Opinion


Senin, 18 Juli 2022 10:32 WIB

BI View

Predator Seks dan Pedofil: Syahwat yang Durjana

(Ilustrasi pelecehan seksualbsmedia.business-standard.com/)

Ya. Kasus pedofilia, kekerasan seksual terhadap anak bawah umur kerap terjadi di lingkungan terdekat, oleh orang dekat bahkan tak jarang predator seks tersebut "bersembunyi" di balik baju seorang pendidik. Belakangan ini kita dikejutkan dengan beberapa kasus pelecehan seksual hingga pedofil yang melibatkan guru dan murid.

Untuk memberi rasa aman dan nyaman, babelinsight.id telah mengunjungi beberapa sumber untuk memastikan bahwa dunia pendidikan kita, terutama boarding school, dan atau pondok pesantren di Babel menjamin keamanan anak didiknya.

BANYAK yang merasa terciderai oleh kasus-kasus seksual terutama yang menyangkut pondok pesantren (ponpes). Bahkan, banyak ponpes yang terkena imbas gara-gara tingkah laku bejat pihak lain. Baik pencabulan, pemerkosaan maupun pedofilia.

Babelinsight.id berbincang dengan Kepala Pengasuh Ponpes Tarbiyatul Mudtadi'in Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan, H. Rosidi.

(Para santri sedang mendengarkan arahan dari ustad pada latihan upacara, di halaman Ponpes Tarbiyatul Mudtadi'in Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan/foto: babelinsight.id)

Dia ikut merasa terciderai oleh kejadian yang menimpa pondok pesantren baru-baru ini. Menurutnya nama baik pondok pesantren secara tak langsung ikut tercemar dan dipertanyakan oleh publik atas keamanan para santrinya, yang bertujuan menimba ilmu keagamaan di pondok.

Yang pertama kami sebagai pihak pesantren di sini sangat terlukai juga dan ikut sakit juga, atas kejadian yang menimpa pondok lain, gara-gara kejadian pondok lain nama baik pondok ikut tercemar. Kalau di sini kita memaksimalkan pengawasan ketat," ujar H. Rosidi kepada babelinsight.id, Minggu (17/7/2022).

Dan di ponpes mereka murid laki-laki (santri) dipisahkan dengan murid putri (santriwati), para pembina putri tetap ustazah (guru wanita) dan untuk anak didik putra yang jadi pembinanya ustad (guru laki laki).

Selain itu, H. Rosidi mengatakan Pondok Pesantren Tarbiyatul Mudtadi'in miliki tenaga pengajar lebih banyak ustazah berbanding ustad 

(Kepala Pengasuh Ponpes Tarbiyatul Mudtadi'in Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan, H. Rosidi./foto: babelinsight.id)

"Enam puluh persen lebih banyak ustazah dan empat puluh persen ustad. Di sini kita memberi jarak antara ustad dan ustazah pembina kepada murid, artinya apabila terjadi apa-apa terhadap murid, pembina masing-masing yang mempertanggungjawabkan," katanya.

Dia mengungkapkan, kejadian yang terjadi dan menghebohkan Indonesia beberapa waktu lalu, alhamdulillah belum pernah terjadi di Ponpes Tarbiyatul Mudtadi'in, lantaran pihaknya mengutamakan kedisiplinan siswa dan kepatuhan dalam menimba ilmu di pondok tersebut.

"Jangan kan api, asap pun tidak ada dan kita tidak menghendaki hal itu, di sinikan ada asrama perempuan dan laki laki, jadi setiap anak perempuan ada ustazah yang secara langsung bertanggungjawab sebagai pembina asrama dan begitu juga sebaliknya," tukasnya.

(Para santri laki-laki sedang berdiskusi di depan musala ponpes/foto: babelinsight.id)

"Yang mondok sekarang ada 160 siswa pondok, dan anak madrasah diniyah (santri yang hanya mendapat pengajaran agama Islam selama dua jam) banyak juga. Disebutkan anak pondok pesantren itu ialah yang mondok, karena yang mondok sudah pasti kita awasi dan kita beri pengajaran full, cara prilaku tata cara berpakaian cara bergaul cara berbahasa," ungkap H. Rosidi.

Dia juga berharap kepada para orang tua untuk bekerjasama dalam mengawasi anak. Dengan adanya kerjasama antar orang tua dan pihak pondok pesantren pasti membuahkan hasil yang baik dan diharapkan.

"Kepada wali santri baik kepada santri laki-laki dan santri perempuan setiap dia berada di rumah atau di kampungnya tolong dijaga pergaulannya, harus dikontrol juga. Jangan mudah percaya kepada anak, kerjasama antara wali santri dengan pihak pondok jelas menghasilkan hasil yang baik terhadap anak. Saya kira didirikannya pondok pesantren ini untuk antisipasi supaya ketidaktahuan hukum agama (Islam, red) melalui mondok, yang tadinya tidak tahu jadi tahu. Antisipasi juga akhlak budi pekerti juga," pungkasnya.

Pedofil bisa di mana saja

Dunia mungkin sudah tua, hingga diisi oleh berbagai manusia dengan tingkah dan pola yang bermacam. Termasuk pedofil, yang selalu memasang mata mengintai anak-anak untuk dijadikan pemuas syahwat. Berikut hasil wawancara babelinsight.id dengan pihak yang berkompeten terhadap salah satu penyakit masyarakat tersebut.

Pedofil didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 17 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber (sumber: internet).

Masih dari sumber yang sama, pedofilia berasal dari bahasa Yunani: paidophilia —pais ("anak-anak") dan philia ("cinta yang bersahabat" atau "persahabatan"). Meskipun ini arti harfiah, namun telah diubah menjadi daya tarik seksual pada zaman modern, berdasarkan gelar "cinta anak" atau "kekasih anak".

Sahabat insight, tak sedikit orang tua yang sangat mengkhawatirkan anaknya bahkan di dalam rumah sendiri. Terkadang rumah yang kita anggap tempat paling aman dari ancaman pedofil pun kini tak lagi nyaman. 

Lantas apa yang harus dilakukan orangtua untuk menjaga dan melindungi anak dari ancaman orang-orang gila dengan prilaku menyimpang? 

Seorang psikolog anak yang ditemui babelinsight.id Wahyu Kurniawan M.Psi.,Psikolog menyarankan agar orangtua memberikan edukasi sedini mungkin pada anak, seperti misalnya mengajari anak-anak untuk mengenal anggota tubuh mana yang boleh disentuh dan tidak (seks edukasi). 

"Anak diajari untuk mudah resisten atas hal-hal tertentu," ujarnya.

Dosen Prodi Psikologi IAIN SAS Babel ini menegaskan, peran orangtua diperlukan secara aktif, pun demikian dengan guru di sekolah. 

(Wahyu Kurniawan M.Psi.,Psikolog)

Selain itu, ia juga menyarankan agar orang tua memperluas jangkauan wawasan atau terlibat dalam berbagai grup yang sadar akan bahaya pedofilia. Ia meminta, lingkungan juga turut aktif menjadi pelindung bagi anak-anak.

Perangkat struktural seperti RT/RW dan lain-lain segera menjadi agen untuk bergerak menekan hal tersebut," katanya.

Sahabat insight, predator anak kini hampir nyaris kurang bisa dikendalikan dengan maksimal. Seolah hukuman dan ancaman hukuman pada pelaku pedofilia nyaris tidak berhubungan kuat dengan efek jera akan hadirnya pelaku-pelaku baru. 

Rumah adalah salah satu tempat yang di anggap sangat ramah bagi anak pun, rupanya tak pelak menjadi salah satu tempat pelaku pedofilia. 

Ia mengatakan, pedofilia dalam defenisinya adalah individu yang memiliki kelainan seksual yang ditujukan kepada anak kecil yang bersifat merugikan orang lain dan seolah-olah mendapatkan kepuasan dari sensasi pada anak-anak. 

Banyak faktor penyebab mengapa seseorang bisa menjadi pedofilia, di antaranya merasa tidak berdaya karena kurang mampunya menjalin relasi seksual yang tepat. 

"Hilangnya hasrat seksual pada hal khusus misalkan kepada perempuan dewasa, atau dia pernah mendapatkan luka yang sama (korban pedofilia), dan orientasi seksual menyimpang," tuturnya. 

Wahyu menyebutkan, biasanya pedofilia ini menyasar pada anak yang kurang pengawasan orangtua,  anak yang tidak bisa berkata asertif.

Anak yang tidak diajarkan seks edukasi yang tepat misalkan mana yang boleh disentuh dan lainnya, diajari seperti lagu anak-anak yang di sekolah, kemudian anak yang mudah diiming-imingi dan anak-anak yang menurut pelaku menarik (dalam defenisinya sendiri)," ulasnya.

Pernah menangani anak dengan trauma, Wahyu mengatakan penyembuhan anak korban pedofilia memang tidak mudah, karena trauma yang dialaminya membekas dalam ingatan anak. 

"Namanya trauma, tidak bisa diukur sejauh mana dan apakah mudah untuk disembuhkan. Karena ini adalah trauma dan trauma pasti membekas," ulasnya.  

Biasanya, lanjut Wahyu anak-anak dengan korban ini, akan menarik diri, sulit memiliki motivasi yang tinggi, harga diri rendah, dan bahkan ada yang cenderung menyakiti diri sendiri. 

"Mereka akan merasa tidak berharga dan tentu bila ada yang berat sampai pada mengakhiri hidupnya," tukasnya.

 

Ciri Seorang Pedofilia

Melansir laman Merdeka, data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan sepanjang 2019 terjadi peningkatan kekerasan seksual pada anak.

(Ilustrasi pelecehan/foto: iposdigi.com)

Tercatat sebanyak 123 anak menjadi korban dengan 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki. Mirisnya, mayoritas kasus terjadi di lingkungan institusi pendidikan.

Menyikapi hal tersebut, peranan orangtua sangat diperlukan agar anak terhindar dari incaran predator. Ya, kadar waspada tingkat tinggi dibutuhkan mengingat pelaku bisa saja merupakan orang terdekat yang tidak Anda duga sebelumnya. Inilah cirinya:

1. Berperilaku Obsesif
Sebenarnya tidak ada ciri khusus yang bisa menjadi tolok ukur pasti seorang pedofilia. Namun, jika dicermati lebih dalam orangtua dapat memahami dan peka seperti apa orang yang cenderung mengarah sebagai pelaku pedofil.

Obsesif dapat menjadi ciri awal dalam diri pedofilia. Jika sudah mengincar seorang anak yang ada di dekatnya, ia akan memutar otak untuk berusaha mendapatkan anak tersebut layaknya orang yang terobsesi akan sesuatu hal.

Tak selalu dengan cara yang kasar, cara halus akan digunakan juga oleh pelaku pedofil untuk mendekati mangsanya. Tak sedikit kasus yang bahkan membuat anak tidak sadar bahwa mereka sedang terancam tindak kekerasan seksual.

2. Introvert
Bukan berarti semua orang dengan kepribadian introvert adalah pedofil, namun pribadi inilah yang cenderung mengarah pada pelaku pedofil.

Bahkan, pelaku pintar mengemas dirinya sehingga orang sekitar tidak menyadari bahwa pelaku memiliki ketertarikan seksual pada anak-anak.

Pada beberapa kasus, pelaku pedofil biasanya tidak banyak bicara dan memilih menjauh dari lingkup pergaulan orang dewasa.

Jika diajak berkumpul, golongan ini cenderung menolak secara halus. Kebalikannya, mereka akan lebih bersemangat saat tengah bermain atau berdiskusi dengan anak-anak.

Tak jarang, ada juga yang lebih memilih mengasingkan diri dan menjauh seutuhnya dari lingkungan untuk menutupi identitas dirinya.

3. Pandai Berkamuflase
Sepatutnya orangtua perlu waspada mengingat pelaku pedofil cenderung pandai berkamuflase. Aneka topeng seolah melekat pada para predator ini, seolah siap menyamar menjadi sosok dengan rentetan perilaku baik agar bisa disenangi anak-anak.

Sama halnya dengan orang dewasa, pedofil akan mencari segala macam cara saat dirinya tertarik dengan seorang anak secara seksual.

Mulai dari lebih mengatur sikap dan perilakunya untuk menarik perhatian hingga berusaha merendahkan nada suaranya. Tak jarang, pelaku kekerasan seksual ini akan memberikan barang untuk menarik minat anak-anak.

4. Berubah Agresif
Ya, setelah berhasil mendapatkan anak yang telah menjadi incarannya jangan kaget bila pelaku pedofil akan berubah menjadi sosok yang berperilaku agresif. Hal ini mengingat pedofil tidak memiliki kematangan emosi yang baik dan cenderung tidak ragu untuk menyiksa anak-anak.

Melansir Psychology Today, Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental disi Kelima (DSM-5) memaparkan gangguan pedofilia pada seseorang akan terdiagnosa jika dirinya memenuhi kriteria sebagai berikut:

• Cenderung berfantasi seksual dengan objek anak praremaja berusia 13 tahun, bahkan lebih muda. Kondisi ini biasanya berlangsung selama kurun waktu minimal 6 bulan

• Merasa tertekan jika harus berhadapan dengan lingkup pergaulan, bekerja, atau situasi sosial lainnya

• Berusia setidaknya 16 tahun, dengan objek ketertarikan seksual anak yang berusia lima tahun lebuh muda darinya

5. Kecanduan Pornografi
Salah satu ciri pelaku pedofil adalah ketergantungan atau kecanduan pornografi. Pelaku biasanya memiliki kebiasaan buruk ini. Fantasi seksualnya terbentuk karena sering terpapar konten pornografi. Bukan konten porno biasa, pelaku pedofil juga cenderung sering melihat konten-konten pornografi ilegal yang melibatkan anak di bawah umur. 

6. Memiliki Masalah Penyalahgunaan NAPZA
Orang dengan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Obat Terlarang atau NAPZA juga diindikasi berisiko tinggi menjadi pelaku pedofilia. Masalah kecanduan obat-obatan terlarang dan depresi bisa menjadi salah satu penyebab dan ciri pedofilia. 

7. Pernah Mengalami Pelecehan Seksual dan Trauma Masa Kecil
Hingga saat ini, belum jelas apakah pedofil bersifat genetik atau bukan. Namun, ada beberapa hal yang menjadi ciri pedofil, yakni ia pernah menjadi korban mengalami seksual atau trauma masa kecil sebelumnya. 

Seorang pedofil juga bisa saja mengalami trauma masa kecil atau kelainan pada otak sehingga membentuk perilaku tersebut. 

(Uka/Try/net)

 


Subscribe Kategori Ini
Most Populer
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur