Culture


Minggu, 13 Maret 2022 10:52 WIB

Story

Anakku, Penyampai Rindu Terbaik

MALAM itu terdengar suara tangis dari kamar sebelah. Tak begitu keras, namun cukup membuat cemas. Kalimat tanya tercelik dibalik gumam. 

"Hhmmm... kenapa dia?" Begitu diri membatin. 

Kopi yang baru saja ku aduk belum juga diseruput, kucukupi. Bergegas melihat memastikan jawaban gumam barusan.

Sibak tirai merah kehitaman terlihat di balik pelupuk. Benar itu suaranya. Namun tak ada pesan pasti untuk tahu apa maunya. Hanya bisa terpana sembari harap aku bisa melakukan apa saja asal tangis itu usai. Bukan memaksanya untuk berdamai dengan tangis, hanya ingin melihatnya tenang tanpa kusaksikan siksa. Tak sanggup untukku hanya menyaksikan tanpa ada ulah.

Kusentuh kemudian dahinya yang masih begitu halus. Kurasakan oleh punggung telunjuk. Sesaat kupikir;

"Tak wajar suhu ini". 

Gelisah mulai beranjak, sana-sini kutanya selaiknya ingin diajarkan. Masuk diakal semua masukan. Kopi yang tadi tampaknya nikmat kuabaikan saja, yang kupikir hanya bagaimana menurunkan tinggi suhu tubuhnya. Bergegas ku mencari apa yang orang bilang, barang yang sederhana sekali, tetapi harus kudapati, karena dia orang yang kucintai.

Pencarianku selesai. Ku tengok tanda waktu dilayar ponsel menunjukkan jam 22.32 (Waktu barat Indonesia). Setengah jam kemudian tiba kembali di persinggahan. Sedikit membaca dan kupahami, kemudian kutempelkan penawar yang sudah dianjurkan tadi ke keningnya. 

Hilang rewelnya entah itu kapan, entah karena apa dia berhenti? 
Karena selesaikah 'siksa'nya, atau sudah terlampau lelah?
Semua menjadi pertanyaan yang melengkapi gundah melihat matanya tertutup membisu.

"Alhamdulillah" pujiku untuk Tuhan, setelah satu jam kemudian kulihat ada tanda digital turun. Tersenyum sederhana tapi serasa bahagia di balik dada ini. Akhirnya, dia betul-betul pulas dengan sela lelahnya. Anakku, sesederhana itu bahagiaku melihatmu. Kupeluk dia sehangat mungkin.

 Aku yang Lama Merindu 

Ya, aku Roman, berusia 29 tahun. Aku baru lah menyandang status "Ayah". Jika dihitung, dua jari saja belum (untuk hitungan bulan). Dia, anakku menjadi kerinduan yang paling lama untuk ku tunaikan. 5 tahun lamanya. Banyak tangis yang diseka, setumpuk harapan yang sirna, dan setiap usaha yang sia-sia. 

Semua sampai pada titik diri berpasrah. Kami (aku dan istri) ikhlas! Entah diberikan atau tidak kami kepercayaan untuk menimang buah hati, kami tak lagi akan bersusah hati. Hanya kekuatan doa lah tak pernah kami abai.

Tangis telah kami lupa, harapan kami pudarkan, dan usaha kami hentikan. Tetapi, doa lah akhirnya menjadi jawaban, saat satu waktu di Bulan April 2021, tangis kesedihan yang selalu terlihat dari mata teman hidupku, ketika itu berubah menjadi tangis haru, tangis bahagia sembari menunjukkan hasil tes yang begitu dirindukan. Bahagia bukan kepalang, ucap syukur pada Sang Kuasa pun keluar dari bibir.

Kini, dia sudah di depan mata. Menjadi sosok pertama yang kucari ketika hari membuka diri, dia yang selalu kukecup tanda berpisah sejenak setiap kaki akan bergegas menguli, nama pertama yang ingin kupeluk saat kembali, dan beristirahat bersama dalam lelap saat malam mulai gelap. 

Begitu hari demi hari ku lalui sekarang, hari-hari yang ingin terus ku ingat dalam kenang. Bukan juga saja atau sekadar soal status, ada bangga di sana untukku kisah padanya kelak bagaimana senyumku mendengar napasnya di sebelah. Bahkan, karenanya pula, diri yang terbilang cuek akan selalu merengek meminta selalu dikirimkan fotonya kala waktu rehat di tengah hari.

 Jangan Tanya Cintaku! 

Terkadang, jauh sebelum malam itu, seringkali bahkan, seakan ada ragu dalam benak mereka bagaimana aku menempatkan si buah hatiku di balut cinta. Hanya karena aku tak ada, bukan pula selalu.

"Kamu tuh sayang nggak sih sama anakmu?" Kalimat tanya yang sebetulnya hanya terdengar ringan, tapi sesak di dada. 

Hadirnya kunanti dari sebuah asa hingga titik diri hanya bisa berserah. Entah berapa kali tengadah tangan bersimpuh memohon kepada-Nya, hingga nyaris ku meragu pada sang Cipta". Sederhana tanya kalian tak begitu untukku, hingga ku harus (sempat) meragukan besar dan agungnya Tuhan. 

"Kalian pertanyakan cintaku untuknya, sedangkan kalian tak tahu betapa bangganya ketika ku ketikkan pesan kepada saudara kandungku sekadar ingin mengatakan "Kak, sekarang aku adalah seorang ayah" sesaat kudengarkan tangis pertamanya di dunia".

Satu waktu ku berpikir (kembali). Cukuplah semua hanya kuanggap bulir penguji diri sepantas mana diri menjadi orang tua, menjadi seorang ayah. Yang ada dalam benakku sekarang hanya dia. Dia yang harus kulindung dengan getir didepan mata, juga saat tubuh bersikap luruh.

Bagiku, anakku adalah penyampai rindu terbaik. Namanya menguatkan ketika tangan menyeka keringat, heningnya dia menyampaikan rasa teduh dan tenang, dalam tangisnya dia sampaikan gelisah dan ingin. Aku ingin lalui itu saja.

RGA


#Ayah #anak
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur