"Aku tidak lagi mengenalmu!".
Kalimat singkat, namun sangat jelas pesan yang disampaikan. Tatapan tajam tampak terlihat dari pantulan cahaya kendaraan lalu-lalang di luar sana. Sekali lagi, kalimat lain terujar;
"Aku kehilangan kamu yang dulu".
Aku bisa apa setelah mendengarnya? Menyadari jelas sebuah pengakuan. Tindakanku? Hanya diam. Tanpa melakukan apa-apa dan berhati-hati menyuarakan kata. Bukan kah membisu pun sebuah perbuatan? Ku rasa iya, dan paling bijak yang harus dilakukan.
Malam itu, malam terburuk dari puluhan malam indah yang selalu kita tinggalkan menjadi bait cerita di masa nanti, sampai ku berpikir "Ini akan berakhir". Penjelasanku kau abaikan, kau tetap patuh dengan pikirmu kalau lah aku tak lagi ubahnya pelindungmu.
Semua ekspektasimu kau bilang hancur karena kadung terlalu erat ku menggenggam tanganmu, padahal kulakukan sekadar agar kau jangan pergi tanpa syarah. Kusisakan jeda untuk menurunkan ego, menghela napas, lalu mengubah duduk. Ketika sedikit lebih tenang, amarah tertahan, kemudian ku mulai menjelaskan. Ku katakan jika rinduku candu padamu.
Sayang, harusnya kau tahu bahwa, aku begitu karena rindu yang sudah menganga tak lagi harus kudiamkan. Ke mana lagi ku harus lampiaskan rinduku, kalau rindu itu untukmu? Namun, agak-agaknya, dari kecewamu tak lagi ada kuasa harus memaksa.
Sayang, aku rindu saat kau alpa tanpa temu, atau ketika telingaku tak mendengar nada suara. Aku rindu perhatianmu, aku rindu khawatirmu, kita saling berkabar setiap sela, berbalas kata canda, hingga berbalas kata cinta. Semua yang sudah menjadi kebiasaan.
Tapi, awalnya kudiamkan saja kau mau apa. Kupikir, biarlah semua menjadi sebuah tanya, yang akhirnya tumbuh menjadi gelisah. Tak ada lagi di depanku "dia" yang harus kujaga demi suatu amanah. Apa yang kurasakan persis dikatakan Greta "Gerbo" Lovisa Gustafsson, pelakon dari negeri barat.
"Apakah ada yang lebih baik daripada merindukan sesuatu, ketika kamu tahu itu dalam jangkauan?".
Begitulah aku, yang dipaksa merindukan dia yang seharusnya bisa kujumpai kapan pun.
Hanya saja, ingatlah sayang, "Tidak ada kegelisahan jika tidak ada sesuatu yang salah", itulah aku sekarang. Aku ingin pergi biarpun memaksa diri kehilanganmu yang kurindu. Dari semua sangkaanmu, jika kau sadari pula, semua bermula dari dirimu sendiri, dan kubiarkan pikirmu liar.
Keesokan hari kau balas kisahku dengan sepucuk surat. Ada yang berbeda dari surat-surat yang sudah kau kirimkan, yang kemudian setiap cariknya kusimpan dengan baik. Cukup panjang isinya, namun kali ini tak lagi ada kata manis, yang ada hanya kata sinis jika aku pergi karena kau pikir aku bahagia. Tidak demikian sayang, aku pergi karena memaksa karena kau telah sara.
Kemudian, kita mencoba diri bersikap dewasa, dengan temu menghilangkan ego untuk berdamai, agar kita kembali memulai. Kita sepakat jika tak lagi ada luka yang harus disisa, membiarkan bahagia dan tawa kembali pulang di mana seharusnya "dia" ada.
Tetapi,
Rupanya belum juga. Kau masih saja dingin ketika kita bertukar kata di chatting. Tidak lagi ada semangat membuat perbincangan jadi hangat, justru suasana yang masih (saja) picik, dan membalas hanya sekadar agar tak terlihat hilang. Sebenarnya, apa maumu, sayang? Jika ingin usai, katakan saja. Jika masih ada rasa itu, kembalilah!
RGA