Opinion


Senin, 14 Februari 2022 16:17 WIB

BI View

Malu Karena Tanah Kita Tanah Surga?

Dari pengakuan dua orang lulusan pertanian, maka dapat dilihat bahwa tidak banyak generasi muda yang tertarik dengan dunia pertanian, dan angka ini lebih sedikit jumlah mahasiswa yang ‘terjebak’ di jurusan pertanian karena malu. 

 

Barang Langka Zaman Now, Petani Muda 

"Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu"
(Kolam Susu - Koes Ploes).


Syukur, kita hidup di Indonesia yang di berikan keberkahan alam beserta berjuta potensinya. Hingga Koes Ploes menciptakan lagu legend itu dan masih related hingga sekarang. 

Bagaimana tidak, batang ubi ketika asal di lempar, bukannya menjadi sampah atau membusuk, malah bisa tumbuh subur. Hampir setiap dataran Indonesia ditumbuhi tanaman, kalaupun bukan tanaman bermanfaat tapi pasti ada rumput. Sejatinya para manusia purba yang mengenal cocok tanam, akan sangat bahagia ketika menemukan karakteristik tanah di Indonesia. 

Namun sayang, kelebihan ini tidak dimanfaatkan dengan baik, khususnya oleh para generasi muda. Generasi ini lebih tertarik untuk membangun perumahan dari pada menjadikannya lahan untuk bercocok tanam. Stigma ini semakin jelas terlihat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), profesi petani di Indonesia menurun dari 35,7 juta orang pada tahun 2018 menjadi 33,4 juta orang pada tahun 2020. Ditambah lagi, hanya 8,08% dari seluruh jumlah petani yang masih berusia muda. Ini artinya petani-petani kita sudah semakin tua, dan regenerasi kian melambat. 

Bahkan, beberapa orang yang menyandang gelar lulusan pertanian masih enggan memilih petani sebagai pekerjaannya. Abdul Rahman atau dikenal Mamank yang juga alumni pertanian mengatakan: 

“Saat di awal pertemuan kampus kami dikumpul oleh senior kami di laboratorium terus ditanya, apa alasan kami masuk pertanian?  Anda tau jawabannya? 90% menjawab, ‘itu pilihan ketiga kami kakak’. Dari situ jelas bahwa jurusan ini hanya pelampiasan kekecewaan karena tak diterima di pilihan pertama saat ikut tes. Banyak teman angkatan Saya pada akhirnya tes ulang di tahun berikutnya demi mengejar jurusan idaman mereka. Banyak juga yang bertahan bahkan bisa cumlaude tetapi kemudian mendaftar menjadi karyawan bank," kata dia. 

Pengakuan ini diamini pula oleh M Lukmanul Hakim sebagai penyandang S1 Budidaya Pertanian, Universitas Mataram Tahun 2020. Dirinya mengatakan hal selaras. 

“Saya sendiri sebenarnya bukan orang yang benar-benar ingin masuk pertanian awalnya, bahkan pilihan pertanian saya ambil sebagai pilihan kedua setelah tiga kali gagal dalam mencoba masuk ke jurusan yang diidam-idamkan," sebutnya. 

Dari pengakuan kedua lulusan pertanian ini, maka dapat dilihat bahwa tidak banyak generasi muda yang tertarik dengan dunia pertanian, dan angka ini lebih sedikit jumlah mahasiswa yang ‘terjebak’ di jurusan pertanian karena malu. 

Tapi bukannya tanpa alasan generasi muda tidak tertarik menjadi petani atau bergelut di dunia pertanian, banyak lahan yang alih fungsikan serta banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi panen menjadi pertimbangan para generasi muda untuk menjadikan pertanian sebagai sumber penghasilan utama. Taraf kesejahteraan petani di Indonesia dianggap masih di bawah rata-rata dan kurang menguntungkan. Tapi regenerasi ini sangat diperlukan untuk keberlangsungan hidup orang banyak. 

Saat ini masyarakat Indonesia masih bisa bernafas lega karena kebutuhan pokok sehari-hari mudah didapatkan dengan harga terjangkau. Mari bandingkan dengan negara Korea Selatan, ketika harga pakaian dan kosmetik dapat dikatakan murah, malah harga bahan makan pokok mereka yang sulit dijangkau. Tidak hanya itu, runtuhnya Kerajaan Rusia juga didukung dengan terjadinya krisis pangan. 

Tapi, apakah kurangnya tingkat minat generasi muda untuk menjadi petani hanya karena, stigma miring petani mengenai pekerjaannya yang selalu di luar ruangan, jauh dari zona nyaman, bermain dengan tanah dan pupuk? Tentu tidak se-sepele takut kotor saja. 

Lembaga penelitian Akatiga yang menjadi lembaga penelitian non-profit yang menjadi rujukan terdepan penelitian bagi perubahan kaum marjinal di Indonesia, melalui kegiatan riset, advokasi, dan pertukaran pengetahuan meneliti tentang bagaimana kaum muda terus berusaha untuk tetap bertani. 

Studi bertajuk "Becoming a Young Farmers: Yong People’s Pathways into Farming in Four Countries" ini dilakukan di Indonesia, Cina, India, dan Kanada. 

"Mitosnya selama ini, anak muda tidak tertarik bertani karena ketinggalan jaman, kotor, dan sebagainya. Tetapi sebenarnya, ada tantangan yang harus dihadapi anak muda untuk bertani. Kelompok muda ini terhambat mendapatkan akses lahan," kata peneliti Akatiga Fadhli Ilhami. 

Ia mengatakan, akses terhadap lahan pertanian biasanya didapatkan setelah menikah atau setelah orangtua meninggal dunia. Sebelum mendapat akses lahan, anak-anak muda biasanya bekerja di bidang lain dahulu, atau bagi yang berada di pedesaan mereka memilih pindah ke kota untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Seperti yang kita tahu, padahal kebutuhan utama manusia dapat terpenuhi atas jerih payah para petani yang berusaha menyediakan sumber pangan. Tapi fokus masih terus berubah, beberapa daerah berlomba-lomba membangun fasilitas umum daripada memperhatikan ketersediaan lahan tani. Setiap tahun, angka kelahiran lebih tinggi dari pada kematian. Maka, jelas dapat disimpulkan kebutuhan pangan akan meningkat. Peningkatan ini sejalan dengan luasnya lahan pertanian? Tidak juga. 

Pertanian tentu harus mendapat perhatian baik dari generasi muda, terbukti sektor ini menjadi salah satu sektor yang bisa berjuang di kala pandemi melanda. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa produksi sektor pertanian mengalami peningkatan yang ditandai dengan adanya pertumbuhan ekspor pertanian sebesar 14,3%. Nilai tersebut menjadikan sektor pertanian sebagai penyelamat resesi ekonomi kuartal III yang merupakan imbas dari pandemi. 

Tapi apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga kekuatan pangan ini? 

Menurut Ketua Lembaga Ombudsman DIY Dr. Suryawan Raharjo, S.H., LL.M., jika pemerintah ingin menegakkan kedaulatan pangan, ada tujuh prasyarat utama yang harus dipenuhi. 1) Pembaruan agraria, 2) Hak akses rakyat terhadap pangan, 3) penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan, 4) pangan untuk pangan, bukan hanya sekedar komoditas yang diperjualbelikan, 5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi, 6) melarang penggunaan pangan sebagai senjata, 7) pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian. 

Kemudian, pemerintah juga bisa memberikan ruang untuk generasi muda untuk terlibat, hal ini bisa dimulai dengan membiasakan anak muda dengan pertanian. Melibatkan anak pada aktivitas Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan menyampaikan betapa besarnya peluang kerja dalam mengelola pertanian. 

Tidak hanya itu, menggandeng teknologi dalam bertani juga menjadi cara ampuh untuk menarik minat petani muda. Kemudahan yang ditawarkan juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dan tidak jarang ada pula yang alih profesi menjadi petani, seperti Maya Hari yang profesi aslinya adalah manajer. 

Dirinya menyampaikan, pemerintah Singapura bercita-cita untuk membuat negara kota dengan teknologi canggih itu menjadi negara penuh petak perkebunan dan semua orang harus berusaha merangkul lebih banyak teknologi dan metode modern pengembangan tanaman. Di teras apartemen yang berada di lantai 31, Maya Hari berhasil menanam cabe, terong dan pisang. Akan sangat tidak memungkinkan jika Singapura harus menanam kebutuhan pangan di lahan berhektar-hektar, karena luas negara tersebut tidak lebih besar dari provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 

Bersyukurlah Indonesia memiliki lahan luas dan subur, akan sangat disayangkan jika tidak sejalan dengan regenerasi petani dan pemanfaatan lahannya. Bersama teknologi, mungkin Indonesia mampu menjadi eksportir kebutuhan pangan dunia. 

Penulis: NTA 

(Riset penulis telah diperkuat dengan data dari BPS)


#ErzaldiRosman
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur