Jam di tangan menunjuk angka 3. Masih pagi buta. Mata saya terpaksa harus tajam melihat ke depan. Sesekali menoleh kanan-kiri memastikan mobil bos yang saya kemudikan tak sial menyenggol orang sial lainnya. Maklum, masih dipengaruhi alkohol.
Sementara bos saya masih tertidur pulas di sebelah. Tangan kanannya masih memegang Hp Nokia Communicator, Hp 'sultan' di era-nya. Kami baru saja dari rumah istri mudanya. Bos mengantar jatah bulanan sembari meminta 'jatah' mingguan.
Di kursi belakang mobil Nissan Terrano hitam yang kami pakai ada tas plastik warna biru tua. Resletingnya terbuka setengah. Pertanda tas itu pernah dikeluarkan isinya. Isi di dalam tas itu sejumlah uang. Banyak. Uang itu baru ditarik dari salah satu bank siang tadi oleh tangan kanan bos, seorang wanita.
Uang itu jatah bulanan aparat-aparat yang membekingi usaha besar bos saya. Usaha timah. Ya. Bos saya salah satu 'otak' di balik tambang-tambang yang saat itu merajalela karena baru saja dibebaskan untuk dikuras.
"Tolong siang kau antarkan tas itu ke tempat biasa. Tapi bilang sama ajudannya jangan kalian diam-diam ambil itu uang," kata bos saya sebelum kami sampai di rumah istri mudanya. Ya. Tugas saya yang utama adalah membagi-bagikan uang ke 'kawan-kawan' bos yang pakai seragam.
Saya tidak akan menceritakan bagaimana dan siapa bermain apa. Tidak. Saya hanya ingin berbagi pengalaman. Jangan terlalu lama terlena dengan zona yang nyaman. Terlambat sedikit saja mengambil keputusan, maka masa depan taruhannya. Dan lebih penting, harga diri.
Saat itu tahun 2005. Bos saya dikenal sebagai 'mafia'. Sehingga siapa saja rela menjilat hanya untuk dekat.
Sementara saya hanya bawahan yang bernasib baik yang tak sengaja ia lihat saat rapat. Ia tak kenal saya, bahkan tak pernah melihat sebelumnya. Namun siang itu nasib saya berubah. Dia memanggil dan meminta saya menjadi 'sopir' hanya karena saya cuma diam di rapat dan dianggap tak berkontribusi mengeluarkan ide.
Sejak hari itu saya melihat peluang dan perlahan menjadi orang yang menjadi jembatan penghubung dia dengan pihak lain. Itu artinya saya memegang penuh kendali.
Hidup saya berubah sejak hari itu. Saya mulai menjadi sosok yang tak ubahnya seperti bos saya. Bergaya hidup ala-ala 'mafia'. Mulai congkak dan selalu menilai orang dengan uang. Nyaris punya segalanya, yang tak saya punya cuma empati. Uang tak ada arti. Hambur sana-hambur sini. Bahkan jeritan orang tua pun saya tak perduli.
Tepatnya 2006, setahun saya menjadi 'tangan kanan' dan menjadi sosok yang terlalu nyaman dengan keadaan, tiba-tiba saya bertemu seseorang. Teman lama. Seseorang yang berusaha merubah saya kembali menjadi yang dulu. Menjadi pribadi yang ia kenal sebelum kami berpisah.
"Masa depanmu bukan di situ. Semakin lama kamu di dekatnya semakin jauh kamu terjatuh. Pergilah. Pergi dari situ. Pulanglah ke rumah. Kamu sudah terlalu jauh. Pulanglah. Karena rumah adalah tempat untuk kamu memulai dan mengakhiri," kata teman lama saya saat kami duduk berdua di selasar sekolah di depan kamar.
Sejak hari itu, jelang magrib saya pun memutuskan untuk mengikuti nasihat teman itu. Dan besoknya saya memberanikan diri menghadap bos dan berkata:
"Pak, saya izin ingin kuliah lagi ke Palembang. Saya pamit,"
Di mulai dari perpisahan itu saya kembali menginjak bumi. Membuang semua hal buruk dan memulai perjalanan baru hingga saat ini.
Namun ada satu kalimat dari mantan atasan saya yang menjadi bahan romansa teman-teman hingga saat ini. Bahwa jika dia bertemu saya, maka dia akan menembak kepala saya karena telah membohongi dia. Maafkan saya, pak. Jika saya tetap di sana, mungkin saya tak pernah merasakan nikmatnya perjuangan dan membagikan kisah ini ke orang lain agar mereka tak takut untuk mengambil keputusan.
Dan untuk teman lama yang telah berdarah-darah dan tak putus asa merubah saya, semoga kamu tetap sehat di sana dan berbahagia walau kita tak pernah bisa berdua.
Penulis: PAI
(Kisah nyata seorang sahabat yang berjudi dengan keputusan)