Belum juga kaki menyentuh tanah setelah mobil yang kami gunakan terparkir sempurna, suara mesin yang biasa mereka (penambang timah) sebut "Mesin Robin" sudah terdengar gemuruh saling bersahutan. Jarak antara jalan raya dan titik tambang timah lumayan bikin lelah untuk berjalan kaki, kurang lebih 300 meter.
SAYA tidak sendirian tentunya, ada sekitar 6 mobil lainnya dalam satu rombongan yang sudah lebih dulu di depan berdasarkan urutan pemangku jabatan, pastinya. Lokasi yang didatangi barangkali berjumlah puluhan kepala itu, tepat di pinggiran pesisir di Kabupaten Bangka.
Semakin dekat kami berjalan, untuk berkelakar dengan lawan bicara pun terpaksa suara harus ditinggikan agar pesan tersampai. Sembari berjalan, semua orang yang baru datang ini sudah disuguhnya pemandangan kawasan tambang rakyat yang tidak biasa. "Mewah" boleh saya katakan. Bagaimana tidak, suasananya sudah seperti pasar malam.
Tertata sekali, ada ruang parkir yang luas berderet kendaraan roda dua dan empat, berdiri tenda semi permanen khusus bagi mereka berjualan makanan. Bahkan, ada pondok yang laiknya mereka anggap itu sebagai ruang tamu untuk menyambut para pelawat. Jam operasional pun diatur, dimulai ketika matahari mulai meninggi, dan wajib terhenti sebelum gema adzan memulai.
Tambang rakyat ini dinamakan oleh mereka TI (Tambang Inkonvensional) Sebu Upin-Ipin. Setidaknya seperti itu yang tertulis di spanduk berukuran 1,5 meter terpampang di sebatang pohon kelapa yang menjulang, menjuntai ranting dedaunannya.
Mengais Secanting Demi Hidup Esok Hari
Sudah cukup sekiranya saya menggambarkan suasana tambang rakyat "mewah" ini. Lalu, apa yang didapatkan sebagai secuil informasi mengenai aktivitas mereka yang sudah berjalan selama dua tahun itu?
Kondisi saat itu bisa dibilang secara tidak langsung telah menerapkan prinsip "Lo-lo gue-gue" antara para penambang dengan beberapa pejabat teras daerah. Maksudnya kira-kira begini, para pejabat melihat kondisi untuk memutar otak mereka, mencari solusi, apa yang harus dilakukan ketika pasca tambang. Sementara, mereka, penambang tidak lain tahunya kerja, cari "cuan" untuk perut hari esok.
Apalagi, ada sang "Humas" yang sudah ditunjuk untuk mendampingi, menjawab semua pertanyaan, sekaligus penyambung lidah puluhan pekerja lainnya tentang harapan. Jadi, mereka hanya fokus mengeluarkan tenaga.
Dialog kecil terjadi di sela-sela lawatan. Sang petinggi daerah bertanya kepada emak-emak yang ada di sekitar lokasi dengan logat kentalnya bahasa Bangka. "Berape dapet sehari e (Berapa kalian dapatkan hasil dalam sehari)?".
"Ade lah pak, jadilah secanting-due canting kek maken isok (Lumayan pak, ada sekitar secanting-dua canting untuk makan besok)," jawab salah satu ibu-ibu, yang saya kira masih muda berusia antara 35-40 tahunan.
Sebagai informasi dari hasil ngulik penulis, harga timah per kilogram berkisar di angka 150-180 ribu rupiah, di luar harga yang dikeluarkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Timah yang berada di angka Rp130 ribu.
Tambang rakyat memang menjadi fenomena yang tidak lagi langka dijumpai di Kepulauan Bangka Belitung (Babel), negerinya timah yang kaya. Tetapi, yang masih kerap dan selalu jadi masalah, tak lain mengenai legalitas. Kebanyakan, mereka (penambang rakyat) tak mau tahu urusan pengakuan negara, yang mereka tahu, sekali lagi, hanya bagaimana perut bisa terisi. Perut bukan selembar kertas yang bisa diisi oleh setetes tinta, tapi perut nilai sejahtera bagi mereka. Sudah, itu saja!
Anda Bekerja, Anda Punya Kewajiban!
Sudah satu jam kunjungan itu berlangsung. Jam di tangan sudah menunjukkan angka 14.30 WIB, dan diskusi masih anteng dan santai. Satu per satu para pemangku jabatan memanfaatkan giliran mengungkapkan harapan, setelah lebih dulu mendengar harapan penambang. Ada satu harapan, yang lebih mengarah ke penekanan diungkapkan salah satu pejabat tinggi negara. Begini katanya;
"Ini harus ditata lagi, tidak enak dilihat seperti ini. Juga harus bayar pajak, jangan maunya nambang saja tapi pajak tidak dibayarkan ke negara. Perhatikan juga soal kebersihan sekitar, dan lingkungan. Karena soal lingkungan ini kita selalu disalahkan, perhatikan itu!".
Jelas, bahwa ia sedang "memaklumi" tentang isi perut yang harus diisi oleh penambang, tapi juga menekankan ada kewajiban yang juga harus dipenuhi. Ada juga perut lain yang harus dipikirkan, apalagi kalau bukan perut bumi. Mereka (alam) menyediakan kekayaan, mereka juga harus ditata (kembali). Uang yang diterima pun jangan 0 Rupiah tanpa tersisa untuk negara, ada pajak di situ. Begitu kira-kira pesannya.
"Insyaallah dalam waktu dekat kita akan mengadakan rapat bersama. Jangan sampai kita banyak dapat hasil tapi lingkungan rusak, kan percuma juga. Kita inginnya tambang dapat berhasil dengan baik, dan lingkungan tetap terjaga," demikian pejabat lainnya menegaskan.
RGA