Culture


Kamis, 17 Februari 2022 22:21 WIB

Film

Bohemian Rhapsody, Tentang Memaafkan Tak Melupakan

Is this the real life? 

Is this just fantasy?
Caught in a landside
No escape from reality
Open your eyes
Look up to the skies and see 
I'm just a poor boy
I need no sympathy
Because I'm easy come, easy go
Little high, little low. 
Any way the wind blows doesn't really matter to Me, to me

Bohemian Rhapsody
(Queen - Album A Night At Opera)
  

SORE itu, hujan sedang gembira-gembiranya turun ke bumi. Bukan lagi rintik, tapi rinai. Terpaksa rencana untuk berkunjung ke rumah kawanpun harus ditunda. Hanya ada satu cara membuang gabut yang melanda. Nonton film di layar kaca. 

Netflix jadi pilihan. Karena sudah kepalang berlangganan, sudah mengeluarkan biaya, sayang kalau tidak dipakai. 

Sore itu film 'Bohemian Rhapsody' jadi pilihan. Walaupun sudah pernah saya tonton di bioskop tapi tetap saja, film ini harus diulang. 

Alasannya jelas; Queen adalah salah satu band favorit. Kedua, kisah Freddie Mercury di film itu sangat menonjol. Dan yang tak kalah penting musikalitas di film garapan Bryan Singer itu luar biasa, bikin merinding, apalagi di bagian konser Live Aid, di Wembley Stadion tahun 1985. 

"Ada, ya band yang bisa membuat stadion seperti itu hampir meledak!," kata kawan, yang bukan anak band, tapi turut merinding usai menonton Bohemian Rhapsody. Apalagi baru tahu bahwa semua scan, semua kejadian di konser itu, bahkan tata letak propertinya, dibikin sepersis mungkin dengan aslinya. Karena saya membuktikan langsung, buka Youtube demi membuktikan kebenaran setting film itu. 

Ada beberapa bagian di film yang diproduksi tahun 2018 itu yang sangat menyentuh rasa terdalam manusia, gambaran hidup dan realita sosial. 

Dan, dari keseluruhan rangkaian kisah di film itu, ada satu bagian di film itu yang menggambarkan adegan-adegan hancurnya kehidupan Freddie Mercury karena terlalu gampang mempercayai seseorang pria bernama Paul Prenter. 

Mempersilakan seseorang dengan gampang masuk ke kehidupannya seperti Paul Prenter, menjadikan itu awal kehancuran seorang pria gigi tonggos, imigran, homoseksual, pengidap HIV, seorang quadruple minority (minoritas empat kali lipat) ini. 

Paul adalah pria yang masuk ke kehidupan Freddie, menjadi kekasih gay Freddie (walaupun masih belum ditemukan bukti apakah Freddie juga mengakui bahwa Paul adalah kekasihnya, atau hanya sebagai pemuas diri Freddie belaka), ia mampu mengambil hati Freddie, membuat Freddie menjadi manusia yang lupa segalanya, bahkan menjadi sosok yang menghancurkan Mary Austin, wanita yang menjadi cinta pertama Mercury. Wanita yang selalu ada untuk Freddie, no matters what. 

Mercury dan Paul terlalu dalam membuat kerusakan di kehidupan Mercury dan Queen keseluruhan, juga menghancurkan Mary. Nafsu Paul yang ingin menguasai hidup Mercury, ditambah dengan naifnya Mercury, membuat semua orang terdekatnya muak. Hingga Queen merencanakan membubarkan diri karena tak tahan dengan keduanya. Dan Mary memilih move on. 

Suatu malam, Mary merindukan sosok Freddie. Mary datang ke vila di mana Freddie dan Paul tinggal. Di sana Mary melihat Freddie Mercury terbaring dengan botol minuman keras dan narkoba di sekelilingnya. Sementara Paul saat itu sedang entah di mana, dengan siapa, berbuat apa. Tapi bukan Yolanda. 

Bagi saya, itulah adegan yang menjadi titik balik di film ini. Titik balik di mana Mercury merasa telah dimanfaatkan oleh Paul sejak keduanya menghianati Mary. Baik secara materi, jiwa maupun kehidupan seks. 

Sementara 'ejakulasi' di film ini, tentu saja adegan di konser Live Aid! 

Freddie ingin meminta maaf kepada band. Dan dalam satu kesempatan mereka berempat, Freddie Mercury, Bryan May (gitaris), Roger Taylor (drummer) dan John Deacon (bassis) bertemu di kantor manajer mereka Jim Beach. 

Di situ Freddie meminta maaf telah menghancurkan semua. Mimpi band hingga kehidupannya sendiri. Singkat cerita, mereka bertiga memaafkan Freddie karena satu hal; mereka harus tampil di Live Aid, konser terbesar dalam sejarah untuk misi kemanusiaan Afrika. Namun mereka menolak untuk melupakan kesalahan yang telah dilakukan Freddie. 

Ketiganya memberikan pelajaran, bahwa memaafkan itu mudah, namun untuk melupakan, tentu tidak. Luka itu dalam. Namun mereka harus berbesar hati karena ada hal yang lebih besar yang harus difikirkan, yaitu konser kemanusiaan yang memang akhirnya tercatat sebagai salah satu konser terbesar di planet bumi. 

But well, Freddie, i don't care who u are, you and Queen still be my fu*king band ever. 

 "Whatever happens, I'll leave it all to chance
Another heartache, another failed romance, on and on
Does anybody know what we are living for?
I guess I'm learning
I must be warmer now
I'll soon be turning, round the corner now
Outside the dawn is breaking
But inside in the dark I'm aching to be free" 

 (The Show Must Go On - Queen) 

Dan, film itupun selesai. 

 Penulis: PAI 

(Sumber tulisan: Film Bohemian Rhapsody)


#Freddy Mercury
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur