Maafkan Aku, Sepiku Ada Yang Menemani
Sebelum masuk kamar mandi, aku berusaha menyembunyikan ekspresi terkejut. Saat dia mengatakan sesuatu. Ada hal yang benar-benar belum ingin ku sampaikan. Lalu ia mengerti. Dan malam itu kami tetap dalam damai. Entah untuk berapa lama.
"I Miss You so much," ini sudah lebih dari 2 kali ku ungkapkan kepada lelaki ini. Entah kenapa bulir-bulir rindu kepada lelaki ini tak bisa ku bendung. Selalu ada saja hal yang membuat rindu. Entah itu aroma rokoknya, atau celetukan nakalnya yang membuat hari-hariku lumayan penuh canda. Ya.
Setiap detik kami menghabiskan waktu, kami layaknya dua orang yang jatuh cinta, tapi dalam waktu yang bersamaan begitu banyak perbedaan kami. Kadang kami berusaha berdamai dengan perbedaan. Namun ego dan keras kepala tetaplah menjadi panglima. Begitu banyak caci-maki kadang kami lontarkan hanya karena berbeda pendapat tentang judul film. Receh memang, tapi begitulah kami. Semakin kami ingin menyusut perbedaan, semakin besar jurang yang kami buat.
Lelaki bangsat ini seperti manusia yang tak punya empati. Walau ku akui, caranya menyodorkan cinta sangat berbeda dengan kisah-kisah lamaku. Lelaki ini punya segudang 'topeng' diri. Kadang dia menjelma menjadi sosok malaikat. Tapi bisa langsung berubah menjadi sosok yang bengis. Bukan, lelaki ini bukanlah orang yang jika marah melukai fisik. Tidak.
Tapi lebih parah. Jika marahnya sudah membeku, maka kata-kata dari bibirnya sangat menyayat. Lebih pedih daripada diterik sembilu.
Tak terhitung perjumpaan kami. Tak terhitung pula kemarahan, kekesalan, kepedihan dan kesusahan yang dia dan aku rasakan. Semakin hari kami berdua semakin menjadi manusia yang sensitif. Ku kira karena semakin saling mencintai.
Selalu ada pertengkaran hebat setiap malam. Kami mulai merasakan rumah itu tak lagi sejuk untuk kami. Pertengkaran yang awalnya besahut kata, semakin hari semakin membuat kami patah arang. Kemudian kami saling diam. Kadang di sepertiga malam kami masih menyibukkan diri dengan handphone masing-masing. Kami dekat namun tanpa kata.
Lelaki ini memang manusia yang entah di mana ia menaruh empatinya. Kata maaf adalah kata mahal baginya. Tak pernah sekalipun ia mengucap maaf setelah membuat sakit. Ia hanya diam. Lalu esok datang seakan tak pernah membuat salah. Kami mulai tak menentu berjalan.
Di antara kami yang tak pernah lagi mesra. Di antara kami yang mulai tak saling peduli, aku akui mulai tergoda untuk membuat lelaki ini merasakan apa artinya sakit.
Aku mulai tergoda untuk memalingkan rasa. Sesekali aku 'nakal'. Aku cuma ingin dia merasakan apa yang aku rasakan. Tak lebih sebetulnya. Tapi entah kenapa godaan itu semakin hari semakin besar, kami mulai memproteksi handphone. Kadang setiap malam menjelang, aku mematikan dering agar dia tak curiga. Diam-diam kadang aku mencuri waktu.
Ternyata kami memang benar-benar telah di ujung rasa. Tak ada usaha dan upaya kami berdua untuk menyatukan lagi asa yang pernah kami rajut silam, saat awal bertemu. Kami mulai jauh.
Aku sangat mengenal lelaki ini. Jarang sebenarnya aku berusaha mengenal lelaki sedalam aku ingin mengenal dia. Aku sangat mengenal dia. Di antara sifatnya yang keras kepala, egois, ingin menang sendiri, diktator, sebenarnya dia adalah pria rapuh. Kebengisan yang ia tampilkan adalah ketakutannya kepada hidup. Dia pria rapuh dan harus selalu ku sayangi.
Namun bukannya aku terlalu jahat telah tergoda dengan lelaki lain. Aku masih menyayangi lelaki ini. Namun, entah kenapa sayang yang ku rasakan bukan lagi sayang seorang kekasih. Tapi aku menyayangi dia karena aku tahu dia rapuh.
Aku mengkhawatirkan hari-harinya saat di sampingku, sementara hati dan pikiranku kepada lelaki lain. Sentuhannya tetap ku rindukan. Tapi aku khawatir ia tahu. Maafkan aku, tapi ini karena kita terlalu percaya diri, hingga kita lupa, selalu ada prahara di setiap hidup bercinta. Dan kita tak siap untuk itu. Kita membuat semuanya menjadi rumit.
"Aku kerumah ya, setelah pulang dari kantorku," Itu kalimat yang sudah jarang aku terima di WhatsApp maupun Telegram. Dia kadang datang sekena hati. Tak lagi saling mengabari. Datangpun dengan murka. Selalu begitu.
Ingin rasanya di depan mukanya ku katakan dengan tegas, "I miss you so much," Tapi kamu pergi dan datang dalam keadaan curang. Hai lelaki, bisakah kita duduk sebentar seperti dulu? Ada yang ingin ku sampaikan tentang aku dan kamu... (Bersambung)
Penulis: Frisia
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian/cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan)