Setidaknya sekali dalam masa hidup, kita akan merasakan 'harus' menjadi orang yang diperhatikan. Bukan hanya bahasa tubuh, tapi juga ucapan dari dua bilah bibir? Itulah masanya kita mengalami fenomena monodualis. Jangan malu dan jangan memalukan. Itu biasa dan bisa.
Seorang sahabat pernah melontarkan joke sehat kala kami duduk santai di pinggir lapangan, sore hari, melihat bocah-bocah berlarian mengejar impian mereka: layangan putus.
Kata sahabat, ia pernah satu masa melihat saya menjadi sosok monodualis. Di mana saya terlihat sangat membaur dalam sebuah kelompok, namun di saat yang sama saya berusaha menjadi 'banci tampil'.
Monodualis adalah makhluk yang mempunyai dua kedudukan yaitu makhluk individu dan makhluk sosial, yang artinya makhluk yang selain sebagai makhluk individu, juga berperan sebagai makhluk sosial.
"Kau mau berkelompok tapi kau mau tampil sendiri. Kau berusaha tampilkan sensualitas. Orang tahu, orang mencibir, tapi tak enak untuk tunjuk muka kau. Jadi kami ngomongin kau di belakang, kau itu 'banci tampil'," kata sahabat saya, yang jika dia bukan teman sejak bangku SD, mungkin sudah saya ajak gelut saat itu. Pathetic!
Dari ucapan sahabat itu saya memahami, manusia memang dianugerahi karakter monodualis. Namun harus memahami kapan meletakkan egoistik narsistik itu.
Salah meletakkan, maka cibiran yang akan kita terima. Salah menempatkan maka cemooh yang akan kita telan. Salah menempatkan maka turunlah derajat yang kita tinggikan. Dan yang terganas adalah, kelompok itu membicarakan kita kala tampak punggung lalu bermanis manja saat bertampak muka.
"Sob, jadilah apa adanya, bukan ada apanya. Dan tak perlu kau menjilat untuk dilihat," itu pesan sahabat sebelum kami berpisah, karena senja mulai memadamkan matahari di ujung langit Pangkalpinang memanggil kami untuk pulang.
PAI
(Didedikasikan untuk orang-orang yang dianggap pembuat onar namun tetap menjaga harga diri)