"Tadi kamu dari mana? Kamu bilang pulang kerja jam 5, sampai rumah setengah 6, tapi jam 4 mobilmu keluar dari rumah seseorang? Kamu berbohong untuk apa? Jujur saja, aku tahu itu rumah siapa."
DITODONG dengan pertanyaan sekaligus pernyataan seperti itu, terkadang butuh 'skill' untuk berbohong. Seseorang yang ditanya dengan hal di atas akan menjawab sesuai dengan hebat atau tidaknya ia mengasah kebohongannya, atau menyiapkan kebohongan. Tapi tetap saja, butuh jam terbang untuk tetap tenang dan mampu berbohong. Walaupun ia tahu, si penanya benar dan semua tinggal menunggu waktu.
Sebenarnya kenapa, sih kita berbohong walaupun kita tahu orang tahu kita sedang berbohong?
Berbohong adalah sebuah kebutuhan. Berbohong juga adalah naluri yang diberikan alam. Begitu banyak teori ilmiah soal ini dan setengah dari teori itu tak bisa kita bantah kebenarannya.
Kebohongan, mulai dari white lies yang diniatkan untuk kebaikan, sampai dirty lies yang memang untuk niat buruk. Herannya berbohong sudah dilakukan sedari manusia kecil hingga dewasa. Bahkan berulang.
Meski sudah tahu akan berbuah masalah. Tapi sering dilakukan. Ternyata ada harga diri di sebuah rencana kebohongan.
Dilansir dari livescience.com, menurut Robert Feldman. Seorang psikolog dari University of Massachusetts. Dia mengatakan bahwa berbohong berkaitan dengan harga diri. Seseorang akan berbohong segera setelah merasa harga dirinya terancam. Dia akan mulai berbohong berada di tingkat harga diri yang lebih tinggi.
Meski begitu, tak semua kebohongan itu berbahaya. Karena bisa jadi untuk melindungi privasi juga. Nah, ini mungkin adalah kasus pertanyaan yang di atas tadi. Si pembohong ingin menjaga privasinya.
Berbohong untuk menjaga privasi bukanlah sesuatu yang berbahaya. Karena kadang berbohong adalah pendekatan terbaik untuk melindungi privasi diri sendiri dan orang lain dari kebencian. Walaupun pada akhirnya, kebencianlah yang diterima.
Atau bisa saja, si pembohong di atas tadi sedang basa-basi sebagai bentuk kesopanan dan kebijaksanaan.
Ada kalanya butuh berbohong sebagai bentuk kesopanan dan kebijaksanaan. Dan orang lain akan menganggap itu sebagai sesuatu yang kurang serius.
===========
"Ehh... Oiya, tadi saya ke rumah dia cuma menyampaikan pesan saja, kok. Gak ada yang serius. Cuma ngasih titipan saja."
Namun sayangnya, kebohongan itu, yang memalsukan kebenaran, bisa berbahaya. Hindarilah untuk berbohong dengan cara memalsukan kebenaran. Kebohongan semacam itu hanya akan merusak kepercayaan dan merenggangkan hubungan. Ini juga bisa menimbulkan kehancuran jika melibatkan makin banyak orang.
Sebetulnya, saat si pembohong sedang berbohong, dia juga sedang menipu diri sendiri.
Menurut riset yang dilakukan Feldman, manusia kadang tak bisa memisahkan kebenaran dan fiksi yang ada dalam pikirannya sendiri.
Dalam eksperimennya, Feldman mempertemukan dua orang dalam satu ruangan. Perbincangan mereka direkam. Lalu, masing-masing diminta untuk mengidentifikasi apa saja dari perkataan mereka yang tak sepenuhnya akurat (Feldman menghindari istilah berbohong).
Awalnya masing-masing yakin bahwa perkataannya akurat. Namun setelah melihat video, masing-masing terkejut bahwa ada hal-hal yang gak akurat yang ia katakan. Salah satu contohnya ketika berpura-pura menyukai seseorang yang sebenarnya tak benar-benar disukai.
Dan, kita harus tahu bahwa selama 10 menit percakapan, 60 persen orang akan berbohong sekali.
Itu penelitian yang dipublikasikan Journal of Basic and Applied Psychology. Menurut Feldman, orang-orang berbohong secara refleks atau tak merencanakannya dalam kehidupan sosial mereka.
Bahkan, wanita dan pria punya perbedaan saat berbohong
Menurut Feldman, pria cenderung berbohong untuk membuat diri mereka terlihat lebih baik, sementara wanita cenderung berbohong untuk membuat orang lain merasa lebih baik. Itu berdasarkan kejadian mayoritas, tidak menutup kemungkinan pria dan wanita melakukan sebaliknya.
Orang yang berbohong sebenarnya bisa jadi karena tak ingin mengecewakan orang lain. Ingin disukai. Dihargai. Membuat orang lain terkesan. Ada ketakutan bila ditolak atau dipermalukan.
Saat berbohong dan merugikan pihak lain, sebenarnya tidak ada tujuan menyakiti orang lain.
Namun, ini bisa jadi cara untuk menyelamatkan diri atau menutupi kesalahan. Jika seseorang sudah berbohong sekali, akan terus berlanjut untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Lalu kebohongan pun berkembang lebih dalam.
Family and Relation Coach, Diany Pranata mengatakan manusia bisa berbohong 10-200 kali per hari.
Insecure, atau rendahnya percaya diri bisa jadi pemicu kita berbohong. Beberapa cara pun kemudian dilakukan untuk menutupi kekurangan. Seperti contohnya mempunyai mobil mewah, rumah mewah maupun harta bahkan status sosial.
Para peneliti percaya kebohongan dilakukan untuk memanipulasi orang lain demi mendapatkan yang diinginkan tanpa memerlukan kekerasan.
Kemudian Self protection. Pakar psikologis menjelaskan seseorang biasanya berbohong sebagai bentuk perlindungan diri untuk menghindari masalah. Seperti bentuk perlindungan diri atau self defense saat merasa terancam. 'Daripada jujur, mending bohong', misalnya seperti itu.
Penjelasan tersebut diperkuat penelitian tentang perilaku bohong yang dilakukan psikolog Bella DePaolo, seperti dilaporkan Psychology Today.
DePaolo menanyai 147 partisipan untuk membuat diari mengenai kebohongan mereka selama satu pekan.
Hasilnya, dia menemukan rata-rata seseorang berbohong satu atau dua kali dalam sehari dan itu dilakukan untuk melindungi diri dalam menyembunyikan kekurangan.
Dan beberapa orang berbohong untuk membuat orang lain terkesan. Manusia cenderung mengarang cerita agar disukai orang lain.
Sosial media dipercaya dapat memicu seseorang untuk berbohong dalam menunjukkan eksistensi. Agar kehidupan sosial tetap berjalan lancar, terkadang seseorang harus berbohong.
Ingat, beberapa orang memiliki kemampuan untuk menipu orang lain dengan mudah. Sekarang tinggal bagaimana dan siapa yang lebih hebat dalam berbohong.
Penulis: PAI
(Penulis menyadur dan mengolah dari berbagai sumber namun bukan untuk menunjukkan karakteristik seseorang maupun kelompok tertentu)