Opinion


Kamis, 20 Januari 2022 12:06 WIB

BI View

Memangnya Kenapa Kalau Perempuan 'Sarjana' Mengurus Dapur?

“Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau masih ngurusin dapur.”
“Sarjana kok masih mau saja masak.”


Netizen Julid.

Akhir-akhir ini, pasti familiar dengan banyaknya ‘gaungan’ lisan maupun tulisan tentang kata-kata di atas. Bahkan ini sempat trending di berbagai media sosial, terutama twitter. Ada perempuan yang dengan tulusnya memasak untuk dirinya sendiri, orang tua, adik, suami maupun anak, malah dibully. Perempuan yang menyukai urusan dapur dipandang seakan bodoh atau tidak memiliki pemikiran terbuka. 

Memangnya kenapa kalau perempuan yang berpendidikan tinggi terjun ke dapur untuk memasak? Bukankah setiap manusia punya pilihannya masing-masing? Lalu, mengapa harus ada sindiran yang begitu menusuk? Ini tidak hanya menusuk perempuan yang sarjana saja, namun juga perempuan yang tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.

Lantas kalau perempuan yang berpendidikan tinggi tidak boleh ke dapur, berarti mereka yang ditakdirkan hanya lulusan SD, SMP, SMA boleh-boleh saja? Sah-sah saja? Sungguh tak adil jika seperti itu adanya. Merasa perlu keadilan ketika perempuan yang berpendidikan tinggi ada yang turun ke dapur. Namun, yang dituntut justru dapat merendahkan orang lain. Jika memang ingin menyuarakan keadilan, ada baiknya jangan membawa-bawa status pendidikan. Kalau hendak menyuarakan perempuan seharusnya tidak ke dapur, maka bela-lah semuanya. Jangan hanya sebagiannya saja.


Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi merupakan sebuah kesempatan yang tak semuanya dapat merasakan. Banyak sekali yang ingin menjadi sosok yang berpendidikan, namun apa daya, biaya pendidikan yang cenderung tak murah memaksa banyak perempuan bahkan laki-laki harus rela menghentikan langkahnya ke sekolah tinggi. 

Turun ke dapur bukanlah kewajiban siapa-siapa, semua bisa-bisa saja mengerjakannya. Baik itu perempuan maupun laki-laki. Memasak bukanlah keharusan yang harus dimiliki suatu gender. Bisa memasak atau tidak, itu pilihan. Lagi pula, tidak ada salahnya jika bisa memasak. Memasak itu ilmu untuk bertahan hidup. Sewaktu-waktu pasti akan bermanfaat. Contohnya: ketika kamu hendak berhemat, maka memasak sendiri di rumah/kos dapat mengurangi pengeluaranmu. 

Iya, tak apa jika kamu berpikiran “kan bisa beli saja di luar”, “grab food atau gofood aja lebih praktis”, atau “bayar asisten rumah tangga aja”. Tapi, adakalanya kita harus memikirkan worst case atau hal terburuk yang kemungkinan dapat terjadi ke depannya. Roda kehidupan tentunya berputar, kadang kamu bisa saja sedang di atas, tapi suatu saat kamu juga bisa berada di bawah. Maka, tak ada ruginya jika kamu bisa memasak. 

Memasak sendiri makanan untuk diri sendiri atau pun keluarga juga jauh lebih baik untuk kesehatan. Ya, kita bisa mengatur seberapa banyak garam, gula, micin, banyaknya sayuran atau daging yang hendak kita gunakan. Belum lagi, kebersihan dari masakan itu sendiri tentunya jauh lebih terjaga dibandingkan dengan beli di luar. 

Memberikan yang terbaik untuk yang tercinta


Sebagai seorang manusia, tentunya kita punya rasa kasih sayang pada diri sendiri dan keluarga. Rasa inilah yang menggerakkan manusia untuk melakukan yang terbaik untuk orang yang dicintainya. Belum lagi, setiap manusia juga dipercaya memiliki bahasa cinta ( love language )-nya masing-masing. Ada yang berupa kata-kata cinta, quality time, atau berupa tindakan. Ada beberapa orang yang merasa bahwa memasak untuk orang yang ia sayangi adalah bentuk cinta mereka. Maka, kita memang tidak bisa asal menilai keputusan dan pilihan orang lain. 

Jika memang ada yang merasa terpaksa bahkan dipaksa untuk bisa memasak atau harus memasak, ini bisa saja menjadi hal yang dapat dijadikan isu untuk dibela. Namun, jika ada yang memasak dengan senang hati tulus ikhlas melakukannya, untuk apa kamu koar-koar bahkan menyakiti hatinya? Bahkan dengan lancarnya membodoh-bodohkan orang lain. 

“Bodoh sekali membuatkan bekal untuk suaminya”

“Ngapain sih masak untuk bapakmu? Emang nggak bisa beliau masak sendiri?”

Ingatlah, bahwa berpendidikan tinggi bukan berarti bisa seenaknya bahkan menginjak. Justru, sebaliknya, kita yang berpendidikan tinggi bisa lebih bijak dalam bertindak dan bercakap. Berpendidikan tinggi justru membawa kita untuk lebih baik lagi dalam bersikap dan mengontrol diri. Tentu, perempuan yang berpendidikan tinggi tak akan menjatuhkan perempuan lainnya, baik itu yang lebih tinggi, setara, bahkan di bawahnya. 

 INP

#Perempuan #Sarjana
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur