Di tangga kos, Amara meringkuk berusaha menyelipkan kepalanya di antara kedua paha. Dia berusaha mati-matian menutupi air matanya. Kedua tangannya rapat mengapit telinga. Rambutnya yang panjang ia biarkan terurai sampai lantai.
TAPI saya sudah khatam. Amara memang suka menangis. Kadang tangisannya nyaris tak punya makna. Jadi percuma saja sok jantan, karena itu cuma cara Amara meminta perhatian. Sudah, biarkan, nanti juga dia baikan.
Saya akui Amara memang manis. Pesonanya magis. Senyumnya membius. Kulitnya memang tak putih, tapi mulus dan bersih. Bibirnya tak merah tapi entah kenapa begitu menggoda. Tubuhnya tak indah tapi entah bagaimana membuat jantung terpompa. Itulah Amara, tak pula seberapa tapi punya hal yang berbeda: Seksinya luar biasa.
Kadang wajar saya 'mengandalkan' Amara untuk berfantasi. Karena dia terkadang lupa, laki-laki punya obsesi dan tak bisa melihat betina berbikini. Selalu cari cara untuk memuas diri. Ah, Amara... Dayung sudah di tangan, perahu sudah di air.
Saya akan menceritakan bagaimana sosok Amara. Dia gadis berbodi sintal dari seberang. Umurnya masih muda. Di sini dia seorang diri. Dia karyawan di salah satu pusat perbelanjaan. Dia sosok apa adanya.
Walau terkadang dalam perjalanan hidupnya dia sering lupa menginjak rem dan tak jarang menabrak hati dan perasaan, tapi itu wajar, karena Amara memang 'menjual'. Berapapun harganya, Amara mahal.
Saya dan Amara di satu atap. Rajin bertemu namun tak pernah sempat bertaut cumbu, apalagi saling rindu. Dia menarik, sementara saya, tak ada yang tertarik. Dia mempesona, sementara saya, tak ada yang luar biasa.
Amara sering bergonta-ganti kekasih. Itu semua bukan karena cinta, katanya. Itu cuma untuk ia memuas dahaga, katanya. Ibarat pepatah, Amara bersabda akan bara yang digenggam biar sampai jadi arang. Kalau sudah terjun, tenggelamlah sekali.
"Biarlah fisik diluka, asal jiwa merasa bahagia," kata Amara di suatu senja saat kami duduk di warung depan kos menikmati kopi dan beberapa potong kue basah.
Padahal dia sangat terluka. Lagi-lagi Amara berbohong. Setiap Amara berbohong, dia selalu memutar-mutar rokok setidaknya 3 kali. Itu tanda Amara sedang berbohong.
Tunggu.
Nyaris terlupa. Di atas, saya menggambarkan Amara sedang menangis sesenggukkan. Amara, kenapa? Rasa penasaran saya kambuh walaupun saya tahu, air mata itu cuma air mata buaya.
Karena saya tahu persis, setelah matanya berair, bengkak, Amara akan 'menjual' kisah sedihnya agar orang-orang tertentu membaca, melihat lalu simpatik.
Amara pandai bermain watak. Jangankan keseksiannya, bahkan air matanya pun bisa ia jual, itulah Amara. Dia punya air mata yang mahal. Air matanya bak mengapung buih di telaga yang tenang.
Ternyata Amara menangis karena malam ini lelakinya tak bisa datang setelah lelakinya yang lain, juga tak bisa bertandang. Tapi tangisan itu bukanlah tanda Amara bersedih. Itu tangisan kesal. Karena ia berusaha membagi waktu antara dua lelaki, nyatanya, tak satupun ia dapat malam ini. Amara kecewa karena dia kalah.
"Kan, masih ada aku," saya menyodorkan diri berharap dipilih.
"Dihh...," sahut Amara.
Itu adalah penolakan yang ke dua puluh dari dua puluh satu kali usahaku mendekati Amara. Makanya, jika punya rencana menyukai wanita, jangan pernah dimulai dengan janji pertemanan. Kecil kemungkinan apalagi kau tak punya pegangan.
Dan sayapun mencoba menghibur Amara. Sebisa saya berdendang. Yang penting Amara senang.
"Air mata, air mata buaya
Itu lambang kepalsuan belaka
Dia sungguh pandai berpura-pura
Di saat mengelabui mangsanya"
(Air Mata Buaya - Itje Trisnawati)
Ah, bicara soal air mata buaya, mengapa ada istilah mitos kuno itu?
Dianalogikan, seseorang dikatakan meneteskan air mata buaya, adalah orang yang berpura-pura atas kesedihan. Tak tulus dalam penyesalan.
Mengapa sampai ada istilah seperti ini?
Jadi begini.
Buaya meneteskan air mata setelah ia memakan mangsanya. Tapi bukan karena penyesalan. Namun secara alami hal itu terjadi karena kelenjar air mata buaya akan mengeluarkan cairan untuk mengeluarkan kelebihan garam.
Nah, jadi tangisan buaya ditujukan bukan untuk mangsa yang tercabik-cabik, namun salah satu bentuk dari rasa bahagia karena bisa mengoyak tubuh korbannya, lalu ia mengeluarkan cairan, mirip air mata.
Begitu juga kita, kerap berpura-pura menangis setelah menyakiti hati, padahal tak pernah peduli apa yang terjadi.
Semoga kita tak belajar dari buaya. Karena kita manusia, kita menangis jika memang harus menangis.
"Menangislah bila harus menangis
Karena kita semua manusia
Manusia bisa terluka
Manusia pasti menangis
Dan manusia pun bisa mengambil hikmah"
(Air Mata - Dewa 19)
Amara berdiri. Dia kembali ke kamar. Meninggalkan saya dengan lantunan lagu Dewa 19 dari Hp setengah butut ini yang niatnya untuk menghibur.
Lagi-lagi, setelah terhibur Amara seperti biasa: Pergi!
Teringat pepatah Minang dari seorang kawan: Aia diminum raso duri, nasi dimakan raso sakam yang berarti saya sedang perih menanggung penderitaan bathin.
Ah, ini salahnya Amara karena punya air mata buaya.
Penulis: PAI
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian/cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan