Opinion


Sabtu, 10 April 2021 13:44 WIB

Timah, Janganlah "Dabih Menampung Darah"


"Bak pungguk merindukan bulan, lalu berdiang di abu dingin".

Sakit yang teramat lama dipendam akan menumbuhkan dua pilihan: Mati diabu atau melawan diarang.
Nampaknya, pilihan itu yang sedang dipertimbangkan rakyat Kepulauan Bangka Belitung terhadap 'tak tersentuh'-nya perusahaan plat merah pengeruk timah di Babel.

Lama dirundung luka tak berdarah, wajar jika rakyat Babel menumpahkan rasa "Adat diisi, janji dilabuh" berupa; Melawan sekarang atau dimakan nanti!

Alasannya, mudah saja. Karena eskalasi sosial di Provinsi Babel sepekan terakhir sedang memanas. Persoalannya, rakyat Babel sudah lelah dengan 'gayung tak bersambut'-nya PT Timah, baik dari luar maupun dari dalam. 

Sebagian orang menduga-duga, siapa yang bisa membuat perusahaan ini mau membuka diri, apalagi peduli? Isi bumi dikeruk sampai inti, tapi hati tidak pernah ada di sini. Resistensi kepada perusahaan ini makin meninggi.

Lihatlah, beberapa waktu lalu nelayan tak lagi kuasa menahan sakit hati. Berbondong-bondong mereka membawa aspirasi, yang berisi "Tolong, kami tidak ingin mati, berhentilah hisap laut kami!".

Adalah Gerakan Nelayan Tradisional se Pulau Bangka yang mendatangi Kantor PT Timah, Senin (5/4/2021). Mereka menggelar unjuk rasa guna mendesak PT Timah agar segera mencabut surat perintah kerja (SPK) PT Timah yang berada di seluruh wilayah perairan Pulau Bangka.

Nelayan bersuara. Mereka minta PT Timah untuk segera mencabut SPK yang berada di seluruh wilayah perairan Pulau Bangka seperti di perairan Matras, Pesaren Belinyu, Tuing, Teluk Kelabat di Kabupaten Bangka, Batu Perahu Bangka Selatan dan perairan Belo Laut Bangka Barat.

"Jadi harapan kami PT Timah mengabulkan tuntutan kami para nelayan, karena aktivitas tambang itu sangat mengganggu areal tangkap kami," kata koordinator aksi, Suhardi.

Suhardi mengaku, sejak pembuatan SPK tersebut para nelayan tidak dilibatkan, dikarenakan pihak PT Timah langsung meminta izin kepada pihak yang bukan nelayan. Karena itu, para nelayan pun merasa terzolimi. (sumber: BabelPos.co edisi 6/4/2021).

Sayangnya, nelayan seolah berteriak kepada ruang kosong. Suara-suara mereka cuma bergema di dalam, terendap di luar, tersekat di bawah. Padahal mereka cuma ingin hidup normal. Mencari makan sebisa mereka. Tak mau bersentuhan dengan besi raksasa bertabur oli bersuara nyaring. Bagai ilak, bercerai dengan benang.

****

"Setiap keserakahan adalah akar dari sikap tidak tahu berterimakasih." - Lailah Gifty Akita

Jangankan 'cuma' ratapan nelayan. Keinginan Pemerintah Provinsi yang dihisap timahnya pun, bahkan cuma jadi sebatas bahan diskusi di meja direksi. 

Untuk meminta saham-pun provinsi bingung, mau lewat pintu mana? Belum lagi royalti yang hanya 3 persen diterima bertahun-tahun. Padahal, 3 abad sudah isi bumi di Kepulauan Bangka dan Belitung diangkut.

Beberapa kepala daerah di Babel mulai menyuarakan kegelisahan. Sebut saja Bupati Bangka Selatan Riza Herdavid seperti dikutip dari BabelPos.co edisi 7/4/2010, dia tersirat meminta agar PT Timah dan mitra kerjanya bisa jalan sama-sama dengan pemkab.

"Harapan kita bersama semoga ke depan PT.Timah Tbk dan mitra kerjanya memberikan kontribusi nyata yang positif untuk daerah dan masyarakat secara langsung," ujar Riza, seperti dikutip dari situs di atas. 

Pertanyaannya, apakah Riza juga sama beranggapan dengan rakyat Babel umumnya, bahwa selama ini benar dugaan belum ada kontribusi nyata PT Timah untuk daerah secara langsung? Apakah perlu Tuhan ikut campur? Entahlah. 

"Jangan heran kalau aku berbicara seperti orang bodoh. Mau bagaimana lagi biar kamu bisa memahami maksudku." - Anonymous. (*)

 Penulis: Putra Mahendra

#Bangka Belitung
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur