Culture


Sabtu, 12 Maret 2022 06:12 WIB

Story

Perbedaan untuk Cinta

Kita hanya butuh untuk saling mengerti agar tetap saling menjaga. Setiap detiknya, ada jutaan perbedaan terlahir di dunia ini. Yang kita butuhkan adalah menjadikan beda sebagai keindahan untuk saling melengkapi.

Aku, Ika, seorang gadis yang selalu kebingungan kalau ditanya ‘orang mana?’ atau bahkan harus mewakili daerah mana kalau mengikuti lomba. Ya, wajar saja aku bingung. Aku lahir di Bengkulu, lalu saat beranjak remaja aku pindah ke Bangka. Kemudian, aku melanjutkan kuliahku di Bekasi, Jawa Barat. Bapakku lahir dengan perpaduan Melayu Bangka dan Cina. Sedangkan, Ibuku lahir di Bengkulu dengan hasil persilangan Jawa Tengah, Jawa Timur dengan Sunda, Jawa Barat. Fyuh, aku selalu kesal kalau harus menjawab pertanyaan itu. Aku selalu menjawab bahwa aku ini orang Indonesia. Ya, mau gimana lagi, agak ribet dan sulit menjelaskan panjang kali lebar ke orang baru. 

Itu pula yang sebenarnya bikin aku sebal sama orang kebanyakan. Bukankah, memang benar kalau aku ini orang Indonesia? Wajahku pun juga lebih tepatnya dikatakan wajah nusantara, dikarenakan mencakup ke-banyak suku.

Aku begitu beruntung, menghabiskan masa remajaku di sebuah provinsi yang begitu kuat tingkat toleransinya. Baik itu dalam beragama maupun perbedaan melayu atau cina. Masyarakat di Bangka benar-benar saling menghargai dan jarang sekali terdengar ada masalah yang mengatas-namakan cina dan pribumi. Kebetulan pula, aku memiliki sahabat semasa SMA yang sudah seperti saudara sendiri. Namanya, Tia, seorang gadis tionghoa berkacamata dan beragama Buddha.

Pertemuan dan kedekatan kami terjadi karena hal konyol. Ya, dulunya aku memang belum mengenakan hijab dan kebetulan kulitku memang sedikit lebih terang, lalu mataku juga ada guratan sipit segaris jika tertawa. Ya, namanya juga ada sisa-sisa gen dari kakek buyutku. Mau tak mau, aku juga sering dipanggil amoi, sebutan untuk anak perempuan Cina. Dan entah mengapa, katanya aku memang sedikit mirip dengan Tia. Se-antreo sekolah menjuluki kami sebagai anak kembar, padahal kami beda orang tua. 

Siang itu, aku yang berjalan menuju gerbang sekolah untuk pulang. Namun, tiba-tiba saja tiga orang kakak kelas mencegatku. Memaksaku untuk ikut kumpul agama Buddha, katanya. Mereka mengira bahwa aku adalah Tia. Jelas saja aku menolak, karena aku seorang muslim. Sejak saat itulah, aku dan Tia justru menjadi dekat karena sering diolok-olok kembar.

Aku begitu nyaman bersahabat dengan Tia. Ya, bertahun-tahun kita bersahabat, jarang sekali kami bertengkar. Selama tujuh tahun ini, sepertinya kita bertengkar hanya tiga kali saja. Berkali-kali orang bertanya mengapa kami bisa se-awet ini. Entahlah, mengapa orang harus menanyakan hal itu? Mungkin saja karena aku dan Tia yang berbeda. Berbeda agama dan juga suku. 

Aku dan Tia tidak pernah menyinggung agama kami masing-masing. Selama sekolah, Tia selalu menungguku di luar mushola sekolah saat aku menunaikan ibadah sholat. Aku pun begitu, menunggu Tia di luar vihara atau klenteng di dekat rumahnya. Tia juga sangat menjagaku, ketika aku memutuskan untuk mengenakan hijab. Masih teringat jelas, ketika kami berdua mengikuti lomba di Jakarta. Saat itu, aku melepas hijabku karena sudah berada di kamar hotel. Namun, tiba-tiba saja teman laki-laki kami dengan sengaja masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sontak Tia begitu berang dengan teman laki-laki kami tersebut, Tia juga melemparkan sebuah selimut untukku menutupi aurat.

Tidak hanya aku dan Tia saja yang dekat dan saling menghargai, keluarga kami berdua juga begitu akrab jadinya. Keluargaku mengantarkan minuman kaleng dan beberapa kue untuk keluarga Tia, jika kongian atau lebih dikenal dengan Imlek. Begitu pula sebaliknya, Ama (sebutan Ibu untuk Suku Tionghoa) Tia selalu membuatkan beberapa kue bolu ketika Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Aku dan Tia memang saling mengerti dan menghargai, tapi di balik itu semua kami juga saling mendukung mimpi-mimpi yang terucap bahkan terpendam dalam hati. Tak hanya beda akan suku dan ras, kami pun memiliki skill dan ketertarikan yang berbeda pula. Namun, perbedaan itulah yang membuat kami dapat berkolaborasi dan menghasilkan sebuah karya. Terkadang kita terlalu fokus dengan persamaan, sehingga memaksa orang lain sama akan kita. Tanpa menyadari bahwa perbedaan justru sangat dibutuhkan, karena setiap manusia memiliki porsi (skill, fisik, keuangan, dll) dan pemikirannya masing-masing. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menjadi sama, karena sesungguhnya Tuhan memang sengaja menciptakan kita berbeda. Jangankan orang lain yang begitu asing bagi kita, saudara kandung kita pun tak mungkin begitu persis sama dengan kita dan memiliki beberapa perbedaan.

Hari ini kebetulan aku ingin mengunjungi Tia, di Bengkulu selepas pulang dari rumah nenekku yang letaknya di Lebong, sekitar empat jam waktu tempuh untuk ke Bengkulu. Ya, aku dan Tia memang menjalani Long Distance Friendship selama dua tahun belakangan ini. Hahaha. Seperti yang aku katakan sebelumnya, bahwa aku melanjutkan studiku di Bekasi dan Tia di Bengkulu. Meski berjauhan, kami masih sering kontakan untuk sekedar cerita, bertukar pikiran, bahkan saling mengirimkan poster lomba. Begitulah persahabatan kami, tidak pernah saling menghambat, melainkan saling menggenggam untuk meraih mimpi. Kami berdua pernah bermimpi, ingin mendirikan sebuah production house lalu menghasilkan film-film keren yang mengangkat kampung halaman kami, Bangka Belitung. Tidak hanya itu saja, kami ingin sekali menebarkan pesan toleransi kepada dunia, bahwa perbedaan itu indah. 

“Tia, kamu tunggu di pinggir gang kos kamu, ya! Aku udah dekat nih.” Ujarku pada Tia di telpon. 

“Aku pake baju kuning, ya!” 

Tidak lama kemudian mataku menangkap sosok Tia yang memang menggunakan baju berwarna kuning dan celana pendek berwarna putih. Dia melambaikan tangannya padaku. Aku meminta driver ojek online menepikan motornya. 

Tia tersenyum lebar menyambutku yang baru saja tiba. Ia mengajakku ke kosnya yang tidak terlalu jauh dari gang. Sesampainya di kos, seperti biasa, tentunya aku mengacak-acak kosannya, membongkar ada apa saja, memakan semua persediaan cemilannya. Lalu, tanpa disangka-sangka aku menemukan sesuatu yang sangat membuatku terkejut.

Aku menemukan sebuah mukenah lengkap dengan sajadahnya. Aku menoleh ke arah Tia. Dalam hati aku bertanya-tanya, kok bisa ada alat sholat lengkap di kosan seorang non muslim. ‘Apa Tia udah jadi mualaf, ya? Tapi kok nggak cerita sama aku?’, aku masih sibuk menerka-nerka.

“Kamu kenapa, Ka?” tanya Tia seakan tau aku yang tiba-tiba menjadi diam.

“Ini punya siapa?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Tia.

“Aku.” Jawab Tia dengan santai. 

Lantas aku makin bingung. “Ha? Untuk apa?”

“Untuk temen-temen aku yang main ke sini. Soalnya kasian sama mereka kalau harus ke masjid, agak jauh dari sini. Terus, kalau mereka mager kadang maksa jadiin sarung untuk jadi mukenah. Kan, kasian. Jadi, yaudah deh aku beliin.”

Aku terperangah mendengar penuturan Tia yang begitu polos. Sekejap tatapanku seakan-akan mengatakan ‘Hmm, so sweet’. 

“Aku tuh sebenernya udah ngerasa kasihan dari lama. Tapi, kan harga mukenah sama sajadah agak mahal. Jadi, yaudah aku berdoa semoga menang lomba nulis. Eh, beneran menang. Aku langsung ke pasar untuk beli.” Lanjut Tia.

“Ama kamu tau ini, nggak?” tanyaku. Aku hanya sedikit khawatir, biasanya orang tua akan khawatir jika anaknya membeli sesuatu hal yang berkaitan dengan yang bukan agamanya.

“Nggak tau sih. Tapi, pasti nggak bakal marah kok kalau dengar penjelasan aku.” Jawabnya seakan mengerti dengan maksud pertanyaanku. 

Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Hatiku terenyuh, benar-benar kagum dengan sikap Tia, sahabatku itu. Aku hanya bisa berdoa, semoga Tia-Tia yang lainnya semakin banyak. Bukankah begitu indah melihat ini semua?

Saat itu, aku dan Tia pergi ke Mall. Kami pergi ke toko buku, tempat makan, tempat pernak-pernik, melihat baju dan sepatu. Namun, Tia sempat-sempatnya mengingatkanku untuk melaksanakan kewajibanku, shalat. 

“Ka, sholat dulu. Jangan sampai lupa.” Ujarnya. 

Aku mengangguk. Ia menemaniku untuk bertanya pada satpam tentang keberadaan mushola. Setelah menemukan mushola, seperti biasa, Tia menungguku di luar mushola. Duduk di depan sambil membaca buku. 

Terkadang aku begitu bersyukur mengenal sosok Tia, yang mana tanpa bersama dengan yang sama denganku, aku pun bisa tetap menjadi baik bahkan berproses makin baik. Begitu banyak orang memaksa diri untuk bergaul dengan sesama mereka saja, mengkotak-kotakkan, bahkan lebih parahnya mengucilkan yang katanya minoritas. 

Terkadang kita terlalu cepat dalam menilai sesuatu. Memandang suatu hal hanya berdasarkan persepsi yang dibentuk oleh orang terdahulu, tanpa mencoba untuk mengenal terlebih dahulu. Kita tidak akan mencintai, jika belum menyelami.

Tia pernah mengatakan padaku, “Jika ada perbedaan di sekitar, jangan dihindari. Tapi, dikenali. Nanti akan menyayangi”. Menurutku yang dikatakan Tia benar adanya. Kita jangan terlalu terburu-buru dalam menyikapi perbedaan. Cukup berusaha untuk mendekat dan mengenalinya terlebih dahulu. Ketika kita telah mengenal, maka kita akan saling mengerti dan menghargai, diikuti dengan rasa sayang. Aku rasa, bentuk Tia dalam menyanyangi teman-teman yang berbeda darinya, salah satunya dengan membelikan mukenah dan sajadah. Karena sayang tentunya bukan sekedar kata, melainkan sebuah aksi yang nyata tanpa pamrih.

Aku begitu beruntung berada di tanah Indonesia, khususnya di bumi yang kaya akan timah ini. Tak hanya sekedar timah yang menyatukan perbedaan seperti pada sejarah yang tertulis. Melainkan, tentang bagaimana saling mencintai di atas ketidak-samaan yang terlahir. 

Aku bukanlah Suku Jawa, Tionghoa, dan Melayu. Aku ini nusantara yang mencintai setiap jengkal tanah yang kupijak. Bagaimana mungkin mengaku Indonesia, tapi hati masih terus mengkotak-kotakkan kamu orang mana. Bagiku, mengabdikan diri tak harus kembali pada kampung halaman. Selagi, aku berdiri di Bumi Pertiwi, maka aku telah menjadi sebaik-baiknya Bangsa Indonesia. 

Berbaur menjadi satu, tak diperlukan lagi siapa kamu dan apa agamamu, karena berbuat baik tak harus memilah-milah. Menjadi saudara cukup dengan cinta yang hadir dari hati yang ikhlas untuk saling mengerti.                                                                                                                                   

INP


#Toleransi
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur