Karmila namanya. Kulitnya tak pula putih. Sedikit sawo matang tapi halus dan bersih. Tawanya sungguh bikin sejuk. Gigi gingsul di bagian graham membuat senyum Karmila makin mempesona. Andai mampu ku miliki dia, mungkin aku pria termujur di dunia. Sayangnya, Karmila adalah ibu dari dua anak.
KARMILA selalu jadi impianku sejak lama. Bahkan namanya pernah ku tuliskan di meja sekolah. "Aku vs Karmila". Di jamanku yang tak ada media sosial, meja adalah sasaran mengungkap mimpi tanpa perlu basa-basi.
Karmila anak Pak Lurah. Tanah bapaknya banyak. Ada lapangan bola di kampung kami yang punyanya Pak Lurah. Tiada siapapun yang berani dengan bapaknya Karmila.
Jangan bermimpi untuk datang malam minggu sekadar minta dibuatkan kopi, karena Pak Lurah selalu punya cara supaya tak ada pemuda desa yang bisa menemui Karmila. Karmila anak kesayangan, dan satu-satunya dari istri pertama Pak Lurah. Istri keduanya, tak punya keturunan. Maka, Karmila adalah permata di tengah sawah.
Pernah suatu ketika aku bertemu Karmila, di pesta tujuh belasan. Karmila pakai gaun merah muda. Rambutnya yang hitam panjang dia biarkan terurai dihempas angin. Kadang sesekali terselip beberapa helai di bibir tipisnya, ia singkirkan dengan lembut.
Dari kejauhan aku cuma bisa memandangnya. Makin lama ku pandang, Karmila seakan tak punya cela. Ia begitu sempurna.
Aku beranikan diri mendekati. Terserah bagaimana caranya, yang penting Karmila sadar aku ada. Ku dekati ia, lalu ku sodorkan koran bekas.
"Mil, nih ada berita bagus, ada lomba di kota. Bacalah, ini ku siapkan untukmu dari kemarin," kataku, dengan suara terbata-bata dan bergetar karena khawatir kalau-kalau Pak Lurah mendengar.
"Terima kasih, Mila baca nanti, ya," jawab Karmila dengan tatapan yang takkan pernah ku lupa, hangat, sejuk, bahkan terasa panas, semua jadi satu.
Lomba di koran itu adalah lomba memasak. Karmila sangat hobi memasak. Karmila harus ikut. Dan aku berharap, aku dipilihnya untuk menemani hingga ke sana.
Sewindu berlalu setelah hari itu, Karmila tak pernah lagi terdengar kabarnya. Tak pernah sekalipun orang kampung yang pernah melihat Karmila. Bahkan, Pak Lurah menjadi setengah gila dan meninggalkan jabatannya karena setiap hari menanti sang buah hati, namun tak kunjung kembali.
Karmila seakan mati ditelan bumi. Pak Lurah telah bersusah payah. Pak Lurah patah hati. Melati yang ia jaga siang dan malam, melati yang ia rawat dalam dekapan kasih sayang, justru hilang di saat waktunya untuk dipetik.
Tiba-tiba, tepat di hari kegiatan keramaian kampung, muncul sosok yang dirindukan. Rambutnya dikepang, tangan kirinya menarik koper, tangan kanannya menggandeng 2 bocah. Baju mereka terlihat lusuh, kaki bocah-bocah itu hanya diselipkan sandal tipis. Yang paling kecil masih memegang botol, sesekali menyeka hidung. Dia Karmila! Dengan 2 bocah!
Semua mata memandang tanpa henti. Nyaris tak satupun yang mampu bicara. Bahkan, tak kuasa untuk berbisik. Bunga desa itu kembali, tapi dengan kondisi yang tak pasti. Mengapa dia? Siapa yang dibawanya? Ada apa dengan dia? Mungkinkah itu Karmila? Ya! Itu masih Karmila, gingsul di gigi grahamanya menandakan itu adalah Karmila, sang bunga desa yang sewindu hilang entah ke mana.
"Karmila,"
Aku berusaha memanggil.
Karmila hanya lurus berjalan, ingin segera pulang ke rumah Pak Lurah yang tepat di sebelah lapangan bola tempat keramaian berada.
Tak satupun yang tahu, semua itu jadi misteri hingga kini. Dan setelah hari itu, Karmila tak tampak lagi. Hanya dua anaknya yang ia titipkan di sini. Karmila pergi lagi dan tetap meninggalkan rasa rindu tak menentu di hatiku. Walau ku tahu, istriku tahu.
Karmila, maafkan aku, karena pertemuan hari itu, dan karena koran hari itu membuatmu menjadi begini. Aku salah. Maafkan aku, izinkan aku menebus ini di manapun kamu berada. Karena aku masih rindu.
Penulis: PAI