan dijatuhkan pidana yang tidak maksimal karena tak boleh 20 tahun,"
- Chairul Huda -
Sementara, merujuk ke pasal 221 KUHP ayat 1 mengenai obstruction of justice, maka ancaman pidana penjara paling lama adalah sembilan bulan atau denda Rp4.500. Chairul menambahkan bila Sambo nanti dijatuhkan pidana penjara selama sembilan bulan dalam kasus menghalangi proses penyidikan bakal berpengaruh ketika kasus pembunuhan berencananya bergulir di pengadilan.
"Karena di dalam sistem pemidanaan kita, pidana penjara selama waktu tertentu tidak boleh lebih dari 20 tahun. Artinya, kalau dia sudah dijatuhkan pidana penjara (untuk perkara lain), maka pidana penjara yang sudah dijatuhkan harus ikut diperhitungkan oleh hakim untuk menjatuhkan pidana penjara untuk perkara berikutnya. Kalau dia sudah dijatuhkan pidana penjara, maka tak mungkin dia dijatuhkan hukuman mati karena sesuai ketentuan orang yang sudah diancam dengan pidana mati tak boleh dijatuhkan pidana yang lain," katanya memberikan penjelasan.
Menurut Chairul, adanya dugaan kekerasan seksual yang menimpa Putri Candrawathi di Magelang sebaiknya tak perlu ditindak lanjuti oleh pihak kepolisian. Mengapa?
Pihak Ferdy Sambo diduga sengaja membuat penyidikan kasus pembunuhan berlarut-larut
Kadiv Propam nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Lebih lanjut, pria yang juga menjabat sebagai staf ahli Kapolri itu menduga pihak Sambo sengaja membuat proses penyidikan terkait dugaan pembunuhan berencana berlarut-larut. Tujuannya, agar berkas dugaan menghalangi penyidikan kasus yang lebih dulu disidangkan. Penyidik pun terpancing hingga kemudian menggunakan metode tes kebohongan untuk memeriksa keterangan saksi dan tersangka.
"Buat apa Bareskrim menggunakan lie detector? Alat itu baru bermanfaat bila polisi ingin menelusuri dua keterangan saksi yang saling bertentangan. Mana yang benar dari saksi itu. Lha, ini yang memberikan keterangan siapa? Para tersangka," kata Chairul.
Padahal, di dalam aturan hukum, para tersangka punya hak untuk diam dan hak ingkar. Hak ingkar bermakna, para tersangka dapat menggunakannya untuk berbohong.
"Jadi, apa gunanya (menggunakan metode lie detector)? Itu kan supaya berkas obstruction of justice-nya masuk duluan ke pengadilan," ujarnya.
Dugaan itu semakin diperkuat dari jumlah jaksa yang disiapkan untuk mengurus kedua kasus tersebut cukup timpang. Dalam perkara obstruction of justice, jumlah jaksa yang disiapkan mencapai 43.
Sedangkan, dalam perkara pembunuhan berencana, jumlah jaksa yang dilibatkan hanya 30 orang. "Kenapa jumlah jaksa yang disiapkan untuk kasus obstruction of justice lebih banyak? Padahal, kasus OJ lebih mudah dibuktikan daripada pembunuhan. Itu bagian dari strategi agar perkara OJ bisa lebih cepat diselesaikan," katanya.
Dugaan kekerasan seksual terhadap istri Sambo tak penting untuk diungkap
Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, bersama istrinya, Putri Candrawathi, saat reka adegan pembunuhan Brigadir J (IDN Times / Irfan Faturrohman)
Chairul menganalisa salah satu strategi untuk membuat penyidikan kasus pembunuhan berencana itu semakin lambat dengan menghidupkan kembali adanya dugaan kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi di Magelang. Hal itu disampaikan oleh Komnas HAM melalui laporan rekomendasinya ke Polri pada 1 September 2022 lalu.
"Alasannya kan untuk memperpanjang penyidikan kasus pembunuhan, supaya ada waktu cukup berkas perkara obstruction of justice maju lebih dulu ke pengadilan. Jadi, tanpa sadar lembaga-lembaga ini, mulai dari Komnas HAM, Kejaksaan dan Bareskrim sudah termakan skenario Pak Sambo. Dia kan bukan orang bodoh," kata dia.
Ia juga menduga upaya untuk membuat penyidikan semakin berlarut-larut terlihat dari kemunculan sejumlah isu seperti ada dugaan perselingkuhan antara Putri dengan asisten rumah tangganya sendiri, Putri dengan Brigadir J hingga ditemukannya uang saat penggeledahan di rumah Sambo.
"Siapa sih yang membuat itu semua? Orang yang berkepentingan agar penyidikan ini berlarut-larut. Karena pada akhirnya kita mengejar hantu atau setan. Penyidik akhirnya mengejar motif (pembunuhan) yang tidak diketahui itu apa," tutur dia.
Kejaksaan Agung sudah menerima tujuh berkas kasus obstruction of justice yang libatkan Ferdy Sambo
Berkas tindakan obstruction of justice yang dilakukan Ferdy Sambob dan 5 tersangka lainnya sudah diterima oleh Kejaksaan Agung. (Dokumentasi Kejaksaan Agung)
Sementara, pada Kamis kemarin, Kejaksaan Agung sudah menerima berkas atas nama tujuh tersangka, termasuk Ferdy Sambo untuk perkara obstruction of justice. Sementara, enam tersangka lainnya yaitu Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria, AKBP Arif Rahman Arifin, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto.
“Kejaksaan Agung telah menerima berkas perkara 7 tersangka obstruction of justice,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis, pada Kamis kemarin.
Ketujuh tersangka itu diduga terlibat dalam dugaan tindak pidana melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya dan/atau dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik dan/atau menghalangi, menghilangkan bukti elektronik.
Berkas perkara tersebut (P-16) akan diteliti oleh jaksa peneliti yang ditunjuk dalam jangka waktu 14 hari untuk menentukan apakah berkas perkara dapat dinyatakan lengkap atau belum secara formil maupun materiil (P-18).
"Selama dalam penelitian berkas perkara dan untuk mengefektifkan waktu yang diberikan oleh undang-undang, jaksa peneliti akan melakukan koordinasi dengan penyidik guna mempercepat penyelesaian proses penyidikan," ujar Sumedana.
Sumedana sebelumnya mengatakan, pihaknya membuka kemungkinan berkas perkara Ferdy Sambo dijadikan satu. Ia menambahkan bila berkas Sambo dijadikan satu, maka dia akan menjalani satu sidang saja dengan dua perkara berbeda karena kedua perkara terjadi dalam satu rangkaian peristiwa.
"Kemungkinan itu ada, (kedua berkas perkara) bisa digabungkan dalam satu surat dakwaan berdasarkan kewenangan penuntut umum," kata dia kepada media pada 14 September 2022 lalu.
Sambo resmi dipecat
Mabes Polri memutuskan menolak banding yang diajukan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo terkait pemecatan dirinya dari Polri.
"Menolak permohonan banding pemohon banding. Menguatkan putusan sidang Kode etik Polri nomor NIP/74/VIII/2022 tanggal 26 Agustus 2022 atas nama pelanggar Irjen Pol Ferdy Sambo NRP 73020260 jabatan Pati Yanma Polri," kata Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto, Senin (19/9).
Berdasarkan putusan sidang kode etik Polri Polri nomor NIP/74/VIII/2022 tanggal 26 Agustus 2022, sebelumnya, Polri memutuskan memecat Irjen Ferdy Sambo dari institusi Polri. Pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Sambo diputuskan melalui hasil sidang KKEP, ketika itu. Atas putusan itu, Sambo kemudian mengajukan banding.
Dalam sidang KKEP pada 26 Agustus 2022 ketika itu, terdapat 15 saksi yang dihadirkan. Mereka yang telah diperiksa di antaranya tiga tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, yakni Bharada Richard Eliezer (E), Bripka Ricky Rizal (RR), dan asisten rumah tangga Kuat Maruf.
Selain itu, Brigjen Hendra Kurniawan, Brigjen Benny Ali, AKBP Arif Rahman, Kombes Agus Nurpatria, dan Kombes Susanto, AKBP Ridwan Soplanit, dan AKBP Arif Rahman. Kemudian AKBP Arif Cahya, Kompol Chuk Putranto, AKP Rifaizal Samual, Brigjen Hari Nugroho dan Kombes Murbani Budi Pitono.
Sementara, pada sidang Banding hari ini, Polri kembali menegaskan pemecatan Sambo. Berdasarkan Pasal 80 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, Polri menolak permohonan banding berupa menguatkan atau memberatkan Putusan Sidang KKEP.
Sumber: IDN Times