Culture


Senin, 04 April 2022 09:59 WIB

Story

Pengagum Baru Perang Ketupat

Koar-koar sudah mulai sampai ke telinga. Sebagai putra daerah yang lahir dan besar di daerah kepulauan, berita sangat mudah menyebar. Komunitas-komunitas daerah Bangka Barat membagikan grafis di media sosial, berisikan ‘Perang Ketupat dan Sedekah Ruah’. Cukup disayangkan, 20 tahun hidup di sini tapi belum pernah menyaksikan perhelatan adat tahunan yang masuk ke Warisan Budaya Tak Benda Nasional. Menarik. Terjadwal, acara tersebut akan diadakan Minggu, 27 Maret 2022, pukul 09.00 WIB. Oke, siapkan kendaraan, ajak teman, kita jalan.

Aku sukses menculik Andi untuk menemani. Ku janjikan makan siang untuk membungkam rengekannya untuk menolak. “Ngape kek ku geh. Jauh oi, males bener ku kah,” jelas Andi.

"Ka lum sua ningok Perang Ketupat ge kan. Lah duduk diem,” balas ku. 

1 setengah jam perjalanan menyupir, ku habiskan untuk tenggelam dalam musik, Andi? Molor. 

Maps yang kugunakan mulai menunjukan tanda-tanda, kami sudah masuk ke daerah Tempilang. Baru kali ini ku lihat penampakan Kampung Tempilang saat akan Perang Ketupat. Aku kaget. 

“Andi,” panggilku. “Ndi bangun ndi. Andi bangun luk!,” panggilku sambil menampar pipinya. 

“Hmm, ngape?,” Andi yang sedang kebingungan menatap aku dengan mata merahnya. 

“Laen ge Tempilang ne, kok ramai bener. Sepanjang jalan ade mubil. Urang lewat ge banyak. Masak gale urang ne nek nonton Perang Ketupat bai,” ungkap ku.

“Ka namper ku kek nanyak ya bai? Saket ati ku, eh pipi ku ne. Urang Tempilang ne tenga rayo,” jelas Andi. 

“Hah? Rayo? Kan agik bulan depan?,” tanya ku lagi. 

“Ka ne bulak Urang Bangka. Cem ya ge dak tau Lebaran Ruah men ku dak salah. Dek paham lah ku, pokok e lebaran lah. Jangan salah ka, lebaran ruah kadang lebih heboh dari pada lebaran Idul Fitri kelak,” jelasnya. 

“Ku tau ade rayo-rayo laen tu. Tapi sekedar tau bai, dak apal di mane lokasi e,” ungkap ku. 

Jalan yang sempit dan halaman rumah yang tidak terlalu luas menampakkan semua kendaraan. Kendaraan para tamu dan pemilik rumah mau tidak mau diparkir di pinggir jalan (yang hampir memakan seperempat aspal). Mobil semua merek ada, kecuali mobil dua pintu dan rubicorn. Ku perhatikan lagi memang masyarakat rata-rata menggunakan pakaian bagus. seperti tidak biasa untuk dikenakan sehari-hari. Fix ini lebaran sih. 

Sesampainya di lokasi Perang Ketupat, aku langsung parkir dan turun dari mobil sembari meregangkan badan. Walau cenderung lancar, tetapi tetap saja perjalanan 1,5 jam membekukan pinggang. Aku dan Andi akhirnya masuk ke area perang ketupat di Pantai Pasir Kuning. Terlebih dahulu dilakukan pengecekan vaksinasi, area perang ketupat hanya diperbolehkan masuk oleh orang yang telah divaksin.

Jam digitalku menunjukkan pukul 09.00 WIB tepat. Kami sudah berada di area perhelatan akan diadakan. Sebuah panggung berdiri setinggi 3 meter, kemudian area perang ketupat yang cukup luas, perkiraanku, itu lapangan berukuran 10 meteran. Lalu ada tenda untuk penonton dan tamu undangan. Kami duduk dan menanti acara dimulai. 

Antusiasme warga lokal memang luar biasa, 2 tahun acara tertunda cukup membuat mereka rela melalui perjalanan panjang dan menunggu. Mereka yang tidak dapat kursi di bawah tenda, duduk di mana saja asal tidak kepanasan. Bawah pohon, tebing jurang, bawah panggung, dekat mobil, asal satu. Terik matahari tidak menusuk kepala.

Masih belum ada tanda-tanda acara dimulai. Ku tanya orang bangku sebelah, ‘acara ini kapan mulainya?’, mereka bilang masih menunggu tamu undangan. Oke, bersabar sedikit lagi. 

Tak lama, yang ditunggu pun datang, katanya mereka pejabat-pejabat yang berkontribusi untuk mengadakan perhelatan Perang Ketupat. Narasi sambutan cantik ala pejabat pun dibacakan, mereka bergantian naik ke atas panggung. Ku rasa belum penting, saat nya buka handphone dan tenggelam dalam media sosial. Cekrek cekrek tandai lokasi, posting, jemaah generasi menunduk harus tau aku sedang apa. Ku hitung-hitung 1 jam lebih aku mendengar ucapan monoton mereka. 

“Saatnya kita mulai acara inti,” ucap MC. Aku yang sedang menunduk langsung tersentak. Penonton di bangku depan sudah berdiri menyaksikan acara. Orang-orang di barisanku tidak mau kalah. Kami berdiri di atas kursi. Cakep. 

Di sesi pertama ku lihat ada 4 bibit pohon setinggi 1,5 m yang dirangkai berbentuk segi empat dan digantungi beberapa ketupat di setiap sisinya. Terlihat 10-an pesilat duduk mengelilingi pohon tersebut dan membacakan doa. Ritual adat perang ketupat akan dimulai dengan Ngacak yang dipimpin oleh Datuk Kemang yang akan berlangsung bersamaan dengan Tarian Serimbang. Tarian ini terinspirasi dari melihat burung-burung yang beterbangan. 

Selanjutnya ditampilkan Tarian Kedidi. Tidak jauh berbeda dengan Tari Serimbang, Tari Kedidi juga terinspirasi dari burung, namun bedanya Tari Kedidi terinspirasi dari 2 burung kedidi yang sedang berkelahi di pinggir pantai, karenanya tarian ini tampak seperti 2 pesilat yang sedang berkelahi sungguhan. Kemudian ditampilkan pula Seramo atau Ganda.

Usai penempilan tarian, dibacakanlah pantangan dukun. Pantangan ini dibacakan dengan bahasa daerah setempat dengan menggunakan nada khas nya. Aku yang mendengar berupaya menerjemahkannya dalam kepala, yang samar-samar bisa kupahami, antara lain jangan melaut selama 3 hari 3 malam, jangan menjemur baju di depan pagar, jangan bersiul di sepanjang jalan selama 3 hari 3 malam. Hanya ini yang ku ingat.

Kegiatan dilanjutkan dengan doa arwah, tahlil, dan tolak bala. Penonton tidak dipaksa untuk ikut berdoa bersama. Aku hanya menonton beberapa pesilat itu menundukan kepala, salah satu di antaranya ada yang pingsan. Kemudian bibit pohon tersebut dipinggirkan dan di tengah panggung diletakkan ketupat di sisi yang dekat laut dan di sisi darat. Tampak pesilat ini juga duduk bersila di kedua sisi laut dan darat menghadap ketupat. 

Selanjutnya, ku saksikan 2 orang bercakap-cakap bersautan. Tentu dengan bahasa daerah setempat dan lagi-lagi yang tidak terlalu aku pahami. Intinya mereka bardua berdebat yang dapat memicu perkelahian. Usai syair dibacakan, ketupat dilemparkan ke lawan. Kubu laut melempar ke darat dan kubu darat melemparnya ke laut. 

“Nah, ne perang ketupat,” jelas Andi.

Aku cukup terkesima dibuatnya. Tradisi yang dijaga turun temurun 200 tahun. Mampu memancarkan emosinya tersendiri. Runtutan dari tari-tarian, doa, hingga klimaks acara mereka saling melemparkan ketupat yang sudah disediakan. Ketupat ini tentu sudah lama berada di suhu luar ruangan, jadi terbayang bagaimana kerasnya ketupat itu ketika terlempar ke badan manusia. 

“Bagi yang mau mencoba, kami persilahkan bagi 15 orang di sisi darat dan 15 orang di sisi laut,” ucap MC. 

“Ndi, yo,” ungkap ku tegas. 

“Yo,” kata Andi. 

Kami berdua maju ke hadapan panggung. Aku berdiri di sisi darat, ku lihat Andi berada di sebelah ku. Kami di sisi yang sama. 

“Dak seru men sebelah cem ni. Ka depan ku gi lah. Lah lama emang ku nek nyari perkara kek ka,” ujarku sambil cengengesan. Aku sedang berupaya untuk jujur. 

“Nue ka bejik kek ku o. Yoo sape takot,” balas Andi tanpa ragu. 

Akhirnya aku di sisi darat dan Andi di sisi laut. Ketika aba-aba mulai, aku langsung melemparkan ketupat tepat ke arah Andi. Andi terbelalak, sontak mengambil ketupat, tapi sebelum melemparkannya ke arah ku ia terlebih dahulu dilemparkan ketupat dari arah antah-berantah. Aku tertawa terbahak bahak melihatnya kebingungan. Andi langsung melempar ketupat ke arah ku. Eits, tidak semudah itu ferguso. Aku berhasil menghindar. Kali ini ku ambil ketupat dan ku kantongi 2 ketupat lainnya. Yak ketiganya ku lemparkan ke arah Andi secara beturut-turut. Entah kenapa ketika di arena aku langsung teringat kejadian-kejadian yang membuat aku kesal kepadanya. 

Lempar ketupat pun selesai. Aku tersadar. Lemparan Andi sama sekali tidak ada yang mengenaiku. Tapi ada ketupat yang mengenai badan ku. Ku selesaikan kegiatan ini dengan tawa. Kami selesai. Bersalam-salaman agar tidak ada dendam. 

“Seru boy ok,” ungkap ku.

“Aok sih, tapi bengep lah badan ku men cem ne,” kata Andi. 

Di perjalanan kami kembali dengan mengulang cerita runtutan ritual Perang Ketupat. Sepertinya aku akan berkunjung lagi tahun depan. Dan mungkin tahun depan yang menemaniku bukan lagi Andi, tapi teman kerja mengesalkan lainnya. 

NTA


#Perang Ketupat
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur