Pertemuan Ketua Harian Kompolnas di rumah duka Brigadir J. (IDN Times/Rangga Erfizal)
Sebuah video berdurasi 2 menit 42 detik beredar di dunia maya dengan full scene ada seorang laki-laki dalam kondisi di dalam peti, berbaju lengkap dinas kepolisian dan meninggal dunia. Diduga sosok di dalam peti itu adalah Brigadir J. Beberapa orang tampak membuka baju jenazah yang diduga Brigadir J dan memperlihatkan banyaknya luka yang janggal di beberapa bagian tubuh. Namun dengan mengatasnamakan kode etik, kami tidak akan menampilkan screenshoot potongan video tersebut.
Jambi, IDN Times - Pemeriksa Utama Divpropam Polri, Kombes Pol Leonardo Simatupang, disebut sebagai sosok polisi yang mengantar jenazah Brigadir Pol Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Leonardo merupakan anggota polisi yang diplot untuk membawa jenazah ke kota kelahiran Brigadir J di Sungai Bahar, Jambi.
Leonardo tak sendiri. Dirinya didampingi oleh adik kandung Brigadir J, Briptu Maha Reza Hutabarat. Mereka berangkat dari Jakarta menggunakan pesawat Citylink dan tiba di Bandara Sultan Thaha Syaifuddin Jambi, Sabtu (9/7/2022) siang.
Tak ada penyambutan khusus dari pihak kepolisian daerah layaknya prosesi kematian seorang polisi aktif yang gugur saat tugas. Pihak keluarga yang hadir mewakili keluarga inti heran, karena hanya ambulans sipil yang disiapkan membawa jenazah ajudan Kadiv Propam Mabes Polri tersebut.
"Keluarga sudah curiga melihat tak ada penyambutan sebagaimana polisi yang gugur dalam tugas. Saat itu, ipar saya diminta menandatangani surat serah terima jenazah. Namun mereka tidak mau karena menunggu kami datang," ungkap Samuel Hutabarat, ayah Brigadir J kepada IDN Times saat menerima kunjungan Ketua Harian Kompolnas, Irjen Pol (Purn) Benny J Mamoto beberapa waktu lalu (19/7/2022).
Kombes Leonardo temui Samuel untuk serahkan jenazah
Samuel sedang berada di kampung halamannya di Balige, Sumatra Utara (Sumut) saat menerima kabar anaknya gugur di Jakarta, Jumat (8/7/2022). Malam itu juga dirinya beserta istri dan kedua anaknya pulang dari Balige lewat jalur darat. Mereka tiba di hari yang sama dengan almarhum, namun pada pukul 23.00 WIB.
Samuel bercerita, kondisi rumah sudah ramai oleh kerabat dan beberapa aparat kepolisian dari Mabes Polri. Ada seorang polisi berpangkat Kombes menemui dirinya dan menyodorkan surat serah terima jenazah.
Samuel awalnya ingin melihat lebih dahulu kondisi anaknya, apalagi ada informasi yang menyebut sang anak meninggal karena terlibat baku tembak dengan seorang polisi di kediaman Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo.
"Awalnya polisi (Leonard) berkeras harus terima jenazah tanpa membuka peti. Akhirnya setelah didesak, peti mati boleh dibuka namun hanya boleh dibuka sedikit," ungkap Samuel.
Ayah Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat, Samuel Hutabarat saat dibincangi di rumahnya di Sungai Bahar Jambi (IDN Times/Rangga Erfizal)
Ketika itu, seluruh kerabat diluar keluarga inti disuruh keluar rumah. Samuel masih berkeras jika peti harus dibuka, sebab dia masih ragu Yosua yang sebelumnya sehat tiba-tiba saja meninggal dunia.
"Saya sempat bilang, bisa saja bukan anak saya kalau tidak dibuka. Lalu semua keluarga yang di dalam tidak boleh mengeluarkan handphone atau memfoto jenazah," ujar dia.
Pemakaman militer batal karena kurang syarat administrasi
Melihat sekilas kondisi Yosua di dalam peti mati, Samuel yakin anaknya telah disiksa sebelum dibunuh. Wajah, hidung, dan rahang yang pertama dilihat menandakan ada penyiksaan berat terhadap Yosua. Samuel sempat bertanya kepada Leonard dengan nada tinggi menanyakan tubuh Yosua. Leonard tak bergeming, dirinya hanya mengatakan jika hanya diperintah mengantar jenazah.
"Setelah dia jawab begitu, akhirnya saya tanda tangan surat serah terima jenazah. Dia (Kombes) sempat menanyakan kapan pemakaman akan dilakukan dan apakah keluarga memiliki permintaan khusus untuk pemakaman," ungkap dia.
Rosti Simanjuntak, ibu dari Yosua, meminta anaknya dimakamkan secara militer. Terlebih upacara pemakaman tersebut dapat dilakukan oleh rekan-rekan satu angkatan dari Samuel di Brimob Polda Jambi. Leonard menyanggupi permintaan itu, hanya saja dirinya tak bisa menjanjikan pemimpin upacara pelepasan berasal dari Mabes Polri.
Keluarga Brigadir J saat berkunjung ke makam (IDN Times/Rangga Erfizal)
Setelah menjanjikan pemakaman, Leonard pamit kepada pihak keluarga untuk kembali ke kota Jambi sambil menunggu persiapan untuk pemakaman dua hari selanjutnya. Janji Leonardo tak pernah terealisasi. Pada Senin (11/7/2022), Yosua dimakamkan menggunakan prosesi adat dan agama.
"Leonardo didampingi Kabid Propam Polda Jambi, Alfonso Doly Gilbert Sinaga. Mereka minta upacara militer tak bisa dilaksanakan. Alasannya, almarhum Yosua tidak cukup administrasi maka tidak dimakamkan secara militer," ungkap dia.
Sosok Kombes yang melakukan intimidasi
Di hari yang sama usai pemakaman Yosua. Rumah kediaman Rosti dan Samuel didatangi banyak polisi. Mereka membuat barikade dan menyisir ke dalam rumah. Mereka membuat formasi pagar. Rombongan polisi tersebut meminta seluruh orang yang berkumpul di dalam rumah agar keluar. Mereka menutup gorden.
Tak lama berselang, muncul Karopaminal Brigjen Hendra Kurniawan masuk ke dalam rumah. Kedatangan jenderal bintang satu itu membuat keluarga marah ketika ia masuk rumah tanpa aturan. Keluarga yang baru datang dari jauh pun dipaksa keluar.
"Perwakilan dari Mabes Polri itu datang dan bilang mau menyampaikan kronologis meninggalnya Yosua. Mereka bilang ini aib sehingga hanya keluarga inti yang boleh mendengar," ungkap dia.
Samuel menceritakan jika istrinya Rosti sempat meminta polisi membuka CCTV di kediaman Ferdy Sambo. Namun seorang polisi berpangkat Kombes mengatakan tak ada kamera yang dimaksud. Rosti heran dan membandingkan kondisi SD tempat dirinya mengajar yang dikelilingi CCTV di setiap sudut.
"Istri saya bilang, 'SD di desa kecil ini saja ada CCTV. Sedangkan kediaman seorang jenderal tak memiliki itu'. Istri saya malah menantang mereka untuk melihat CCTV sekolah," ungkap Samuel.
Keluarga Brigadir J saat menerima tamu yang datang ke rumah nya untuk mengucapkan belasungkawa (IDN Times/Rangga Erfizal)
Tantangan dari Rosti tersebut membuat seorang polisi berpangkat Kombes menyalak. Dirinya marah perkara CCTV. Dirinya beralasan tak ada CCTV yang dipasang mengarah ke kamar utama rumah kediaman Ferdy Sambo.
"Saya tidak tahu siapa Kombes itu, tapi dia marah dan mengintimidasi karena kami minta CCTV di rumah dinas jenderal polisi," jelas dia.
Setelah Brigjen Hendra pulang, pihak keluarga mulai merasakan keganjilan lain. Peretasan mulai terjadi, WhatsApp dan telepon diretas. Pihak keluarga menduga kejadian ini buntut kasus yang menimpa anaknya. Mereka pun merasa bukan lagi bagian dari keluarga polisi melainkan teroris.
Sumber: Klik di sini