Musik adalah suara yang disusun sedemikian rupa, mengandung irama, lagu dan keharmonisan (panditfootball.com). Lalu salahnya di mana? Kenapa begitu banyak yang ingin membungkam suara irama? Biarkan musik berdendang, jangan ditendang.
BAYANGKAN hidupmu tanpa irama selama 5 menit saja. Cukup 5 menit. Tak lebih. Hampa? Sepi? Kaku? Mirip kanebo kering? Ya. Begitulah kalau kita membungkam irama dan musik.
Kemarin, 9 Maret adalah Hari Musik Nasional. Hari yang lahir dari perjuangan seorang WR Supratman dan punya sejarah yang cukup panjang di Indonesia.
Presiden Republik Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 9 Maret menjadi Hari Musik Nasional lewat Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2013.
Keppres tersebut menyebutkan bahwa musik adalah ekspresi budaya yang bersifat universal dan multidimensional yang merepresentasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan serta memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional (disadur dari Kemdikbud.go.id).
Musik, kata Filsuf Yunani, Plato, adalah hukum moral. Ini memberi jiwa ke alam semesta, sayap untuk pikiran, terbang ke imajinasi, dan pesona dan keceriaan untuk hidup dan untuk semuanya.
Sementara kata Bob Marley, satu hal yang baik tentang musik, ketika menyentuh anda, tidak akan ada rasa sakit.
Nasib musik di Indonesia seperti roller coster turun naik sesuai dengan rezim yang saat itu ada. Misal orde baru dan orde lama. Keduanya pernah menempatkan musik menjadi 'musuh'. Lalu berbeda dengan rezim berikutnya, musik dipakai untuk menguatkan identitas politik Jokowi. Tapi di era SBY musik justru mendapat hak dan tempat semestinya.
Soekarno, pernah didapatkan sebuah foto di mana ia duduk menutup telinga dengan kedua telunjuknya, sambil menghisap rokok dan berkacamata hitam. Beberapa orang bule berdiri memainkan gitar di belakangnya.
Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Wildan Sena Utama menyebut foto Sukarno itu diambil saat kunjungan ke Athena, Yunani, tahun 1965.
Kata Wildan saat itu Sukarno tengah menjalankan politik anti-imperialisme dan neokolonialisme di berbagai aspek. Sukarno memiliki konsepsi New Emerging Forces (Nefos), kekuatan ketiga sebagai perlawanan atas neoimperialisme Barat kala itu. Dan itu artinya, ia tidak menyukai musik yang datang dari negri kulit putih.
Soekarno menganggap nilai-nilai Barat yang liberal, tidak progresif, dan mengangkat identitas yang diametral dengan identitas Timur, bertentangan dengan politik yang sedang dijalankan Indonesia.
"Dalam hal ini termasuk musik. Dan ini tidak sesuai dengan politik antiimperialisme Sukarno yang total, dalam artian meresap ke semua bidang," ujarnya.
Wildan mengatakan musik, film, dan produk-produk kebudayaan Barat, terutama Amerika Serikat, kurang mendapat tempat karena tidak sesuai dengan proyek nation-building Sukarno (disadur dari CNN.com).
Di era orde baru, Pemerintah menganggap ada beberapa lirik lagu-lagu bersifat negatif dan provokatif sehingga dilarang untuk diperdengarkan.
Antaranya, Genjer-genjer yang dilarang karena identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lagu ini dibawakan oleh Adi Bing Slamet dan Lilis Suryani pada zaman Orde Lama.
Lalu lagu Paduka Yang Mulia. Lagu yang juga dibawakan oleh Lilis Suryani ini juga pernah dilarang untuk diperdengarkan pada zaman Orde Baru karena berkitan dengan Orde Lama.
Kemudian Bento, Bongkar, Surat Untuk Wakil Rakyat milik Iwan Fals juga mendapat cekalan dari orde baru.
Dan baru-baru ini, KPI mengeluarkan edaran melarang 42 lagu untuk diperdengarkan ke publik, seperti Bruno Mars (24K), Ariana Grande (34+35), Masked Wolf -(Astronaut in The Ocean), M.I.A (Bucky Done Gun), Maroon 5 (Beautiful Mistakes), Max Ft Suga (Blueberry Eyes) dan lainnya termasuk Jay Z (Empire State of Mind).
Musik sudah sejak dulu selalu beriringan dengan politik. Karena musik adalah wadah yang gampang, murah dan paling cepat untuk 'menyuntikkan' ideologi, terutama kepada kalangan berpendidikan rendah. Dan musik tak bisa lepas dari apa yang menaunginya.
Nuran Wibisono mengeluarkan buku yang berjudul "Nice Boys Don't Write Rock n' Roll". Di situ ia menjelaslan musik memang tak bisa lepas dari hal-hal yang menaunginya.
Seperti contoh Alfred Simanjuntak, menciptakan lagu "Bangun Pemudi-Pemuda" alasannya karena di luar negeri ada kebiasaan menyebut perempuan di bagian depan, seperti ladies and gentleman.
Seorang Kapolda tahun 2018 pernah melarang pengendara mendengar musik saat sedang berkendara. Alibinya, karena mendengar musik saat berkendara dapat menyebabkan kecelakaan. Entah darimana ia mendapatkan data, namun yang jelas akhirnya ia sendiri menarik edaran tersebut karena dianggap telah berusaha mengambil hak azasi manusia, yakni mendengarkan musik!
"Ketika kita menyampaikan sesuatu dengan musik, itu tidak terdengar seperti seorang guru yang berbicara di depan kelas."
Jerinx (Drummer Superman Is Dead).
Selamat Hari Musik untuk semua penikmat dan pemain musik di Nusantara.
Coba 5 menit saja hidup tanpa musik.
Penulis: PAI