Sejarah Perayaan Cheng Beng
"Tidak ada manusia jika tidak ada orangtua dan leluhur, tidak ada mereka jika tidak ada Sang Pencipta, maka sekalipun sudah meninggal dunia, leluhur harus selalu dihormati, karena mereka yang mengawali.“
Salah satu hari besar keagamaan yang dirayakan Etnis Tionghoa di seluruh dunia yakni Ceng Beng atau Qing Ming. Menurut salah seorang budayawan Bangka Belitung Willy Siswanto, Ceng Beng merupakan dialek yang berasal dari suku Hokkian atau Han, yang merupakan suku terbesar dari 65 suku China yang ada di seluruh dunia, dalam bahasa Hakka perayaan ziarah kubur ini disebut Chin Min dan secara internasional menyebutnya Qing Ming.
Menurutnya, Cheng Beng berasal dari ajaran Lao Tse yang sudah ada sejak 300 Sebelum Masehi, dan 22 tahun sebelum Kong Hu Cu. Lao Tse yang merupakan seorang penyair dan filsuf ini melahirkan dua aliran, yang pertama Dao yakni ajaran Taoisme dan yang kedua yaitu De yang berarti ajaran sosial.
Dalam ajaran Lao Tse memilki 5 inti utama tentang darma bakti dan ajaran ini sudah bercokol sejak 300 Sebelum Masehi, yakni bakti kepada Thian (Tuhan), orangtua, saudara, teman-teman, dan alam. Lao Tse hidup pada zaman Dinasti Han yang merupakan suku terbesar di Cina yang mencapai 46 persen dari jumlah penduduk.
Di tahun 772 Masehi, Dinasti Tang yang berkuasa selama 80 tahun, memilki pangeran yang benama Chou Er. Ditambahkan Willy, terdapat sebuah kisah pada dinasti ini yang membuat penghormatan kepada sang leluhur menjadi hal yang wajib untuk dilakukan. Chou Er dahulu pernah difitnah oleh selir raja, sehingga harus mengungsi di sebuah gunung bersama beberapa orang kepercayannya. Di masa-masa sulit mereka kelaparan di dalam gua tersebut, dan salah seorang prajurit yang setia bernama Jie Zhitui tak memiliki pilihan lain, dirinya pun memotong salah satu tangannya agar pengeran Chou Er tidak kelaparan, singkat cerita setelah selir meninggal, Chou Er kembali ke istana, dan mengajak prajurit tersebut untuk kembali bersamanya. Namun prajurit itu menolak dan tetap ingin bersama dengan ibunya yang sudah renta di gua itu. Tak lama berselang kabar kematian prajuit dan ibunya pun terdengar oleh Chou Er, perasaan bersalah, dan juga kehilangan membuat dirinya memutuskan untuk mencari jenazah dari Jie Zhitui dan ibunya, yang ternyata sudah meninggal pada musim dingin di gua tersebut. Sejak saat itu, ketika musim semi datang, Chou Er selalu berziarah kesana sebagai bentuk penghormatan tertinggi dan rasa kasih sayang. Chou Er pun memerintahkan penduduk agar membuat tradisi perayaan musim semi sebagai bentuk penghormatan untuk prajuritnya dan digabungkan dengan perayaan Cheng Beng yang dicetuskannya terlebih dahulu.
Chou Er merupakan salah seorang pangeran yang menerjemahkan ajaran-ajaran Lao Tse dalam kehidupannya. Dirinya memiliki keyakinan bahwa hormat terhadap orangtua dan leluhur harus dilakukan dalam wujud yang nyata, diwujudkan dalam tradisi Qing Ming atau Ceng Beng sebagai salah satu tradisi untuk menghormati para leluhur.
Tradisi Ceng Beng ini sudah berjalan 3000 tahun lamanya. Kerena hal inilah ritual Ceng Beng menjadi salah satu tradisi yang sakral, yang membuat banyak orang keturunan Tionghoa dari latar belakang apapun, dan di manapun selalu pulang untuk melakukan Ceng Beng sebagai wujud rasa hormat dan syukur. Dalam penanggalan Cina, ziarah kubur dapat dilakukan mulai tanggal 15 sampai 23, sedangkan puncak tradisi Ceng Beng ini biasanya jatuh pada tanggal 4 atau 5 April pada kalender Masehi setiap tahunnya. Ditahun 2021 ini, puncak Ceng Beng jatuh ditanggal 4 April, namun sebelum tanggal puncak tersebut, diperbolehkan jika ada yang ingin melakukan ziarah terlebih dahulu, sebagian besar masyarakat Etnis Cina juga biasanya sudah berkumpul dengan sanak keluarga dan bersiap untuk melaksanakan ritual Ceng Beng yang sarat makna.
Penulis : Gusti Neka
Subscribe Kategori Ini