Bertahun sudah letih ini kujalani, kulalui hari demi hari dengan noda yang menghantui. Biarlah kusimpan rapat dalam hati, sembari berharap akan hilang suatu hari nanti.
Tak seperti anak-anak biasa dengan senyum dan tawa lepas saat bermain ayunan di taman, tengah komplek. Semenjak kecil hingga beranjak remaja, mendongakkan wajahpun aku tak berani. Mengunci pintu ditemani boneka barbie hadiah ulang tahunku yang ke-5 pemberian dari ibu, adalah hobby yang terus kujalani sepulang sekolah.
Seperti juga di dalam kelas, meskipun tak pernah luput dari peringkat tiga besar kelas, aku tak setenar teman sebangku ku Sisca yang hanya menonjol saat mata pelajaran seni suara, itupun karena aku selalu absen jika diminta Ibu Guru maju ke depan kelas. Walaupun bila dibandingkan dengannya, getar pita suaraku jauh lebih jernih.
"Yah, andai saja kau berani tampil di depan kelas waktu itu, Calista.." gumamku dalam hati.
Memasuki bangku SMA, ingatan masa kecilku belumlah hilang dari kepalaku. Meskipun banyak orang menganggap paras wajahku seperti artis Alyssa Soebandono yang memiliki lesung pipi dalam sinetron televisi, selalu kutolak beberapa teman pria yang mendekatiku.
"Jangankan berteman, mengajak ngobrol saja aku langsung lari menghindar" ucapku lirih.
Sosok pria bagiku adalah harimau yang mau menerkam dengan taring dan kukunya yang panjang.
Kutemukan Pahlawanku
Menyelesaikan bangku sekolah, kulanjutkan kuliah dengan jalur beasiswa dan diterima di sebuah perguruan tinggi ternama. Jurusan Hukum Pidana aku ambil, dengan harapan bisa membalas semua kenangan hitam yang selalu menyertaiku.
Semua tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Advokasi Masyarakat, selalu kukerjakan dan selalu menjadi yang nomor satu.
Hal sekecil apapun, jika itu berarti bagi kita adalah menjadi hal yang sangat luar biasa.
Seperti yang terjadi padaku, ketika jalan pulang ke kost usai mengikuti kuliah malam.
Ketika lewat gang sempit menuju pertigaan jalan, serasa ada orang yang mengikutiku. Semakin cepat aku berjalan, semakin cepat pula suara langkah di belakangku.
Akupun berlari dengan langkah seribu dan kucengkeram tas jinjing berisi buku agar tidak lepas. Seketika itu juga ingatan saat kecilku kembali muncul, keringat dingin dan dadaku yang semakin berdegup, serasa ingin berteriak. Tak sanggupku mampu berlari lagi, akupun berhenti terduduk di tengah jalan.
"Jangan...jangan...saya minta tolong...jangan" pintaku sambil menangis seperti waktu itu.
Seorang pria dengan tubuh agak gempal itu berhasil menghampiriku. Dengan nafas yang tersengal-sengal karena lari mengejarku itu, ia berkata:
"Huft...huh...huh...maaf aku cuma mau kasi tau...huh....huh...dompetmu tadi terjatuh, dan aku mau mengembalikan padamu" serunya.
Sambil memegang saku bagian belakang celana kremku yang memang terasa kosong, dan masih belum kering air mata yang sempat jatuh, akupun meminta maaf kepadanya.
"Maaf aku kira......" tanpa aku jelaskanpun dia pasti paham.
"Ya, tidak apa-apa" sahutnya.
Diapun memperkenalkan diri sambil membantuku untuk berdiri.
"Namaku Zacky, aku kuliah jurusan teknik" jelasnya.
Entah apa yang membuatku tertegun, setelah sinar lampu penerang jalan menyorot ke wajahnya. Harimau yang aku takutkan dulu, kini berubah menjadi kucing yang manis.
Hubunganku dengan Zacky pun berlanjut, terlebih Fakultas tempatnya kuliah hanya terpisah dengan jalan selebar 6 meter dari kampusku. Hubungan itu juga membuat masa laluku semakin pudar.
Dia terima aku apa adanya
Hal tak terduga terjadi saat Zacky mengajak makan saat kami berdua tidak ada kuliah malam itu. Usai menyantap makanan yang disajikan, tiba-tiba Zacky menyatakan perasaannya kepadaku.
Rasa senang bercampur bingung yang ada dalam hatiku. Yang aku takutkan, Zacky tidak bisa menerima keadaanku. Tanpa memberikan jawaban, akupun langsung permisi meninggalkan warung makan yang sangat terkenal bagi warga sekitar itu. Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk menghindar dari Zacky.
Berapa kali Zacky menghubungiku lewat ponselnya selalu kumatikan. Pesan singkat yang dikirimnya juga tidak pernah aku balas, yang pada akhirnya dia menemui di kost tempat aku tinggal.
Di teras berukuran tiga kali empat meter, Zacky menanyakan kenapa aku selalu menghindar. Iapun ngotot dan membutuhkan jawaban atas ungkapannya padaku.
"Bang aku bukan orang yang tepat untuk abang. Calista tidak pantas bang..." jelasku terisak-isak.
Akupun menceritakan kepadanya penderitaan yang kualami disebabkan oleh tetanggaku. Aku tidak berani menceritakan kepada siapapun karena diancam, termasuk kedua orang tuaku. Biarlah trauma ini aku tanggung sendiri dalam hati meskipun terus menghantui setiap menjalani kehidupan.
Meski sempat hening beberapa waktu, sambil memeluk dan mendekap kepalaku di dadanya, dengan bijaksana Zacky pun berkata:
"Semua orang pasti punya masalah dan ceritanya masing-masing...biarlah itu menjadi kenangan. Tinggal bagaimana kita mau jalani kehidupan ke depan, aku terima kamu apa adanya".
Sambil menangis akupun berkata dalam hati dan semakin erat memeluknya "Kamu bukan hanya menemukan dompetku saja, tetapi kamu telah berhasil membuka hatiku, menolongku dari semua penderitaan ini, menghilangkan segala pikiran yang menggangguku selama ini, bahkan membuka lembaran baru bagiku....Bang... meskipun kamu menolong aku bukan seperti super hero di film-film ..... You're still my Avenger...".
ML