Fungsi Dan Efek Film Ditinjau Dari Ilmu Komunikasi
Segenap insan perfilman Indonesia, bahkan seluruh masyarakat Indonesia baru saja memperingati Hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret tiap tahunnya. Banyak insan perfilman dan sineas Indonesia yang mengunggah ucapan peringatan Hari Film Nasional ini di media sosial. Namun kali ini, penulis akan mengulas secara teoritis dan praktis mengenai pengertian, fungsi, dan efek film jika ditinjau dari kacamata Ilmu Komunikasi. Karena film merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang menampilkan tayangan yang bisa dinikmati oleh audiens secara audio visual.
Sementara itu, pengertian film menurut pakar sastra Indonesia, Harimurti Kridalaksana adalah lembaran tipis, bening, mudah lentur yang dilapisi dengan lapisan antihalo, dipergunakan untuk keperluan fotografi. Film merupakan alat media massa yang memiliki sifat lihat dengar (audio visual) dan dapat mencapai khalayak yang banyak.
Dalam buku Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Prof. Onong Uchyana Effendy mengatakan bahwa, film adalah medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Bahkan film sendiri banyak yang berfungsi sebagai medium penerangan dan pendidikan secara penuh, artinya bukan sebagai alat pembantu dan juga tidak perlu dibantu dengan penjelasan, melainkan medium penerangan, dan pendidikan yang komplit.
Fungsi Film
Dikatakan Joseph A. Devito dalam bukunya Komunikasi Antar Manusia, walaupun kita sering menganggap film sebagai sinonim dengan hiburan, banyak film menjalankan fungsi yang lain. Bahkan film hiburan tak sekedar menghibur, film juga berfungsi mempengaruhi dan meyakinkan. Bahkan film informasi berhasil digunakan di sekolah-sekolah ataupun di organisasi-organisasi bisnis.
Jika dirincikan, Joseph A. Devito menyebutkan beberapa fungsi komunikasi massa di antaranya menghibur, meyakinkan, mengukuhkan, mengubah, menggerakkan, menawarkan etika atau sistem nilai tertentu, menginformasikan, menganugerahkan status, membius serta menciptakan rasa persatuan.
Film Memberikan Beragam Efek
Film bisa menjangkau berbagai lapisan masyarakat dari berbagai rentang usia, beragam latar belakang pendidikan, beragam profesi. Untuk itu, film dianggap efektif sebagai media yang memberikan edukasi maupun sosialisasi. Bahkan dunia marketing kerap mengemas iklan produk atau jasanya melalui sebuah film pendek. Karena film diyakini bisa memberikan berbagai dampak yang diinginkan oleh produser film tersebut. Saat ini, film tak hanya bisa diakses melalui perangkat televisi saja. Namun, film bisa ditonton melalui internet, aplikasi film berbayar, atau media sosial yang diakses di telepon genggam.
Nurudin dalam buku Komunikasi Massa mengatakan, komunikasi massa mempunyai efek yang berwujud pada tiga hal. Antara lain efek kognitif (pengetahuan), efek afektif (emosional dan perasaan), dan efek behavioural (perubahan pada perilaku). Dalam perkembangan komunikasi kontemporer saat ini, sebenarnya proses pengaruh (munculnya efek kognitif, afektif, dan behavioural) tidak bisa berdiri sendiri. Dengan kata lain, ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi proses penerimaan pesan. Jadi pesan itu tidak langsung mengenai individu, tetapi ‘disaring’, dipikirkan dan dipertimbangkan, apakah ia mau menerima pesan-pesan media massa itu atau tidak. Faktor-faktor inilah yang ikut menjadi penentu besar tidaknya faktor efek yang dilakukan media massa.
Teori efek tersebut tentu berlaku sama untuk film yang merupakan salah satu bentuk komunikasi yang menjadi bagian dari bentuk komunikasi massa. Namun tentu saja efek tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya perasaan internal audiens, tingkat pendidikan dan pola pikir, usia, serta lingkungan. Pada sebagian orang, film bisa saja hanya memberikan efek secara kognitif. Artinya, film hanya sebatas memberikan dan menambah pengetahuan bagi audiens. Namun ada juga film yang memberikan efek afektif yang mempengaruhi emosional dan perasaan audiens. Efek ini mungkin dirasakan oleh sebagian besar audiens, terutama untuk film berjenis drama yang bisa membawa audiens ikut terhanyut ke dalam alur cerita yang dikemas secara dramatis. Bisa saja film laga yang membuat audiens menjadi bersemangat dan menaikkan adrenalin, dan bisa saja film bergenre horor membuat audiensnya menjadi bergidik saat menontonnya.
Selain itu, film juga bisa memberikan efek behavioural (perubahan pada perilaku). Efek inilah yang membuat kemudian film dikategorikan sesuai kelompok umur. Film yang menggambarkan nilai-nilai yang baik tentu efek behavioral yang diharapkan juga baik. Namun terkadang ada film yang juga menyajikan unsur kekerasan, aksi laga, kejahatan dan lain sebagainya.
Untuk film seperti ini, tentu tak bisa dinikmati oleh semua jenis umur, anak-anak atau remaja tentu harus mendapatkan pendampingan dalam menikmati film seperti ini, agar bisa diberikan penjelasan lebih lanjut sehingga adegan di film tersebut tak memberikan efek perubahan perilaku atau peniruan oleh kelompok umur tersebut. Pesan film bisa saja terdistorsi jika tanpa pendampingan, inilah hal yang harus diwaspadai.
Kriteria Film yang Berkualitas atau Bermutu
Prof. Onong Uchyana Effendy dalam buku Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, menuturkan film-film bermutu jika memenuhi butir-butir di antaranya:
1. Memenuhi tri fungsi film. Fungsi film adalah hiburan, pendidikan, dan penerangan. Orang menonton film tentu untuk mencari hiburan, apakah itu tertawa, mencucurkan air mata, atau membuat gemetar ketakutan. Jika film membawa pesan bersifat mendidik atau memberi penerangan, ini bisa saja menjadi salah satu penentu bermutunya suatu film.
2. Konstruktif. Film yang bersifat konstruktif ialah berisi adegan-adegan yang memberi nilai-nilai positif bagi audiens.
3. Artistik-etis-logis. Film tentu harus artistik, karena film adalah karya seni. Film dikatakan bermutu apabila membawakan cerita yang mengandung etika dan berpenampilan logis.
4. Persuasif. Film yang bersifat persuasif adalah film yang ceritanya mengandung ajakan secara halus, ajakan untuk berpartisipasi dalam pembangunan 'national and character building'.
Sejarah singkat perfilman Indonesia
Dilansir dari laman Instagram @museumpenerangan, bioskop pertama di Indonesia bernama Talbot, didirikan di Tanah Abang Jakarta pada 5 Desember 1900. Pada masa ini, film disebut dengan ‘gambar idoep’. Pada 1926, muncul film pertama di Indonesia dengan judul Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Rentang tahun 1942 hingga 1949 merupakan masa surutnya perfilman Indonesia, karena bioskop hanya boleh memutar film propaganda Jepang. Pada 1950, film pertama produksi orang Indonesia dibuat dengan judul ‘Darah dan Doa’ atau ‘Long March of Siliwangi’. Disutradarai oleh Usmar Ismail. Penetapan Hari Film Nasional berdasarkan pengambilan gambar pertama film ini yaitu, 30 Maret 1950.
Pada tahun 1962-1970, akibat peristiwa G-30S PKI pengusaha film Indonesia mengalami kesulitan karena tidak bisa mengimpor film. Namun pada akhir era ini, bisnis bioskop berhasil diselamatkan. Pada 1978, didirikan Cineplex Djakarta Theater oleh Sudwikatmono dan menyusul dibangunnya Studio 21 pada 1987. 1991-1998 merupakan era menurunnya perfilman Indonesia. Sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tidak ada lagi otoritas yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap proses produksi film nasional. Namun pada tahun 2000 dianggap era kebangkitan film nasional. Ditandai dengan munculnya film yang mendulang sukses di antaranya berjudul ‘Cinta Dalam Sepotong Roti’ karya Garin Nugroho, ‘Petualangan Sherina’ oleh Mira Lesmana, ‘Ada Apa Dengan Cinta’ oleh Rudi Soedjarwo.
Film Berlatar Budaya Bangka Belitung
Sineas Indonesia juga pernah mengangkat adat, budaya, dan alam Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang memiliki daya tarik secara nasional maupun dunia ke dalam film layar lebar. Berawal dari film Laskar Pelangi yang rilis di Tahun 2008. Film ini diadaptasi dari sebuah novel karya Andrea Hirata, penulis yang berasal dari Belitung Timur. Film yang disutradarai Riri Riza ini mendulang sukses dan berhasil mengangkat nama Belitung, yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan Negeri Laskar Pelangi.
Selanjutnya, ada juga film layar lebar yang berjudul Martabak Bangka. Film yang rilis di Tahun 2019 ini menyajikan akulturasi budaya Melayu dan Tionghoa di Babel. Kehidupan harmonis masyarakat dengan latar belakang etnis, budaya, dan agama yang beragam diceritakan dalam film ini.
Yang terbaru adalah film berjudul Destiny yang baru saja rilis Maret 2021. Film ini bercerita tentang interaksi budaya negeri melayu dan menampilkan keindahan alam Babel.
Dari film-film diatas terkandung berbagai fungsi seperti menghibur, meyakinkan, mengukuhkan, mengubah, menggerakkan, menawarkan etika atau sistem nilai tertentu, menginformasikan, menganugerahkan status, membius serta menciptakan rasa kebersatuan. Bahkan film-film ini menjadi media promosi pariwisata yang bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Pandemi Covid-19 ternyata tak membatasi sineas dan insan perfilman Indonesia untuk terus berkarya. Namun, tentu dalam setiap aspek kehidupan saat ini, kita harus mengedepankan protokol kesehatan. Maju terus perfilman Indonesia.
Penulis : Lisia Ayu Andini
Subscribe Kategori Ini