Suasana di perairan Sukadamai, terlihat ponton TI isap. Foto diambil beberapa waktu lalu/foto: babelinsight.id
Payamada Law Institute menyimpulkan, ada dugaan penyelewengan hukum terhadap SPK yang dikeluarkan PT. Timah dengan surat pernyataan bermaterai yang ditanda tangani penambang.
____
BANGKA SELATAN - Beberapa waktu lalu, tepatnya hari Rabu, 8 Agustus 2022 terjadi tragedi kecelakaan tambang di perairan laut Sukadamai, Bangka Selatan. Di kejadian itu menyebabkan satu nyawa penambang selam hilang.
Adalah Hadi (40) sang korban. Saat itu ia sedang bekerja dengan cara menyelam di dasar laut, namun tiba-tiba tanah longsor dan menimpa badan korban hingga ia meninggal dunia di lokasi saat kejadian.
Kematian penambang TI (Tambang inkonvensional) selam itu mendapat banyak atensi di Negeri Junjung Besaoh. Salah seorang praktisi hukum setempat, Erdian SH yang juga Ketua Payamada Law Institute turut memandang tragedi itu dalam perspektif hukum. Berikut hasil wawancara babelinsight.id dengan Founder Kantor Hukum Erdian SH, Jumat (9/9/22).
Ia mengawali obrolan siang itu dengan mengatakan bahwa pada dasarnya kegiatan pertambangan di tengah masyarakat diklasifikasikan menjadi dua macam.
Baca Juga: Nasib Pedagang Toboali, 'Digusur' hingga Terlunta-lunta
Pertama, illegal mining yaitu pertambangan yang tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang.
Kedua, legal mining yaitu pertambangan yang mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang.
Kecelakaan tambang diartikan, setiap kecelakaan yang menimpa pekerja tambang, apakah karena faktor manusia akibat tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur (human error), atau dikarenakan peralatan pertambangan atau faktor lingkungan di sekitar pertambangan.
Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Pertambangan dan Energi No.555.K/26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum, pada Pasal 39 kecelakaan tambang harus memenuhi 5 unsur, yaitu:
1 . Benar benar terjadi.
2. Mengakibatkan cidera pekerja tambang atau orang yang diberikan izin oleh kepala teknik tambang.
3. Akibat usaha pertambangan.
4. Terjadi pada jam kerja pekerja tambang yang dapat mendapat cidera atau setiap saat orang yang diberi izin.
5. Terjadi di dalam wilayah kegiatan usaha pertambangan.
Erdian SH/foto: dok. Pribadi
Jika kelima unsur tersebut terpenuhi maka ditetapkan, bahwa itu merupakan kecelakaan tambang dan proses pidana tidak akan berlangsung, karena masuk ke dalam kategori kecelakaan tambang murni,"
- Erdian SH -
Hal di atas katanya berlaku apabila pertambangan tersebut masuk ke kategori legal mining.
"Nah, pada perkara yang sedang kita bicarakan (Sukadamai, red) sudah dapat saya simpulkan bahwa usaha pertambangan ini adalah illegal mining," tegasnya.
Kenapa termasuk illegal mining?
Lanjut Erdian, itu dapat dilihat dari berbagai persepsi. Yang pertama tambang yang dimaksud adalah tambang selam yang sama sekali tidak lolos uji kesehatan keselamatan kerjanya. Yang kedua, bekerja tanpa ada izin dari pemilik IUP yaitu PT. Timah Tbk.
Kata Erdian lagi, memang muncul beberapa persepsi dari beberapa kalangan masyarakat soal ada atau tidak izin yang diberikan kepada operasi tambang tersebut.
Ada yang mengatakan dugaan penambang mendapatkan izin dari salah satu CV.
"Setelah kami cek bentuk SPK-nya (Surat Perintah Kerja) itu merupakan SPK borong angkut hasil pengolahan," ungkap Erdian.
Dijabarkan Erdian, berdasarkan SPK No: 11 SHP/UPLB/Tbk/SPK - 3110/22-S2.5. Pada poin 1 dan 2 bahwa SPK ini merupakan kegiatan borongan pengangkutan sisa hasil pengolahan, belum SPK menambang.
"Akan tetapi kecurigaan kami bahwa di sini kami menemukan konspirasi terhadap penambang dan pengurus yang menjanjikan bisa menambang," cetusnya.
Yang mana lanjutnya, pada surat pernyataan salah satu penambang tertanggal 27 Agustus 2022, didapatkan pada poin 1 surat pernyataan tersebut berbunyi, “Bahwa benar saya telah melakukan pengambilan biji timah di IUP PT. Timah Tbk DU 1546", yang mana poin tersebut sama halnya dengan poin 1 SPK tentang ketentuan persyaratan bahwa kegiatan borongan sisa hasil pengolahan dilakukan pengawasan oleh pihak ke satu dalam wilayah IUP OP DU 1546 PT. Timah Tbk, dan pekerjaan borongan ini merupakan kegiatan non-inti pertambangan yang efektif SPK-nya terhitung sejak tanggal 4 Agustus 2022 sampai 3 September 2022.
Nah, atas temuan-temuan tersebut, Payamada Law Institute menyimpulkan, ada dugaan penyelewengan hukum terhadap SPK yang dikeluarkan PT. Timah dengan surat pernyataan bermaterai yang ditandatangani penambang.
"Yang awalnya SPK ini hanya berupa SPK pengangkutan tapi dijadikan alasan sebagai jaminan ke penambang agar bisa bekerja di DU yang telah ditetapkan dengan alasan bermitra kepada PT. Timah," tukasnya.
Dalam hal itu lanjutnya, mereka tak bisa semerta-merta menyalahkan PT. Timah sebagai pemilik IUP yang mengeluarkan SPK.
Karena pada dasarnya SPK yang dikeluarkan adalah benar, hanya saja memang ada kelalaian PT. Timah yang membiarkan IUP mereka diporak-porandakan oleh penambang ilegal.
Tanggung jawab pengawas operasional
Tambang Sukadamai (Foto: Google)
Masih kata Erdian, selanjutnya pada poin 10 SPK tersebut bahwa apabila pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai SPK, maka segala sesuatu akan menjadi tanggung jawab penanggung jawab usaha dan pengawas operasional.
Dapat Payamada Law Institute simpulkan, dengan adanya surat pernyataan dari penambang dan SPK yang dikeluarkan, bahwa bentuk pertanggung jawaban seutuhnya ditanggung oleh penanggung jawab usaha dan pengawas operasional.
"Jika benar apa yang telah kami simpulkan, maka penyidik harus memanggil dan memeriksa penanggung jawab usaha dan pengawas operasional," katanya.
"Tapi ini, kan baru diduga, saya menjelaskan hanya dalam perspektif hukum saja, selanjutnya pada prosesnya kita percayakan pada penyidik Polres Bangka Selatan yang sedang berjalan," lanjutnya.
Baca Juga: Karena Gangannya, Mak Weng Direkomendasikan Kepada Delegasi G20
Hanya saja harapannya adalah, adanya transparansi dalam proses penyidikan. Jangan sampai ada kesalahan dalam penerapan hukum dalam penentuan tersangka. Penyidik harus dapat membedakan ketentuan lex specialist dan lex generalis.
"Jika apa yang kami simpulkan setelah melewati pengembangan- pengembangan serta pemeriksaan para saksi dan jika itu benar maka segeralah tetapkan tersangka-tersangka baru dengan mempertimbangkan apa yang menjadi acuan aturan hukum yang berlaku, dan jika pada fakta di lapangan apa yang ditemukan penyidik berbeda dengan pandangan kami, maka acuhkan," lanjutnya.
Nah, apapun yang telah mereka pertimbangkan itu, mereka tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
"Hanya saja dalam aturan hukum Republik Indonesia setiap manusia memiliki kesamaan di mata hukum “equality before the law” tidak ada manusia yang kebal hukum di hadapan hukum, semua manusia sama," pungkasnya.