Pernahkah Anda mengalami sebuah kejadian di mana Anda sedang menggandeng pacar anda ke sebuah tempat, lalu tiba-tiba mantan pacar anda, yang merupakan cinta pertama anda, berada di tempat yang sama? Lalu, terjadi perdebatan antara pacar anda dengan mantan pacar anda tersebut, siapakah yang akan anda dukung?
6 Juni 2015, hari di mana partai final Liga Champions akan digelar. Partai final tersebut bukan cuma pertandingan sepakbola, tapi juga merupakan pergulatan emosi batin dan perasaan saya. Saat itu, saya menasbihkan diri saya sebagai penggemar FC Barcelona, kesebelasan dengan permainan paling indah yang pernah saya saksikan melalui dua bola mata saya.
Saya menyerupakan FC Barcelona seperti seorang perempuan berparas cantik dengan kecerdasan, karakter, dan pengetahuan yang luas. FC Barcelona merupakan perpaduan sempurna antara Scarlett Johansson dan Najwa Shihab. Ia adalah perempuan terbaik yang bisa diidamkan oleh pria manapun, dan saya beruntung menjadi pacaranya (baca : penggemar) saat ini.
Sepanjang musim ini, meskipun sedikit mengubah gaya berpakaian (baca: gaya bermain), tak luntur sedikitpun perasaan saya untuknya. Saya selalu menemani (baca: menonton) setiap dia berkegiatan (baca: bertanding) di ajang manapun.
Kalaupun saya berhalangan untuk menemani, selalu saya menyempatkan diri untuk berkabar maupun mencari tahu lewat media sosial miliknya. Pencapaian tinggi yang diraih tahun ini di level Eropa tentu menjadi sebuah kebahagiaan bagi kami berdua, dan kebanggaan besar bagi saya, selaku pacar yang selalu mendukungnya.
Namun, ketika tahu siapakah yang akan menjadi lawan, otot kaki saya lemas, dengkul saya serasa rontok, bibir saya kelu mencoba menyebut nama si gadis yang akan dihadapi pacar saya: Juve.
Ya Juventus-lah nama gadis itu. Juve dan saya bertemu untuk kali pertama pada 1998. Sebagai bocah lelaki yang sedang mengalami pubertas, saya bersinggungan dengan banyak gadis yang elok dan rupawan. Namun, mata saya ketika itu malah tertuju pada seorang gadis dengan dandanan minimalis, memakai baju motif hitam dan putih saja, bukan warna yang biasa dipakai gadis pada umumnya seperti merah, biru, hijau, kuning, dan lainnya.
Kekalemannya ternyata diimbangi dengan rangkaian raihan prestasi yang ciamik. Dia selalu juara pertama di kelasnya, kalaupun dia tidak juara pertama dia tak pernah lepas dari ranking tiga besar. Gadis ini sangat berkarakter! Itu yang muncul di benak saya. Maka dimulailah perkenalan saya dengan gadis kalem ini.
Pertengahan 1998 saya resmi mengikat hubungan dengan Juve.. Tiga tahun pertama dalm hubungan kami, entah kenapa Juventus tak mampu berbuat banyak di kelasnya. Dia gagal meraih juara pertama. Namun, hati saya selalu berbunga-bungan memikirkannya atau ketika menonton aksinya. Jantung saya selalu berdentum tak karuan. Saya seperti orang mabuk kepayang kalau membicarakan dan membanggakan dia di depan kawan-kawan.
Saking gilanya, rasa cinta saya itu saya bawa dalam ranah-ranah spiritual. Dalam setiap doa, selalu terpanjat keinginan agar Juve selalu menjadi yang terbaik. Saya ingin melihat Juve meraih kejayaan. Pada 2002, mimpi kami berdua menjadi kenyataan. Juventus menjadi juara pertama. Sepanjang tujuh hari penuh saya bersorak dan membaca berulang-ulang semua ulasan tentang hari kemenangan itu.
Hari-hari itu menjadi hari di mana saya memahami makna dari rasa cinta dan bahagia. Tahun-tahun selanjutnya, kami kian mesra saja. Mimpi besar kami sudah berada di ubun-ubun pada pertengahan 2003, saat Juventus akan berlaga melawan teman sekelasnya, Milan di level Eropa. Meski banyak orang yang bilang partai final 2003 adalah final paling membosankan, tapi tak pernah ada rasa bosan dalam diri saya. Sayangnya, hari itu kami menunduk lesu, dan saling mendekap untuk menguatkan. Kami gagal hari itu.
Datang Orang Ketiga
Ujian bagi hubungan kami datang pada 2006. Tersiar bahwa Juve melakukan kecurangan dalam usahanya menjadi yang nomor satu di kelas. Kejadian ini membuat kami terpukul. Bagaimana tidak? Mendengar orang yang saya cintai, yang saya banggakan, tapi disebut melakukan cara yang tidak sportif untuk menjadi yang terbaik.
Tentu, saya tidak percaya dengan semua omong kosong itu (di kemudian hari terbukti kalau Juventus tidak melakukan sebuah kecurangan). Cinta saya tak luntur karenanya. Juventus is my only one! Akan tetapi, sebesar apapun perasaan cinta saya pada Juventus, hukuman telah dijatuhkan, konsekuensi harus kami terima. Juve dikeluarkan dari kelasnya.
Kami menjalani hubungan jarak jauh. Tidak ada lagi bangun dini hari melawan kantuk untuk mendukungnya, tak ada lagi gaya kalem minimalis hitam putih nan berkarakter yang bertemu dengan mata saya. Tiada lagi kontak secara langsung di antara kami; hanya melalui surat kabar, saya bisa memantau kabar gadis tercinta saya itu. Hari-hari saya menemui kehampaan yang tiada bermakna.
Di tengah kesepian yang melanda, muncul gadis dari sekolah lain. Konon, ia mampu memikat siapapun. Namun, pikiran saya mash kalut, hati saya tak cukup kuat untuk menerima gadis lain. Gadis yang bernama Barca ini hanyalah gadis biasa bagi saya.
Meski cuma setahun menjalani hubungan jarak jauh, tapi hubungan saya dengan Juventus tak pernah sama lagi. Hubungan kami jadi dingin, canggung, bahkan hambar. Memang, getaran-getaran itu masih ada, tapi entahlah karena hubungan kami seperti kehilangan greget. Pada 2009, menjadi momen di mana saya putus dengan Juve.
Kami memutuskan untuk jalan masing-masing. Saya amat sulit move on dari Juve. Saya tidak memilih gadis lain. Tidak pernah ada getaran yang berarti buat saya. Lalu, momen itu muncul pada 2 Mei 2009. Untuk kali pertama pulalah saya merasakan getaran hebat dalam hati.
Mulut saya menganga melihat gadis cantik itu mempermainkan saingannya dengan skor gila 6-2. Padahal itu adalah pertandingan penting dan maha-ketat di kelasnya. If love at first sight is exist it happened to me that night. Satu-satunya cinta pada pandangan pertama dalam seumur hidup saya. Sejak saat itu, saya mulai aktif melakukan pendekatan pada gadis asal Catalunya, Spanyol, ini.
Sepanjang 2010 menjadi tahun paling aktif bagi saya melakukan pendekatan. Awal 2011 saya memutuskan berhubungan dengan Barca. 28 Mei 2011 menjadi puncak keindahan moment kami berdua. Saya semakin dibuat mabuk kepayang dengan caranya menjadi juara Eropa. Ia adalah titisan keindahan Ilahi.
Saya barangkali disebut berlebihan jika membicarakan malam itu. Namun, apa yang Barca tunjukkan pada malam itu memang amat berkelas. Saya meyakini bahwa ini adalah cinta yang sejati.
Bertemu di Berlin Orang bilang cinta pertama mau bagaimanapun akan selalu yang paling kita ingat. Bayang-bayang cinta pertama saya mulai membayang sejak 2012. Mantan kekasih saya kembali menjadi yang terbaik di kelasnya, bahkan sampai tahun ini dia masih yang terbaik, bahkan dengan cara yang semakin baik. Kabar tersebut mulai mengusik saya untuk mencari tahu kabarnya.
Tak mungkin saya bisa menghapus kenangan indah saya dengan Juve, gadis kalem yang saya bela saat indahnya menjadi yang terbaik maupun ketika suramnya diusir dari kelasnya. Perasaan saya buat Barca masih 100%. Ia bisa menunjukkan kualitas terbaik di manapun ia berada.
Anehnya, mantan pacar saya pun melakukan hal yang sama. Bahkan, aksinya tahun ini membuat saya teringat doa-doa saya yang dulu selalu saya panjatkan untuknya. Tahun ini, doa tersebut bisa menjadi kenyataan. Pikiran saya bergejolak. Akan tetapi, sudah menjadi suratan takdir bahwa yang akan menghalangi Sang Mantan untuk menyempurnakan doa tersebut adalah adalah Sang Kekasih saya sendiri saat ini.
Siapapun di antara mereka yang menang akan menjadi yang terbaik pada tahun ini. Ada rasa senang yang luar biasa, tapi ada juga rasa bimbang dalam waktu yang sama. Jika Barca menang, sudah tentu kami akan berpelukan dengan perasaan berbunga-bunga. Tapi sebaliknya, saya juga tidak akan menolak mengulurkan tangan saya dan menyunggingkan senyum untuk memberikan selamat kepada Juve jika ia yang menjadi juara.
Yang jelas sebagai pacar yang baik saya akan berada di belakang FC Barcelona pada 6 Juni 2015, akan tetapi dalam hati, siapa yang tahu? Siapa tahu tersembul doa yang sama yang selalu saya panjatkan dahulu.
Pai
(Kami sadur dari panditfootball dan melewati editorial tanpa mengurangi esensi tulisan dari penulis, Mahesa Desaga)