Letters
Hujatan Di Hajatan
Caci-maki, sumpah serapah, tapi sesekali kelakar canda menyumbang tawa mengalir deras dari keras dan panasnya aspal di mana kaki emak-emak berpijak, menanti antrean BBM, di kota kami yang (masih) tercinta.
"Mintaklah yang ngerit binsin mati tetimbun binsin!," seru seorang emak-emak yang melepas maskernya demi menyerapahi seorang pria setengah baya yang lewat pakai motor setengah modif. Tankinya ada bekas las.
Bukan hanya emak-emak itu, sepanjang antrean semua orang menyoraki pria tadi. Si pria santai saja, masih tanpa membuang rokok kretek yang terselip di bibir. Dia berlalu seakan tanpa tahu, dialah penyebab emak-emak turun gunung.
Panjang. Panjang sekali antrean. Bahkan nyaris tak berujung. Itu layaknya sebuah hajatan. Seperti sebuah pesta di mana sang tuan rumah cuma menyiapkan satu meja prasmanan.
Ada yang lapar setengah mati. Ada yang menggerutu sepanjang hari karena kakinya cuma bisa selangkah maju dalam satu jam.
Ini gambaran bercandanya manusia yang mencandai manusia lain. Yang punya hajatan cuma terkekeh di belakang meja saat video-video amatir bertebaran di media sosial, memperlihatkan bagaimana emak-emak menahan teriknya panas, mengelumbus kaki kala hujan menyergap, belum ditambah asap rokok para bapak-bapak yang mengepung emak-emak.
Wajarlah hajatan ini mendapat hujatan.
Lekas sehat emak-emak, hujatlah jika tak lagi sanggup menahan hajat.
Penulis: PAI
Subscribe Kategori Ini