Entah berapa caci kemudian maki yang saling silang marut dari mulut. Entah berapa serapah yang keluar tanpa terpapah. Dan entah berapa seru benci yang tersirat dari hati. Namun semua bak layung yang tak mau layu.
Aku dan dia selalu hiasi hari dengan beragam rupa sifat sahaya. Ada masa rindu, kadangkala benci, lalu tersilap sayang, namun tak jarang perang menentang.
Aku dan dia tak pernah peduli bahwa hasad dan hasut adalah kata bodoh dari tikai dan tikam. Merahpun darah, pedihpun luka, kami berdua tak peduli. Jika sayat mulai menganga, maka pantang untuk tak membalas murka.
Aku dan dia senang berbagi peran, layaknya pipit di pundak kerbau. Mematuk tapi tak menyayat. Meninggi tapi tak terjatuh. Melompat tapi tak tersilap. Kami tak ubah dua insan yang berdansa dengan perih.
Aku dan dia kadang bercinta namun sering lupa kata bahagia. Kerap sisipkan kerasnya kepala di antara lembutnya rasa. Bahkan tak jarang air mata suka bercampur linangan luka. Kami memang seaneh genangan ombak lakunya senja dikhianat fajar.
Aku dan dia memang sering tak seiring. Maunya beriring tapi saling tuding siapa yang akan menggiring. Maunya satu tujuan tapi tak mau tahu kapan harus berjalan. Kami tak ubahnya layang-layang yang bingung saat melayang.
Aku dan dia tak mawas jika ingin saling awas. Sering mencari ribut hingga salah satu jadi kalut. Berlaku bodoh dengan tergopoh-gopoh, sampai tak sadar duka membuat luka. Cemburu kadang menggebu. Entah siapa yang durja.
Aku dan dia tak pernah lupa untuk saling membantah. Sulit mencari celah untuk seiya sekata. Walau kadang pedang terhunus di depan muka, kami tetap sepasang manusia yang tak mau mengaku lelah apalagi terucap mengalah.
Tapi...
Aku dan dia.
Kami punya sesuatu yang mahluk lain tak punya. Kami punya janji yang terukir kuat di dalam sekat. Itu adalah yang kami sebut 'kotak'.
Sebuah kotak yang aku dan dia simpan laksana harta yang tak siapapun mampu menakar harga. Sebuah kotak yang hanya aku dan dia mampu membuka lalu menutup.
Aku dan dia pandai melukis asa kala bertamu ke kotak. Seribu kata durja tak mungkin bisa menyilap satu ucap sayang. Jika aku dan dia telah tiba di pintu muka kotak, maka lepaslah semua lara, hilanglah segala paksa, sirnalah segenap lirih.
Aku dan dia sepakat, kala cinta memanggil di antara seramnya perdebatan, kotak kami adalah tujuan. Rumah untuk aku dan dia pulang kembali usai saling membenci dengan jutaan kata maki. Karena kotak itu adalah satu-satunya alasan aku dan dia masih saling memegang janji di antara belukar caci.
Aku dan dia mengukur serta mengukir janji akan menjaga kotak ini sampai satu di antara kami mati. Persetan pekerti manusiawi, kami tetap berdiri tanpa perlu meniti dengan hati-hati. Bukankah kami punya hak? Kami layaknya dayung yang sudah di tangan, perahu sudahpun di air.
Aku dan dia mempersilakan menjejak saling murka, karena curang nyata adanya, tapi kami tetap teguh dalam kotak.
Tak peduli pada mahluk Tuhan yang tak tahu dan tak perlu juga paham apa yang kami punya, karena kotak ini bukan untuk dimengerti.
Aku dan dia sudah mengikat erat semua janji tanpa ada luka laknat itu ke dalam kotak. Telah kami nakrifkan semua pengorbanan, jiwa, raga, manis, pahit, suka, duka, hitam, putih, semua kami rekat erat dan simpul rapat di dalam kotak.
Dan kotak itu kami beri nama "Aku masih sayang".
Penulis: Pai