Sebuah tulisan yang terinspirasi dari perjalanan panjang penulis dari Pulau Bangka menuju Padang bersama dengan 20 orang sahabatnya
Rangkaian kalimat keluh sekaligus umpatan kekesalan tersulut dari ujung bibir Pak Manta yang ditujukan kepada saya. Dia buruh cabutan di salah satu
pool (tempat mangkal mobil lintas provinsi) di perbatasan Jambi-Sumatera Barat. Kami berdua sebetulnya tak berniat berkenalan karena saya cuma mau meminjam korek Pak Manta.
"Kalau saya tak kuat-kuatkan badan, tak makanlah saya sama bini. Tuhan bisa apa? Punya anak pun tapi entah apa gunanya," itu kata Pak Manta dengan logat Sumatera pesisirnya yang kental.
========
Kebetulan rombongan kami jelang siang berhenti di
pool itu sekitar satu jam untuk istirahat makan dan meregangkan otot-otot badan. Ada rumah makan khas Padang di situ, sepertinya kami berhenti di daerah Muaro Bungo Jambi yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat. Saya kurang yakin. Tapi nampaknya iya.
Kami harus istirahat. Maklum, sendi-sendi kaki nyaris mati karena berjam-jam harus menekuk dalam perjalanan darat dari Palembang menuju Bukit Tinggi. Jikapun bisa tidur, kita harus pandai mengukur.
Karena bus yang kami tumpangi ke Bukit Tinggi berbeda dengan yang awalnya berangkat dari Tanjung Siapi-Api. Bus tersebut bermasalah dan harus diganti dengan bus yang lebih imut, sehingga kalau mau berbaring maka harus berbagi. Beberapa dari kami bahkan mabuk darat. Itu termasuk saya. Mabuk berat.
Dari kejauhan dari tempat saya makan, saya melihat Pak Manta duduk bersila di bawah pohon. Tak terlalu rimbun. Banyak ranting kosong yang ditinggal mati dedaun. Karena bias-bias sinar matahari yang keras, jelas terlihat menggigit punggung pria tua yang kurus itu, yang beberapa bagian kulitnya nampak terkelupas.
Tapi ia tampak sangat menikmati kesendirian. Asap rokok yang ia hisap dalam-dalam mungkin saja bercampur debu jalanan, dalam hatiku ingin iba. Tapi lagi-lagi, masih ia nikmati. Kakinya yang bersila menindih karung plastik putih lusuh. Entah apa isinya tapi Pak Manta sangat menjaga, sesekali karung itu ia kebas untuk mengusir sialnya pasir-pasir yang dibawa angin.
Sedikit basa-basi, saya 'tukar' korek api pinjaman Pak Manta dengan pertanyaan, "Bapak sedang apa?,".
Tak lama, untaian cerita mengalir begitu saja. Kami berdua terlibat berbagi kisah sambil menegak kopi pahit ditemani sembarang rokok, maklum di rumah makan itu stok rokok yang dijual tak banyak merk. Rokok favorit saya pun tak dijual di situ.
"Saya masih kuat. Saya tak mau-lah berdiam diri. Saya memang tak punya otak kayak orang pintar. Yang saya punya cuma tenaga, ini sisa-sisanya, untuk makan saja. Jika ada yang menyebut ini nikmat Tuhan, apa ini yang namanya nikmat?," kata Pak Manta saat saya berusaha bersimpati atas kondisi fisiknya yang telah menua dan keriput namun masih harus bolak-balik mengangkut.
Memang. Dengan kondisi seperti Pak Manta tidaklah punya banyak pilihan yang bisa ia takar untuk ditukar-tukar. Tinggallah ia berharap dengan sisa-sisa tenaga yang ada, bisa membawa pulang seratus-dua ratus ribu seminggu ke lipatan tangan sang istri. Katanya, cukuplah itu bagi mereka, karena bagi Pak Manta rezeki itu bukanlah pemberian dari Sang-Maha-Baik, melainkan karena memang ia masih mampu melebur peluh.
"Kalau Tuhan itu ada, hari ini saya tidak di sini, tapi di situ (sambil menunjuk orang-orang yang sedang melahap kalap nasi hidangan)," kata Pak Manta.
Apa yang disampaikan Pak Manta memaksa saya memundurkan waktu beberapa tahun silam. Waktu itu saya pernah ditunjuk mencari peribahasa yang terbaik sebagai pemacu semangat karyawan-karyawan di tempat saya bekerja untuk memperingati hari jadi kantor.
Syarat peribahasnya harus yang mengena, sedikit brutal, melayu-sentris dan jika dibaca mestilah indah.
Maka, inilah peribahasa yang saya pilih:
"Menajamkan kapak semenit lebih baik daripada menghayun kapak yang tumpul sepanjang hari".
Artinya, dalam menjalani hidup sebaiknya kita menyeimbangkan kekuatan otak dengan fisik. Berotak tapi tubuh tak kuat sama kadarnya dengan punya tubuh kuat tapi tak berotak.
Alasan saya memilih peribahasa melayu itu, karena kadang di antara kita banyak melakukan dan memutuskan sesuatu dengan tergesa tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya, sehingga pada akhirnya hanya rasa sesal nan merugi yang terus menghantui karena dikalungi syarah.
Percayalah, sesal itu nyata dan pasti datang tanpa diundang, tanpa bisa ditawar apakah kita siap atau tidak, yang mungkin saat ini ia sedang menanti janjinya untuk unjuk diri.
Saya mempresentasikan itu di muka rapat. Saya katakan kala itu, baiknya kita dapat belajar banyak dari peribahasa ini, agar sebelum bertindak alangkah baiknya menajamkan kapak terlebih dahulu. Memikirkan dan mempertimbangkan dengan matang sebelum melenggang. Semua setuju. Dipakailah peribahasa itu sebagai pengingat kami hingga hari ini.
Kadangpun, di seperempat hari yang kita jalani, mungkin kita senantiasa memandang kehidupan hanya soal untung dan rugi. Terkadang juga sering terhempas kecewa karena setelah berusaha keras tapi hasil tak jua tampak muka. Walhasil, kita pesimis dan mencaci-maki si batu sandung, melaknat diri sambil mengurai dosa. Padahal tak semua yang nampak rugi itu sepanjangnya rugi, kadang-kadang untung menanti di ujung.
Apa yang diceritakan Pak Manta kepada saya dan apa yang telah saya tuliskan di atas kepada anda, keduanya memiliki persamaan makna: Berfikirlah dahulu sebelum mengangkat satu kaki untuk mengikuti langkah kaki yang lain.
Alangkah baiknya kita
tabayyun kepada diri sendiri sebelum berkata iya. Ajaklah otak, pikiran dan hati berbincang sebelum memutuskan. Agar kelak tubuh yang menopang ini, tak sia-sia berkorban menanggung beban. Buang jika perlu maklumat-maklumat manusia yang hanya ingin mendengar apa yang ingin ia dengar dan hanya ingin melihat apa yang ingin ia lihat.
Sesekali putarlah kepala ke samping, luaskanlah pandangan, karena dengan luasnya pandangan, luas pulalah kesempatan bermakrifat terhadap isi otak, hati, pikiran dan tubuh. Jangan zalimi tubuh pemberian Tuhan hanya karena nafsu sesat dan sesaat duniawi, karena besok, siapa yang tahu, Dia meminta kembali apa yang sudah Dia beri dengan cara-Nya sendiri.
Tak ada gunanya kita menyogok Tuhan di saat kita sadar sedang mengolok-olok Sang Khalik melalui aksara dan lakon durja yang kita mainkan tiap hari. Manusia memang dibekali keangkuhan yang tinggi. Sering tak percaya sebelum Tuhan berkata "Kun fayakun!".
Karena saya, anda, dia, kita dan mereka, pernah di saat sedang berlakon durja, turut menyeret nama-Nya di sela perbuatan laknat. Kita berharap supaya dosa dan pengampunan tak saling melekat. Layaknya usai shalat, kau bermaksiat. Tuhan tidak sebercanda itu sobat.
Kita cuma bisa menunggu. Saat nanti Ia sudah muak melihat tingkah kita, Ia akan meminta kembali apa yang telah Ia beri. Padahal, Tuhan mencoba sabar menunggu kita sadar.
Kawan, mari kita tata hati, otak dan pikiran. Jaga agar tetap eling dan sehat, sampai di mana masanya kekuatan tubuh sudah tak lagi mampu menopang beban hayat. Pak Manta telah menggambarkan itu. Dia telah lama lelah karena merasa menjadi anak tiri Tuhan.
Percayalah, di atas sana,
Halikuljabbar sedang melihat tingkah kita yang kadang tak malu menelanjangi norma diri, demi syahwat dan birahi, sambil menari memanggil-manggil nama-Nya di sela perbuatan dosa berkali-kali. Lalu dengan congkaknya, kita berharap Sang-
Almalik pura-pura berbaik hati? Sekali lagi, Allah, Sang
Ismu al Dzat al Wajib ul Wujud, tak sebercanda itu.
----
Tak lama kami berbincang, di ujung sana, si matahari perlahan mulai menyelesaikan tugasnya dan menyilakan sang bulan berbagi fardu. Akhirnya saya dan Pak Manta harus berpisah. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan. Dan Pak Manta masih harus berjuang memikul beban. (*)
(Tulisan ini saya dedikasikan untuk 20 orang sahabat-sahabat saya yang tetap sehat hati, akal, pikiran dan tubuhnya sampai hari ini, usai menempuh perjalanan panjang Bangka-Padang, 24-29 Desember 2021)
Penulis:
PAI